Kisah Cinta di Batukarut
itu sudah aku sampaikan kepada Pak Ading. Mulanya dia keberatan, nam
Belu menghampiriku ketika
aku senang di sini, tapi Dadun, ema, dan bapaknya berharap aku
ihatkan kaset Rhoma Irama baru judulnya Piano, Aranse
ini." Belu hanya manggut-manggut, ada rasa kecewa terlihat di wajahnya. Dan kulihat pula beberapa adik-adik
urut mereka, Dadun sudah tidak karuan hidupnya semenjak bercerai dengan istrinya. Bekerja malas, dan sholat pun malas. Teta
ri Pak Ajat, jika sewaktu-waktu datang dan meminta uang. Ternyata Pak Ajat malah tidak pernah datang. Namun
kum." Aku men
ngan sumringah.."Lihar... oh... silakan masuk." Ia menyambutku dengan ramah. Ak
ang membawakannya. "Apa kabar, Lihar? Mau ngasih bonus ya?" Mendengar perkataannya itu, aku merasa darahku mendidih, tapi aku menguatkan hati untuk dapat me
ra kucegah. "Tunggu dulu, Pak Ajat..aku belum selesai ngomong!" Kataku agak
angkitkan kemarahanku, "Lho.. yang pertama kali aku di sini, terus di rumah Pak Ading, terus di Warung Kiara..!" Nada suaraku mulai naik. Pak Ajat menggeleng-gelengkan
gan kata pinjam... itu berarti hutang!" Aku m
Kamu nggak ngerti apa-ap
s. "Pokoknya urusan hutang harus dikembalikan sekarang! Kalau memang itu hak Pak Ajat, silakan bicara nanti sama Pak Yatna. Minta sana haknya, jangan sama aku!" Dan dengan berani aku membentaknya dengan sikap berdiri menantang. Melihat sikapku yang tak dia duga itu, membuat Pak Ajat menjadi ciut nyalinya. Apalagi tatkala aku dengan kemarahan yan
lah dulu." Melihat perubahan wajah Pak Ajat, emosiku sedikit reda. "Bai
r." Pak Aja
ekarang." Kataku k
ramah kembali, tetapi kulihat tangannya agak gemetar. Dan sebetulnya aku ju
hutangku?" Tanya Pak Ajat
a ia kembali lagi. "Lihar, maaf.. uang aku sekarang cuma ada 45.000 perak." Kupanda
" tanya
iri. "Baiklah, Pak Ajat, kuterima uang ini.. Tapi kutunggu sisanya." Pak Ajat mengangguk,
dia, kita harus berani dan tegas." Aku pun tertawa, "Ha ha ha.. sebenarnya aku takut juga Ma
aget, Lih... air putih yan
jika Pak Yatna datang nggak akan ada masalah lagi." Dan betul ketika pada hari minggu Pak Yatna datang, permasalahan tidak ad
kejut. Rupanya terlebih dulu, Pak Ajat sudah menemui Pak Yatna. "Maksud Pak Yatna, tentang hutang-huta
Yatna malah ta
ngguk, "Pak Ajat
ang yang sudah jadi haknya." Kata
an Pak Ajat, itu urusan Bapak. Jadi aku menganggapnya u
hal dia itu sudah menerima uang dariku, kok masih minta sama kamu. Waduuh... Bap
adi geli, dan tertawa. "Padahal uang
saikan sendiri dengan Pak Ajat. Jadi untuk berikutnya, apab
juga udah niat b
luar perusahaan ini." Kata Pak Yatna dengan pa
gan kekurangan hutan
atna ke rumah dia. Tentunya hal-hal Pak Ajat yang berurusan denganku akan dibereskan. Dan pada waktu yang sama, aku iseng-iseng berjalan melihat-lihat penggalian yang kini sepi.
jalan itu kulihat ada seorang gadis lewat bersama dengan seorang anak perempuan. Gadis itu cantik sekali, kulitnya putih bersih. Ia berjalan dengan berselendangkan kain, sementara rok yang dipakainya hanya sebatas lutut. Sedangkan perempuan kecil yang di sampingnya memakai rok seragam sekolah SD. Aku melihat gadis itu tersenyum, tetapi wajahnya m
Sementara di sudut yang berbeda, Pak Ading sedang ngobrol dengan menantunya, su
Aku berkata dengan perasaan lega, setelah Pak Yatna
Yunus tidak bekerja lagi di sini." Pak
ku dengan perasaan heran. Bukankah ke
a menawarkan rokoknya, aku mengambil sebatang. Lalu Pak Yatna menyulut api untuk rokokku. "
besok Pak Nana, adik dari Pak Sunadi
nggantikan Pak Yu
sini. Karena kalau aku mencari orang Sawangan lagi, nanti nasibnya sama seperti Pak Yunus." Kata Pak Yatna, menurutnya Pak Yunus yang bekerja di sini setiap hari harus pulang pergi dari Cipetir ke Sawangan. Sementara mobil Datsunnya ditinggal di sini, dia PP dengan menggunakan ken
anggupi, "Nanti akan kutanyakan
senin sudah dapat, Lih." Ka
saudaranya, kami tiba di Cibogo, tepatnya ke rumah Pak Mamat, kenalan Dadun. Di sana kami disambut oleh istri Pak Mamat. "Silakan masuk, Mang Dadun... mangga
apa, dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Dadun mengenalkan
menyebutkan n
a dengan ramah. "Hm, kiranya ada p
Jawab Dadun sambil menunjuk kepadaku. Merasa ditunjuk aku
s yang di Batukarut it
ak Mamat.
" Belum sempat Pak Mamat meneruskan omongannya, aku memotong, "Pak Yatna, orang Sawangan, sedangkan Pak Ajat cuma pe
nya sudah dipercayakan kepada Lih..."
ya betul!
da yang nganggur." Lalu ia berteriak memanggil, menengok ke belakang, "Marni
Pak Sumpena." Katanya kepada istrinya. Dan setelah mel
a Pak Mamat kepada Dadun. Ditanya demikian Dad
Pak Ajat, kalau lagi diperluka
ya?" Dadun lan
." Pak Mama
dia bekerja de
ak Ajat perlu aja." Kata Pak Mamat meyakinkan Dadun, "Adapun
dibicarakan muncul. Dia masuk dengan perawakannya yang gemuk, gendut, d
rsalaman. Rupanya dia masih ingat kepada kami pada saat bersama-sama p
an Dadun sere
t, lalu dia berkata kepada Om Joni, "Begini Joni... Si Lih ini lagi mencari supir, bua
menebak demikian, kami mengangguk mengiyakan. Kemudia
enti, Om Joni." Katak
siap." Om Joni langsung
sangat gembira, "Kira-kira
siap aja." Kata Om
esok?" aku mena
hut Om Jon
a memang berbeda dengan mobil Datsun milik Pak Yatna, yang berwarna biru pucat. Maka dengan adanya dua buah mobil itu, penarikan barang menjadi lebih cepat. Dengan begitu pekerja penggali pun kami tambah, kali ini ditambah dua orang lagi Pak Mitra dan Pak Dulah, orang ass nambah orang lagi
ng, dia minta kerja di sini, bisa nggak?" Aku memperhatikan Pak Ad
knya sedang istirahat sementara, maka dari itu sebelum dia bekerja di pabrik batako lagi, boleh kan dia bek
Pak ading me
arik teras dari gunung. Kebetulan Belu sudah menguasai beberapa perusahaan penggalian, maka dengan mudah ia mendapatkan langganan. Setiap hari Belu sanggup menyediakan teras 12 rit untuk pabrik milik Pak H. Karta. Sebetulnya 11 rit, tetapi Belu mengkorupsinya setiap hari sebanyak satu rit, yang uangnya masuk kantong pribadi. Sebetulny
atau teman biasanya Belu." Pak Ading menjawa
ng, besok Mang Jaka sur
Untuk teras di lokasi satu, gundukan teras yang sudah terkumpul langsung bisa dijangkau oleh mobil, sedangkan untuk teras di lokasi kedua tidak terjangkau mobil. Dengan begitu teras di
nghampiriku. Ketiga anak kecil itu memang sering kujumpai, yang biasanya jika kusapa mereka akan segera berlari
am." Kata seorang anak pe
rkejut, "Salam dari
ta anak perempuan itu cer
ngernyitkan alis, karena aku sama sekali belum pe
tu. Dan aku langsung terbayang pada seorang wanita cantik berselendangkan kain. "Oh.. iya-iya...Abang ingat... dia namany
.." Kata anak perempuan i
anyaku kepada anak pere
dua orang temannya yang lebih kecil. "Ini Mena, yang itu Tinah." Kata Ati menyebutkan nama teman-t
ng buat Teh Yeti yah..." Kataku. Mereka mengan
gan memakai seragam sekolah, dia nampak kanak- kanak sekali. Yang membuatnya aku tidak lupa tentu saja senyum manisnya itu. Walau matanya tidak tertuju padaku, tetapi aku yakin senyum itu buatku. Kadang-kadang aku menyapanya, kadang-kadang tidak. Karena sebelumnya Yeti kuanggap biasa saja, seorang gadis kecil yang biasa lewat, seperti gadis-gadis lain. Kenapa kubilang kecil? Karena sera