Pengkhianatan suami dan kakak sepupunya yang menikah secara diam-diam dan menipu adiknya hanya untuk mendapatkan anak karena mereka sudah menikah belum dikarunia keturunan.
Mas Ganding adalah suami sempurna di mataku. Dia ayah terbaik di dunia yang tidak pernah marah ataupun bersikap kasar.
Ia juga romantis selalu memanjakanku dengan hadiah-hadiah kecil. Kadang membelikan lipstik dan gaun keluaran terbaru. Rumah yang berantakan tidak membuatnya emosi, ia mengerti dengan anak kami yang berumur empat tahun sedang aktif-aktifnya.
Tak jarang Mas Ganding membantu pekerjaan rumah tangga. Mencuci piring dan menyapu. Aku wanita paling beruntung di dunia punya suami seperti dirinya.
"Sini biar, Mas saja yang gantikan cuci piring. Kamu jaga Anju saja dan temani bermain."
Mas Ganding mengambil alih tugasku, mencuci piring yang menumpuk di wastafel.
"Makasih sudah mau membantuku, Mas. Tetaplah seperti ini selamanya," bisikku memeluk pinggangnya dari belakang.
Dia membalikkan badan, menghadapku, merengkuh wajah ini agar mendongak menatapnya yang jauh lebih tinggi.
Lihatlah wajah ini yang tampan, alis tebal dan lesung pipi di sebelah kanan mirip penyanyi Afgan. Matanya yang menatap lembut, guratan muka orang baik.
Mas Ganding tersenyum, memperlihatkan barisan gigi yang putih. Membuat wanita mana saja betah lama-lama memandangi kagum.
Sekilas ia mengecup bibir ini." Mas akan selalu begini dan mencintaimu."
Ah, aku seperti terbang ke langit ke tujuh mendengar bisikkannya. Aku memeluk erat. Ya, akulah ratu yang paling beruntung bisa bersanding dengan raja terbaik sepanjang masa.
Suara dentum bel membuatku segera melepaskan pelukannya. Ada tamu yang datang berkunjung ke rumah.
"Mbak, Meta?!" seruku.
Mata ini membulat sempurna ketika melihat wanita di depanku adalah Mbak Meta yang baru pulang dari luar kota. Ia seorang artis sekaligus model dari sebuah butik terkenal di kota kami.
Usianya hampir kepala tiga, tapi sampai sekarang belum juga menikah. Entah apa yang membuatnya terlambat menemukan jodoh. Mungkin karena ia cantik dan berpendidikan tinggi hingga memilih laki-laki menjadi suami.
"Nandini, Mbak bawa oleh-oleh buat kamu dan Ganding. Ada juga untuk Anju keponakan tersayang," ucapnya sembari mengeluarkan kardus yang ia bawa.
"Gak usah repot-repot, Mbak. Simpan saja uang Mbak untuk ditabung."
"Tak apa. Mbak sudah tinggal sama kamu tak mungkin tinggal geratis begitu saja di sini."
Aku tersenyum melihat kebaikan Mbak Meta yang selalu pulang membawakan oleh-oleh sehabis bepergian. Bahkan tak segan membantu membelikan bahan dapur.
Sudah hampir lima tahun Mbak Meta tinggal bersama kami. Sejak orang tuanya meninggal ia hidup sebatang kara tak punya keluarga. Saudaranya hanya aku yang ia punya. Walau kami hanya sepupu, namun ia sudah kuanggap kakak kandung sendiri.
Mas Ganding juga tidak keberatan, Mbak Meta tinggal di rumah kami. Ia malah senang karena bisa mengasihi anak yatim piatu yang tak punya ayah dan ibu.
Kami memang sama-sama sudah tak punya orang tua. Dulu sebelum menikah aku dan Mbak Meta sama-sama ngekos, setelah aku menikah dengan Mas Ganding, kami pindah di rumahnya. Hidup satu atap saling akur. Mbak Meta juga hanya menginap di rumah beberapa hari, lalu akan pergi lagi untuk mengadakan foto model.
Kamarnya ada di bawah dekat ruang tamu, sementara kami di atas bersama Anju. Rumah besar ini sudah dibeli Mas Ganding jauh sebelum ia menjadi suami. Pekerjaannya yang menjadi sekretaris kantor dibayar dengan gaji yang tinggi.
Mas Ganding melarangku bekerja setelah kami hidup bersama, katanya istri hanya boleh di rumah suami yang cari nafkah. Semua kebutuhanku dipenuhi dengan cukup, ia hanya mengambil uang dari gaji untuk keperluannya saja. Selain itu semua ditransfer ke rekeningku.
"Oya, dimana Ganding? Kenapa tidak kelihatan? Bukankah ini hari libur, seharusnya dia tidak bekerja, kan?" tanya Mbak Meta bertubi-tubi sambil melihat ke sekeliling ruangan.
"Lagi cuci piring, Mbak di belakang," jawabku.
"Kamu suruh suamimu cuci piring? Apa gak kelewatan kepala rumah tangga jadi babu?" cibirnya.
"Nggak lah, Mbak. Mas Ganding sendiri yang mau menggantikan tugasku. Katanya temani Anju bermain saja."
"Wah, Mbak jadi pingin punya suami ideal kayak Ganding. Sayang istri dan pengertian."
Aku tersenyum menanggapi gurauan Mbak Meta. Kami akhirnya bercanda dan tertawa riang sambil menyaksikan Anju putri kecilku bermain.
***
Malam harinya aku terbangun karena guncangan pada lengan. Sedikit menyipitkan mata yang terasa berat untuk dibuka.
"Bunda, Anju haus ...." Anju merengek menggoyangkan bahuku.
Tangan ini menggapai cangkir di atas naka, namun tidak ditemukan. Ah, karena bergosip dengan Mbak Meta aku lupa menyiapkan air minum untuk Anju. Terkadang Anju tidur bareng kami, meski punya kamar sendiri.
"Mas, tolong ambilkan air minum untuk Anju!" ucapku sembari memejamkan mata, lalu meraba ke samping. Yang kurasakan hanya bantal guling saja di samping Anju.
"Ayah tidak ada. Bunda mau minum ...."
Aku dengan melawan kantuk untuk memaksa duduk. Benar saja, Mas Ganding tidak ada di ranjang yang sudah dikuasai Anju yang tidur terlentang.
"Sebentar ya, Bunda ambil ke dapur dulu," ucapku sembari menyibak selimut. Melihat jam di dinding.
Pukul 01:00 dini hari. Kemana kira-kira suamiku. Beranjak dari kamar dengan mata yang berat. Kemudian menuruni tangga sambil sesekali menguap.
Aku tersentak setelah mendengar suara desahan dari kamar Mbak Meta. Semakin lama terasa kencang. Perlahan kudekati kamar itu untuk memperjelas pendengaran atau mungkin Mbak Meta sedang sakit.
Kuberanikan diri mengetuk pintu itu sambil berteriak memanggil namanya.
"Mbak, apa kamu sakit?" tanyaku sambil menunggu dengan hati berdebar.
Hening. Tak ada jawaban. Perlahan suara desahan itu pun menghilang. Kubuka pintu yang ternyata tidak di kunci.
Mbak Meta terlihat pucat saat aku masuk ke kamarnya, namun keringat dingin membasahi dahinya.
"Astaga, Mbak. Kamu sakit ya?" tanyaku menyentuh keningnya.
"Ti-tidak, Nandini. Aku hanya kepanasan saja, kok," jawabnya gugup.
AC di ruangan ini menyala dengan suhu dingin, mengapa Mbak Meta kepanasan. Aneh.
Netra ini menangkap bayangan yang melintas dari kaca jendela, ada bayangan seorang pria sedang berdiri di sana. Jendela itu terbuka hingga tirai yang terpasang berkibar tertiup angin.
"Mbak, kenapa jendelamu terbuka?" tanyaku menyelidiki.
"Itu, anu .... tadi aku sengaja membukanya untuk menghilangkan rasa gerah." Lagi-lagi, Mbak Meta gugup menjawab.
"Kan, sudah ada AC terpasang. Jagi Mbak gak perlulah buka jendela untuk mencari angin."
Mbak Meta masih terdiam. Tubuhnya masih berbalut selimut. Katanya panas, tapi kenapa menutupi seluruh badan dengan kain.
"Mbak, katanya kepanasan. Kok, pakai selimut?" aku mencoba menarik selimut yang menutupi tubuhnya, namun tangannya menahanku.
"Jangan, Nandini. Aku malu karena sedang memakai lingerie," sergahnya.
"Oh, ya sudah kalau gitu. Aku mau keluar kalau Mbak baik-baik saja."
"Iya."
Kembali kututup pintu Mbak Meta dan menuju ke dapur untuk mengambilkan air minum untuk Anju.
Sampai di kamar aku melihat Mas Ganding sudah berada di atas ranjang dengan keringat yang membasahi wajah. Sepertinya ia habis melakukan gerakan berat hingga memicu keringat.
"Mas, kamu dari mana saja?" cecarku meletakan gelas di atas nakas.
"Em ... itu. Aku baru dari dapur sedang mengambil air minum," jawabnya gugup.
Kening ini mengerut mendengar kalimat yang ia ucapkan. Baru saja dari sana dan tidak ada siapa pun, tapi Mas Ganding berdalih ada di dapur.
"Aku barusan dari dapur, Mas. Ambil air minum, tapi tak melihatmu."
"Ah, sudahlah kenapa harus dibahas masalah dapur. Lebih baik kita tidur saja, besok Mas harus bekerja." Mas Ganding mengalihkan pembicaraan dan memejamkan mata melanjutkan tidurnya.
Aku masih termenung dengan kejadian barusan, sepertinya ada yang aneh dengan Mas Ganding dan Mbak Meta.
Esok paginya Mas Ganding berangkat ke kantor seperti biasa dengan mengecup kening saat berpamitan. Tidak ada yang aneh dengan sikapnya semua berjalan normal.
Begitu pun dengan Mbak Meta, tak ada yang aneh dengan gelagatnya. Ia bermain menemani Anju di ruang keluarga sambil sesekali tertawa menggoda bocah itu.
"Mas pamit ya, Dek," ucapnya meraup pipi ini.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya!"
Detik kemudian Mas Gandhi memasuki mobil sedan berplat BK 222, mengemudikan sambil melambaikan tangan.
Aku mengangguk sambil mengembangkan senyum melepas kepergian Mas Gandhi bekerja.
Anju masih ditemani Mbak Meta bermain dengan senang. Kalau sudah begitu balitaku itu pasti karena senang, budenya libur dan menampinya seharian.
"Ganding sudah berangkat ke kantor, Nandini?" tanya Mbak Meta meraih ponselnya di atas meja.
"Sudah, Mbak. Aku titip Anju sebentar ya mau mencuci pakaian."
"Iya, aku akan jaga Anju sampai kamu selesai mengerjakan urusan dapur," ucapnya tanpa menoleh.
Kubiarkan saja Anju bermain bersama Mbak Meta. Bocah itu pasti tidak akan rewel bila ada yang menemaninya bermain.
Aku memilah-milah pakaian putih dan berwarna, juga membalikannya. Memeriksa kantong barang kali ada uang logam yang terselip atau benda lainnya.
Apalagi kalau ada tisu yang nyangkut, bisa-bisa menjadi sobekan kecil-kecil saat digiling di mesin cuci dan menyebar ke pakaian lain.
Aku mengernyit saat melihat kantong baju piyama yang dipakai Mas Ganding semalam, seperti menemukan sesuatu. Aku keluarkan dan melihat apa itu.
Mata sedikit melotot melihat alat kontrasepsi di kantong celananya. Kenapa Mas Ganding pakai ini? Bukankah ia melarangku untuk ber KB? Katanya biar cepat punya adik untuk Anju dan ada teman bermain.
Aku terdiam sejenak, saat memperhatikan benda itu mirip dengan balon. Tanganku yang memegang alat kontrasepsi itu langsung terduduk lemas. Menghapus jejak air mata yang mengalir deras.
Gelar suami yang sempurna telah menghilang darinya. Aku merasa mual, muak, dan jijik dengan suami yang selama ini kuagungkan.
Romantis, baik dan begitu memanjakan. Semua itu hanya berkedok belaka, sayangnya hanya sayang semata, tak ada cinta. Di belakangku ia sudah berkhianat entah dengan siapa.
Kenapa begini? Sejak kapan Mas Ganding menjalin hubungan terlarang ini dengan wanita lain?
Aku berdiri, harus mencari tahu. Terkejut saat melihat Mbak Meta sudah ada di belakangku mendekat ke mesin cuci.
"Nandini, kenapa kamu menangis?" tanya Mbak Meta heran.
Aku terisak tanpa mampu menjawab. Aku meremas benda itu dengan kuat, lalu menunjukkannya kepada Mbak Meta.
"Aku menemukan ini di dalam saku kantong celana Mas Ganding, Mbak."
Mbak Meta terkejut saat melihat alat kontrasepsi yang ada di tanganku. Wajahnya tiba-tiba saja memutih.
"Kenapa suamimu memakai benda itu?" tanya Mbak Meta gugup.
Mbak Meta tahu kalau kami sedang merencanakan kehamilan yang kedua untuk memberi Anju adik biar punya teman bermain. Tapi, siapa sangka suamiku malah bermain gila dengan perempuan lain.
***
Bersambung.
Buku lain oleh Morina
Selebihnya