Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Mencintai Gadis Amnesia

Mencintai Gadis Amnesia

Khairotin Najmah

5.0
Komentar
50
Penayangan
10
Bab

Lama tidaknya saling mengenal tidak menjamin adanya cinta. Buktinya, selama lebih lima belas tahun bersama dengan Amelia, Adib sama sekali tidak tertarik kepadanya. Justru, dia malah jatuh cinta kepada Adiba-seorang gadis amnesia korban tabrak lari yang dia tolong ketika pulang dari kampus-yang dia kenal selama enam bulan. Sebab itu, Adib ingin menikahi Adiba, tetapi terhalang restu orang tuanya dan tekanan dari keluarga Amelia yang salah paham dengan kedekatan antara Adib dengan anaknya. Namun, Adib bersikukuh,sehingga Aisyah-mamanya-memberi izin asal bisa menemukan keluarga asli Adiba dan mendapat restu dari mereka. Dan yang paling penting, siap menanggung apa pun konsekuensi dari pilihannya tersebut. Bagaimana usaha Adib untuk memperjuangkan Adiba? Bisakah dia mewujudkan inginnya untuk membina rumah tangga bahagia dengan gadis amnesia itu? Dan bisakah dia bertahan jika sewaktu-waktu ada badai besar menghantam hidupnya?

Bab 1 Desakan untuk Menikah

"Menikah sama Amel, atau kamu enggak usah balik ke rumah Mama." Satu kalimat to the point yang diucapkan Aisyah saat pertama kali teleponnya diangkat, membuat sang putra menggeram di tempatnya. Dia langsung mengeratkan pegangan pada benda elektronik yang masih menempel di telinga kanannya.

Lelaki beralis tebal itu mengembuskan napas panjang. "Mama, masa kalimat pembukanya seperti itu? Tidak ada niat menanyakan kabar anaknya, gitu?" keluhnya seraya memijit pelipis. "Aku juga sudah lama tinggal terpisah sama Mama, ya kali tidak rindu?"

Karena sejak tahun pertama menjadi dosen, dia pindah ke salah satu rumah kontrak di dekat kampus. Selain mempertimbangkan lokasinya yang lebih dekat dengan kampus, daripada jarak dari rumahnya, sedikit banyak tuntutan Aisyah yang menginginkannya segera menikah juga ikut menjadi pertimbangan. Secara tidak langsung, dia menghindari tuntutan sang mama dengan kabur.

"Apakah pantas kamu bertanya seperti itu sama mamamu sendiri? Harusnya Mama yang tanya! Mau sampai kapan kamu mengelak dari Mama, Adib? Mama pusing mikirin kamu. Makin tua kok makin enggak bisa diatur? Disuruh nikah aja susah. Sudah begitu, jarang pulang ke rumah mamanya. Sudah merasa tidak punya mama kali, ya?"

Embusan napas lelaki itu kian gusar. Posisi duduk yang semula tegak, berubah sedikit condong ke depan. Dia menumpu kepala di meja kerjanya. Ekor matanya menatap ke sekeliling, memastikan tidak banyak orang di sana. Beruntung sekali suasana kantor cukup lengang. Karena memang saat itu masih waktunya para dosen mengisi materi di kelas masing-masing. Para staf yang biasanya siaga di kantor, entah sedang ke mana.

Cukup lama waktu berlalu dengan keheningan, akhirnya Adib buka suara karena sang mama yang terus menuntutnya. "Mama, aku lagi di kampus. Aku minta tolong sama Mama, kalau mau bicara soal itu, nanti, ya. Aku akan pulang ke rumah Mama, kita bahas di sana." Meskipun sudah kesal saat kalimat pembuka telepon sang adalah kalimat menyebalkan itu lagi, Adib memang harus bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Karena selain kondisi yang tidak tepat-sebab masih berada di tempat kerja-Adib tidak ingin pembicaraan dengan mamanya itu kembali berakhir dengan perdebatan seperti yang sudah-sudah.

"Enggak ada bantahan. Mama sudah kepalang kesal sama kamu. Mumpung anak durhaka yang super sibuk ini sedang kedatangan setan putih untuk mengangkat telepon mamanya sendiri, Mama enggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, atau kamu akan kabur lagi dan susah dihubungi."

Sekali lagi Adib memijat pelipis. Ekspresi yang tampak di wajahnya yang terbilang rupawan meski dengan warna kulit sawo matang, adalah kusut. Kentara sekali bahwa dia enggan dengan pembahasan yang digiring oleh sang mama. Meskipun pada satu sisi ada rasa bersalah karena memang dia sering mengabaikan pesan dan telepon wanita itu. Ya, demi tidak mendengar tuntutan untuk segera memiliki pendamping hidup, Adib bahkan sampai seperti itu.

"Kenapa diam? Kamu sudah sadar kalau apa yang Mama bilang adalah benar, kan?"

Adib menegakkan tubuh tetapi tidak menjawab pertanyaan sang mama. Dia malah menatap laptop yang masih menyala karena pekerjaannya belum selesai. Yakin bahwa pembicaraan dengan Aisyah ini akan memakan banyak waktu, lelaki yang bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu kampus swasta itu perlahan menutup operasi benda itu. Yang lebih penting saat ini adalah meredakan emosi sang mama. Jadi, dia memang harus mengesampingkan sebentar pekerjaannya. Lagi pula dia memang sudah tidak mempunyai jadwal mengajar setelah ini. Pekerjaan tadi bisa dikerjakan di rumah.

"Ahmad Adib Al-Faroby, kamu dengar Mama bicara, kan? Kenapa malah diam saja?"

Adib menghela napas. "Iya, mamaku sayang. Aku dengar. Ini aku lagi siap-siap untuk pulang ke rumah Mama. Kita akan bahas permintaan Mama yang satu itu." Adib memasukkan laptop hitam itu ke dalam ransel berwarna hitam pula. Dia rapikan beberapa buku dan jurnal yang berserakan, menumpuknya di satu tempat khusus yang ada di sudut meja. Terakhir, setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, dia melangkah untuk keluar dari kantor Fakultas Tarbiyah itu.

"Awas saja kalau enggak datang. Nanti Mama penggal lehermu biar tahu rasa."

Adib meringis tanpa suara. Mamanya ini kalau sudah marah, sadis juga. Sangat bisa membuat bulu kuduk merinding. "Kalau aku dipenggal, Mama enggak bakal punya mantu, lo. Alih-alih punya mantu, anaknya pun mungkin bakal tidak ada."

Aisyah mendengkus keras. "Sembarangan kalau ngomong. Kalau ada di depan Mama, sudah Mama pentokkan ke pintu tuh kepala kamu."

Lagi, Adib meringis tanpa suara. Dengan spontan dia menggigit bibir mendengar kata-kata mamanya yang kian sarkasme. "Mama, tenang, Ma. Tidak usah emosi begitu, ya. Ini aku kan sudah mau pulang ke rumah Mama."

"Mama begini juga karena kamu! Mama kesal sama kamu yang hobi berkelit terus kalau Mama ngomong." Adib beristigfar dalam hati. Jika saja tidak ingat akan siapa dan jasa apa yang telah wanita itu lakukan untuknya, sudah pasti Adib memarahinya habis-habisan. Mood-nya sedang buruk, tetapi dipaksa untuk berdebat. Apalagi kata-kata yang selalu Aisyah ucapkan penuh penekanan dan tidak mau dibantah.

"Berkelit bagaimana, sih, Ma? Perasaan aku tidak ada benarnya di mata Mama."

"Ya karena kamu selalu membantah Mama. Coba enggak membantah, pasti Mama enggak akan sebegininya sama kamu."

Mama, oh, Mama. Kenapa makin menjadi-jadi, sih?

"Pak Adib masih ada kelas?" sapa Pak Alka ketika berpapasan dengan Adib di depan pintu. Dosen yang juga mengajar di Fakultas Tarbiyah itu baru saja datang dari kelas-usai mengisi materi. Adib yang tampak sedikit melamun meski kakinya terus melangkah itu lantas mengalihkan pandang ke arah dosen tersebut. Dia kemudian menggeleng sambil tersenyum, memberi isyarat kalau sedang menerima telepon.

"Pamit, ya, Pak," pelan Adib seraya menjauhkan ponselnya dari telinga. Pak Alka mengangguk maklum, kemudian berlalu menuju dalam kantor. Sedangkan Adib, terus melangkah menuju parkiran dengan panggilan yang masih terhubung dengan Aisyah. Tentunya dengan omelan-omelan yang wanita itu ucapkan sepanjang perjalanan.

Begitu sampai di tempat mobilnya terparkir, Adib membuka pintu kemudian duduk di belakang kemudi. Dia pejamkan matanya untuk menetralisir kekesalan. Membiarkan sambungan teleponnya terhubung dengan Aisyah tanpa pembicaraan apa pun. Tentu saja Adib lelah. Saat memilih untuk fokus dengan dunia karier terlebih dahulu yang baru menginjak tahun ketiga, Aisyah selalu memaksanya untuk segera menikah. Apalagi dengan perempuan yang sama sekali tidak diinginkannya.

"Adib! Kamu ke mana? Kenapa diam saja?"

Anak semata wayang Aisyah itu membuka mata, kemudian menghela napas. "Mama Aisyah, Mama sudah tahu dengan apa yang aku inginkan sekarang, 'kan? Aku mohon sama Mama, berhenti menuntut aku. Bisa, kan, Ma? Aku lelah dipaksa-paksa terus seperti ini, Ma. Apalagi Mama memaksakan Amelia untuk jadi istriku. Aku lebih kenal Amel daripada Mama. Dari zaman SMP aku dan dia sudah berteman malah."

"Harusnya itu malah bagus. Kalau kamu tahu bagaimana Amelia, lebih nyaman buat kamu dan dia menjalani pernikahan kalian."

Adib menutup pintu mobilnya yang ternyata masih terbuka. Beruntung belum ada kendaraan yang akan keluar. Kalau saja ada, sudah pasti dia ditegur oleh pengendara lain. Menyamankan posisi duduknya sebentar, dia lantas menjawab sang mama, "Justru itu yang buat aku menolak, Ma. Tolong, ya, Ma. Jangan paksa aku menikah dengan Amel. Aku sama sekali tidak ada rasa apa-apa sama dia."

"Urusan cinta itu belakangan, Dib. Yang penting itu kenyamanan. Cinta bisa datang kapan aja."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku