Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Happy Reading...!
***
Dur ... Duar ... Duar ... Bom ...
Suara dentuman dari letusan kembang api di atas langit salah satu kampus terbaik di Negara Singapura terdengar nyaring. Kilatan-kilatan cahaya dari percikan kembang api terlihat berwarna dan indah. Menakjubkan! Satu kata yang tepat untuk menggambarkan betapa indahnya langit malam dengan hiasan taburan bintang dan percikan kembang api kala ini.
Di pojok balkon aula kampus, senyuman manis dari seorang gadis yang terus mengadakan kepala menatap langit malam dengan takjub tak pernah luntur. Hiruk pikuk riuh suara dari orang-orang yang juga sedang berada di atas gedung tinggi itu tidak mengganggu aktivitas sang gadis sama sekali.
"Gue rasa tuh langit lebih bagus dari pada penampilan mereka, makanya lo lebih milih natap langit ketimbang para cogan yang ada di sana!" Seorang gadis lainnya datang mendekat, duduk bersandar di kursi panjang yang sama dengan yang diduduki oleh gadis sebelumnya.
Kepalanya ikut mengadah ke atas. Mengikuti gerakan sahabatnya yang sedari tadi tetap fokus dengan dunianya sendiri dari awal pesta berlangsung hingga saat ini. Ia menghembuskan nafas pelan. Nyaman! Mungkin karena ini, sahabatnya tidak ingin beralih dari sini sedari tadi. Tempat ini tergolong sepi dan tenang, suara ricuh tidak terlalu keras terdengar dari tempat ini.
"Ngomong-ngomong congrats atas kelulusan lo, Ela." Gadis itu berucap dengan tulus. Meskipun matanya masih terpejam dan dia tidak bisa melihat reaksi dari sahabatnya, tetapi dia tahu jika sahabatnya itu pasti tengah tersenyum meski tak bersuara.
Altheda Estrella, itu adalah nama dari gadis yang sedari tadi terus saja diajak bicara oleh temannya. Altheda atau gadis yang biasa dipanggil Ela merupakan sosok yang pendiam, tidak banyak bicara, dan selalu bertindak dengan cara logis dan bermakna.
Altheda bukanlah orang yang kaya. Ia hanya seorang gadis sederhana yang hidup sebatang kara. Pengalaman hidup yang dialaminya tidaklah sedikit lagi. Terlalu banyak rasa sakit, terlalu banyak caci maki, dan hinaan yang dia terima selama ini. Namun, Altheda tidak merasa jika itu merupakan suatu penghalang untuknya. Bagi Altheda, semua kepahitan yang dia terima selama ini akan terbayarkan sejalan dengan ilmu yang dia miliki, dan tentu saja dapat dibanggakannya di masa depan. Selain itu, Altheda juga merupakan satu-satunya inti dari kelompok mafia yang berkedok geng berandalan--SCaRY.
SCaRY terdiri dari lima orang anak muda yang memiliki bakat berbeda-beda. Selain itu mereka tidak berada di satu negara yang sama, bisa dibilang mereka hanya bersatu ketika ada misi. Itupun mereka tidak menunjukkan wajah masing-masing. Hanya Altheda yang mengetahui wajah mereka semua, karena katanya Altheda inti dari SCaRY yang merupakan satu-satunya bagian dari mereka yang wanita.
Alasan yang klasik memang. Meski alasan sebenarnya karena Altheda merupakan pencetus akan adanya SCary. Ia mendirikan SCaRY untuk tujuannya sendiri. Namun, soal kesetiaan jangan diragukan. Altheda mendapatkan kesetiaan dari SCaRY lebih dari apapun. Bagi kelima anggota SCaRY, Altheda sudah menjadi bagian hidup mereka. Tak ada Altheda maka tak ada kehidupan. Terkesan lebay memang, tetapi itulah kenyataannya.
Singapura, merupakan satu dari lima kota besar yang diduduki oleh SCaRY. Dan Altheda yang berada di sana bersama dengan kelompok kecil yang dipimpinnya--Start. SCaRY merupakan singkatan dari Start Come and Rule Young yang artinya Bintang datang dan menguasai anak muda, tetapi tidak banyak yang tahu arti dari singkatan itu karena mereka lebih mengenal SCaRY dengan Menakutkan.
Altheda itu penggila ilmu, itu sebabnya gadis itu rela pindah jauh-jauh dari Indonesia ke Singapura demi mengejar cita-citanya untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan ilmu yang berlimpah. Meski kenyataan sebenarnya karena anak itu melarikan diri.
Dua puluh satu tahun sudah dirinya banting tulang kerja sana sini untuk dapat terus melanjutkan pendidikannya. Dan sekarang tepat diusianya yang ke-25 tahun dirinya memilih untuk menyelesaikan pendidikannya di gelar M.ked, S2 kedokteran. Bukan berarti dia ingin berhenti, tetapi Altheda merasa sudah saatnya untuk dirinya sedikit bersantai dan menikmati jerih payahnya dalam mengenyam pendidikan selama ini.
"Ngomong-ngomong lo kenapa sih lebih milih jadi dokter muda? Padahal setau gue, seorang yang bergelar magister seharusnya sudah berada di tahap dokter spesialis, kan?" Altheda membuka matanya perlahan setelah mendengar ucapan dari sahabatnya yang sedari tadi terus berusaha mengajaknya untuk bicara.
"Gue ngerasa ilmu yang tinggi enggak akan menutup kemungkinan gue untuk buat kesalahan. So, akan terlihat lebih normal kalo gue mengikuti prosedur dan memulai dari bawah," ucap Altheda santai sembari menatap kegiatan teman-temannya yang lain sedang berpesta ria.
"Alah gaya lo bambank, sok lu." Alva berdiri, ia memilih untuk menyandarkan tubuhnya di pembatasan balkon.
"Gue tahu banget lo, Ela. Enggak usah sok yes deh lo, itu pasti karena lo masih mau sekalian belajar lagi, kan ngaku lo! Lo itu terlalu terobsesi dan maniak dengan ilmu, Ela. Dan itulah kenapa gue selalu kalah setiap beradu argument dengan lo," tuduh Alva dengan jari telunjuk mengacung pada Altheda.
Alva--sahabat baik Altheda dari mereka berada di Sekolah Menengah Atas 5 tahun silam. Dia sangat tahu dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Disaat semua orang seusia dengannya udah sibuk mencari pekerjaan, tetapi Altheda masih berkutat mencari ilmu. Sayangnya Alva tidak tahu saja, jika Altheda jauh lebih dulu bekerja sebagai seorang hacker sebelum mereka semua menginjakkan kaki ke dunia pekerjaan.
Altheda hanya tersenyum tipis. Ia tidak terlalu menanggapi ucapan berupa sindiran halus dari sahabatnya ini. Sudah terbiasa baginya mendengarkan sindiran-sindiran semacam ini dari dulu.
Semakin larut malam, dentuman keras musik semakin memekakkan telinga. Sudut balkon ruangan yang tadinya tidak terlalu berisik, sekarang mulai terdengar. Altheda menghela nafas panjang. Membosankan! Dia tidak terlalu menyukai pesta seperti ini, terlalu berisik dan tidak berguna. Andai saja pesta ini bukan dipelopori oleh beberapa dosen yang telah berbaik hati berbagi ilmunya pada Altheda, sudah dipastikan dirinya tidak akan mau berada di pesta yang membosankan seperti ini.
"Bosan?" tanya Alva pelan.
"Hemm... ." Altheda hanya membalas ucapan Alva dengan deheman. Lagi-lagi Alva harus menghela nafas berat. Ia harus ekstra sabar menghadapi sahabatnya yang super duper irit bicara ini.
Alva melirik jam tangannya, pukul 22.45 memang sudah sedikit larut malam. Mungkin jika mereka berpamitan pulang sekarang, itu tidak akan dipertanyakan lagi oleh teman-teman mereka yang lain.
"Mau pulang sekarang?" tawar Alva dengan mata yang terus menatap Altheda tenang.