Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
THE LAND OF BUNIA

THE LAND OF BUNIA

Miss Mendelay

5.0
Komentar
162
Penayangan
3
Bab

Bagaimanapun caranya, Byun harus mengantarkan Alba menuju sebuah pintu yang menghubungkan dunia mereka dengan dunia lain bernama Bunia. setidaknya begitulah cara Alba untuk memperbaiki kekacauan yang terjadi di Kota Garolid dan sekitarnya yang telah menyebabkan banyak orang menghilang tanpa sebab yang sudah disebabkan oleh ayahnya sepuluh tahun silam. Berbagai macam tantangan mereka hadapi untuk menemukan beberapa kunci untuk membuka kembali 'pintu' itu. Mulai dari diserang sekelompok bandit yang sangat membenci penduduk Kota Garolid, hingga tersesat di desa arwah. Akan tetapi, bagi Alba sendiri, tantangan sebenarnya justru berasal dari drinya sendiri. Ketika selama perjalanan gaids itu menyadari jika benih cinta mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Byun. Berhasilkan mereka berdua menemukan pintu itu dn mengembalikan keadaan Kota seperti semula? Atau justru cinta di antara mereka yang akan menjadi kehancuran terbesar dari perjalanan ini.

Bab 1 CHAPTER 1

Kabut tebal yang mengisi setiap sudut hampa di Kota Garolid semakin memberikan kesan tak nyaman bagi setiap penghuninya. Di ruang makan, tatapan Alba sesekali melirik ke selembar kertas yang terbuka di atas meja makan. Beberapa kali ia menghela napas disertai picingan mata yang semoga bisa menghilangkan lelah pikirannya hari ini. Ia sesekali menarik napas panjang dan mengetuk meja dengan jemari. Surat itu berisi permintaan terakhir Paman Ben yang dalam beberapa hari lagi akan menjalani hukumannya. Hukuman mati.

"Alba, kau tidak bekerja hari ini?" tanya Ibu dari dalam kamar.

"Ya," balasnya singkat.

Gadis berambut coklat sebahu itu bergegas mengikat rambut asal-asalan dan berdiri seraya menyandang tas. Ia tersentak, berbalik mengambil surat tadi agar tak dibaca oleh Ibu, meletakkannya di atas lemari pendingin.

Meski bukanbermaksud mewukjudkan jawaban dari Ibu, dia memang harus berangat bekerja hari ini karena Ibu sudah sepuluh tahun lamanya dudu di kursi roda karatan. sejak itu, Alba adaah satu-satunya orang yang menjadi tulang punggung keluarga ini.

Sesaat setelah membuka pintu, dia kaget saat wajahnya disapa kasar oleh angin musim penghujan. Garolid sekarang hanya memiliki dua musim, hujan dan kemarau. Kedua musim ini tak memiliki tempat di hati Alba. Satu-satunya musim yang ia suka hanya musim gugur yang terakhir kali menyentuh Garolid sepuluh tahun lalu.

Langkah kaki Alba terhenti di depan rumah, kepalanya mengarah ke jendela kamar Ibu. Wanita paruh baya itu tersenyum dari dalam, masih dalam posisi duduk di atas kursi roda. Ibu tersenyum, melambaikan tangan lemah pada Alba. Lekukkan lemah di kedua sudut bibir Alba dipaksakan untuk membalas lambaian Ibu.

Tak banyak orang di jalan pagi ini. Ia bisa menghitung hanya sekitar sepuluh orang yang ia jumpai menjelang sampai ke toko roti tempatnya bekerja. Begitulah keadaan kota kecil Garolid beberapa bulan belakangan sejak kembali terbukanya Gerbang Lunar menuju Tanah Bunia yang selama ini disangka sebuah mitos. Pancaran cahayanya bisa terlihat membelah langit dari sudut manapun, tapi jangan berharap bisa menemukan dasarnya dengan gampang. Tim peneliti Garolid sudah berusaha menjelajah salama dua bulan ini dan hasilnya nihil. Tak pernah ada yang berhasil menemukan titik pusat cahaya itu secara pasti. Seolah titik itu ikut bergerak menjauh seperti dua kutub magnet yang sama, saling bertolak belakang.

"Telat sepuluh menit," kata Brom, si pemilik toko.

Alba berusaha memasang senyum konyol di wajahnya, berharap ketegasan di wajah Brom yang sekarang di penuhi jenggot dan kumis akan melunak. Brom sama sekali tak terlihat seperti seorang pemilik toko roti, ia lebih cocok menjadi binaragawan dengan tubuh kekar dan kulit coklatnya itu. Pria yang baru saja berulang tahun ke empat puluh dua tahun itu tak pernah menikah sejak Clairy, kekasihnya menghilang pada peristiwa Gerbang Lunar sepuluh tahun lalu.

Ya, begitu banyak kehilangan pada hari 'itu'.

Posisi Alba sebagai kasir memastikan ia harus selalu berada di balik meja depan, lurus menghadap sebuah kaca besar yang mau tak mau membuat matanya melihat pemandangan diluar toko.

"Minggu ini sangat sepi," keluh Brom. Ia duduk di salah satu kursi dekat jendela. Ia terlihat agak gelisah.

"Semakin banyak orang ditangkap belakangan ini. Tak semua orang berani mengambil resiko keluar rumah kecuali seperlunya." Alba sedikit tegang membayangkan kejadian kemarin, saat petugas CLOG menyeret salah seorang tetangganya ke dalam mobil lapis baja yang tak berjendela.

"Berarti kita adalah si pengambil resiko." Tawa remeh yang lemah mengakhiri perkataan Brom, dipaksakan.

Kepala mereka otomatis beralih pada objek yang baru saja mereka bayangkan, sekarang berhenti tepat di seberang toko roti. Brom sontak berdiri dan raut wajah tegang langsung memenuhi wajahnya. Begitupun dengan Alba, ia meninggalkan meja kasir dan berjalan menuju Brom, dirinya bisa merasakan detak jantung yang memenuhi telinganya sekarang. Dua orang petugas CLOG yang identik dengan seragam biru tua dilengkapi senjata laras panjang turun dari pintu belakang. Mereka tentu saja selalu menggunakan topeng yang terbuat dari kain elastis berwarna senada. Membuat mereka tampak sama. Rompi anti peluru yang terlihat berat tak luput dari tubuh mereka.

"Brom..." Suara Alba tercekat saat kedua petugas itu berjalan menuju mereka.

Brom sama sekali tak menjawab, ia sama tegangnya dengan Alba. Kepala mereka dipenuhi oleh pikiran-pikiran kejadian masa lalu yang sudah terjadi, berusaha mencari kesalahan diri masing-masing sehingga membuat CLOG mendatangi mereka sekarang. Namun Brom menyadari sesuatu dan mengeluarkan kunci toko, menyerahkannya pada Alba.

"Ambil bekal sebisamu. Byun akan datang menjemputmu besok," katanya berbisik.

"Maksudmu?"

"Segera kunjungi Paman Barnes setelah ini." Nada memaksa terdengar jelas dari ucapan terakhir Brom.

Alba sempat mendapat beberapa kali mendapat dorongan kasar dari petugas CLOG saat berusaha mencegah mereka membawa Brom pergi. Brom hanya berkata, "Aku baik-baik saja. Jangan libatkan dirimu hari ini." Pikiran gadis itu berkecamuk, ia tak pernah menyangka Brom adalah salah satu 'sipengambil resiko' yang sebenarnya.

Semua pasang mata menatap takut dari balik jendela dan kaca toko mereka, tak ada yang berani keluar. Alba hanya berdiri di pintu toko menatap mobil CLOG meninggalkan komplek pertokoan. Ia sama sekali tak berharap mendapat penghiburan atau ucapan simpati dari siapapun karena tak ada yang berani terlibat.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Alba berkata lemah pada dirinya.

Enatah saat yang tepat atau tidak, seorang pria tinggi yang sudah lama tak terlihat oleh Alba sekarang tengah berlari kearahnya. Teman masa kecilnya yang sudah beberapa tahun belakangan bekerja di luar pulau. Alba tahu ini saat yang tepat tentang kemunculan Byun.

"Ini saat yang tepat untuk kita menemui Paman Barnes." Itu ucapan yang muncul saat mereka bertemu. Tak ada tegur sapa sekadar basa basi menanyakan kabar lagi.

"Tunggu! Aku tak paham apa yang terjadi," tolak Alba. Ia memilih duduk di kursi terdekat, lututnya mulai goyah memikirkan kejadian tadi.

"Terlalu beresiko membicarakannya di sini. Dinding ini mungkin memiliki telinga yang lebih tajam dari hewan pengintai."

"Baiklah. Sebaiknya ke rumahku saja." Alba bangkit dan berjalan gontai mengambil jaket dan tasnya di balik meja kasir. Ia menatap jejeran rapi roti yang baru saja dipajang oleh Brom tadi pagi. Rasanya ingin menangis, tapi tak bisa. Otaknya berpikir keras kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Brom setelah ia ditangkap tadi. Apa Brom akan dihukum mati? Tidak. Alba berusaha menepis pikiran buruk itu.

Menarik perhatian di tempat umum salah satu cara mereka untuk menghindari kecurigaan. Mungkin hampir dua puluh lima persen penduduk Garolid yang ditangkap dalam beberapa bulan ini. Kesalahan kecilpun bisa menjadi pemicu.

"Jangan berjalan terlalu cepat, santai saja," ucap Byun saat keluar dari pintu toko.

"Aku ingin pulang secepatnya,"

"Kau ingin memancing CLOG?" Byun berbisik tegas pada Alba.

"Baiklah." Alba mengikuti saran Byun.

Byun memegang lengan Alba, mereka benar-benar harus waspada. Orang terdekat dengan tersangka, bagi CLOG dianggap ancaman level 3 dan berkemungkinan ikut ditangkap. Alba sesekali memperhatikan wajah Byun yang sangat waspada, rahangnya mengeras menahan terpaan angin. Keadaan jauh lebih sepi dari pagi tadi saat ia berangkat kerja. Sebagian besar toko memilih tutup. Hanya toko penjual bahan makanan yang tetap bertahan buka.

Mereka sampai di rumah lebih lama karena harus jalan memutar menghindari petugas CLOG yang terlihat seperti hewan predator mencari mangsa. Ibu muncul di ruang tamu saat mendengar Alba pulang. Ia senang bisa bertemu Byun kembali. Ibu bukan tipe orang yang nyinyir dan penuh rasa penasaran. Ia paham betul kondisi sekarang dan langsung bisa menebak sesuatu yang tak beres sedang terjadi.

"Ibu akan memberitahumu sesuatu," ucapnya dan memutar kursi roda menuju kamar.

Tak lama, perempuan paruh baya itu muncul dengan sebuah foto lalu menyodorkannya pada Alba. Byun terlihat serius dan mengambil foto itu. Memerhatikan dengan seksama. Alba yang mulai kesal dengan tingkah laku Byun yang mendominasi sejak tadi merebut pasksa foto itu kembali.

"Ini foto Ayah?" Alba memerhatikan lebih dalam.

Ibu mengangguk lemah, ia beberapa kali hendak membuka mulut tapi kembali mengurungkan niat.

"Ceritalah, Bu." Alba membujuk.

"Itu foto sebulan menjelang Gerbang Lunar terbuka. Foto terakhir ayahmu yang Ibu terima," Ibu tertunduk sedih.

"Kenapa Ibu memperlihatkan foto ini padaku sekarang?"

"Karena ini saatnya, Alba." Ibu meraih tangan Alba dan menatapnya penuh harap.

Alba yang sama sekali tak paham menatap Ibu dan Byun bergantian. Byun tak terlihat bingung sepertinya.

"Jika Brom tertangkap, kita harus segera menemukan Gerbang Lunar dan menutupnya kembali. Bagaimanapun caranya," terang Byun tegas.

Alba merasa hatinya mencelos. Gebang Lunar yang selama ini menjadi topic yang tabu untuk dibahas, malah dibebankan pada dirinya. Alba tertawa, merasa lelucon ini keterlaluan.

"Percaya padaku," bujuk Byun.

"Itu bukan tugas kita. Sudah ada tim penelitian untuk itu," tolak Alba.

Ia menarik kasar kursi di dekat Byun hingga menghantam lutut Byun pemuda berwajah tirus itu meringis tapi tak berani membalas. Situasi saat ini terlalu serius dan Alba menganggap ia diberi sebuah lelucon.

"Aku masih kaget dengan penangkapan Brom tadi," ucap Alba dengan nada lemah.

"Aku tahu." Ibu berusaha menenangkan anak semata wayangnya. Iapun merasa tak oernah siap jika hal ini terjadi. Setelah kehilangan suaminya, sekarang ia harus melepaskan, bukan, menyuruh putrinya untuk mengikuti jejak suaminya. Bisa saja ia menjerumuskan Alba pada situasi bahaya yang lebih parah. Namun, itu semua tak bisa digantikan, hanya Alba yang bisa.

"Aku lupa tentang Paman Barnes." Byun memecah keheningan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku