Warning! Cerita ini mengandung konten dewasa. Jika anda belum berumur lebih dari 18+ harap menyingkir! Kisah ini bermula dari seorang gadis anak mucikari. Kapan kebahagiaan akan datang padanya? Untuk hidup saja berat, hari-harinya dipenuhi dengan cemoohan orang. "Tidak kusangka malam itu aku melakukan malam panas dengannya!" Rindu itu apa? Sungguh, bila Seila harus ditanyakan soal itu, dia tak akan pernah bisa menjawab. Rindu terlalu rumit untuknya, hingga dia harus mengingat kembali apa yang telah terjadi belakangan ini. Peristiwa dia hampir diperkosa menjadi awal pertemuan dia bersama Aksara. Kejadian ditinggalkan ke luar negeri menjadi akhir untuk kebersamaan mereka. Tidak ada yang tahu. Benar, tidak ada yang tahu. Ini takdir. Takdir yang membuat Seila mendapat kebahagiaan lalu terperosok jatuh dan sulit untuk bangkit. Berusaha melupakan tetapi tidak bisa melupakan. Bagaimana ia melewati masa-masa sulit itu? Apa bisa dia hidup dengan tenang?
Gadis berambut cokelat tengah sibuk di antara botol minuman dan gelas kaca, dia sering lupa waktu jika sudah berada di klub milik ayahnya ini. Terlalu hanyut dalam dunianya sendiri, yaitu meracik minuman.
Minggu lalu Seila menyaksikan Steve Schneider, sang bartender idola membuat Gimlet di bar terpopuler Jakarta live lewat YouTube. Stave ini seorang bartender terkenal yang merupakan mantan marinir Amerika Serikat. Menyajikan pilihan signature drink Employees Only seperti EO Gimlet hasil perpaduan gin, jeruk nipis dan daun jeruk purut dengan cita rasa klasik koktail. Dia terpesona dan bertekad untuk membuatnya juga. Hanya dengan sekali lihat, cukup bagi Seila untuk tahu apa yang harus dia lakukan.
Koktail merupakan paduan dari berbagai bahan yang pembuatannya harus dengan teknik khusus, termasuk juga cara mengocoknya. Ini yang menjadi alasan koktail begitu digemari, khususnya anak-anak muda. Menurut Stave, koktail ibarat minuman yang di kostum, perpaduan antara pengetahuan dan seni. Karena itu Seila menjadi terinspirasi untuk memodifikasi bahan ini.
Semua bahan sudah dicampurkan ke dalam gelas stainless steel. Gadis itu tengah sibuk mengocoknya agar semua bahan tercampur sempurna, seperti yang dicontohkan sang idola.
"Gin dan jeruk nipis?" Surya mendekati putrinya yang tengah sibuk menakar cairan bening dari sebuah botol kaca ke dalam gelas jigger. Aroma buah seketika menguar. Karena aroma itulah Surya ingin mendekat dan menyaksikan kemahiran putrinya dalam meracik minuman.
"Ah, ada daun jeruk purut juga." Surya menjumput selembar daun lalu menghidu aromanya. "Coba Ayah tebak. Gimlet, ya?"
Seila tersenyum tanpa mengangkat wajah. Tangan lentiknya begitu cekatan saat menuangkan cairan bening di gelas jigger ke dalam gelas kocok, tak terlihat ragu-ragu sedikit pun. Dia sudah terbiasa melakukan hal ini.
"2.5 oz Gin." Seila melirik ayahnya yang serius menonton. Gadis itu kembali menuang cairan lain ke dalam gelas yang bentuknya lucu. "0.5 oz lime. And then, 0.5 simple syrup." Seila menyimpan kembali botol ke tempat masing-masing.
Sebagai penutup, tak lupa Seila menuang es batu lalu menutup gelas stainless steel itu. Tangan kanan Seila mulai mengocok. Gerakannya terlihat anggun, namun mantap dan yakin. Seolah-olah dia sudah sering melakukannya. Padahal dia baru sekali ini membuat Gimlet. Sedangkan membuat yang lain dia sudah mahir.
Gerakan tangan Seila berhenti. Lalu dia menuangkan cairan di dalam gelas kocok ke gelas koktail. Setelah memberi sentuhan akhir yaitu daun jeruk dan mint ke atas minuman, gadis yang masih SMA itu berseru riang, "Voila!"
Surya bertepuk tangan. "Steve Schneider bakalan pensiun nih gara-gara kamu," selorohnya. Dia senang anaknya terlihat bahagia.
Jam di dinding sudah menunjukan waktu tengah malam. Seila harus segera pulang karena besok ia harus sekolah dan akan pulang sore.
Surya mendekat dan mengecup puncak kepala anak gadisnya. "Cepat pulang. Ini sudah malam, jangan sampai besok kesiangan ke sekolahnya, Nak."
Seila mengangguk lalu mencium punggung tangan Surya yang memiliki kulit berkerut mengeriput, tak menyembunyikan usia.
"Hati-hati dijalan, Nak." Surya melambaikan tangan melihat Seila yang semakin jauh.
Sekolah sudah terlihat sangat sepi saat dia baru selesai mengikuti ekstrakurikuler Palang Merah Indonesia. Tak sengaja dia pulang terakhir karena tadi siang ada desas-desus tak mengenakan. Namun, hal itu sungguh kembali menjatuhkan mental Seila. "Apa aku harus pindah sekolah lagi? Tapi, mau sampai kapan? Aku lelah harus terus berpindah sekolah dan kembali beradaptasi," gumamnya dengan semburat kesedihan yang tak dapat lagi ditutupi. Sampai tanpa terasa, bulir air mata pun menggenang dan meluncur menuruni pipi, tetapi segera ditepis jari tangan dengan cepat. Rumor beredar mengungkapkan identitas aslinya.
Teman sekolah menjudge Seila wanita nakal, karena lahir dari keluarga yang tidak baik. Entah siapa yang awalnya mengetahui rahasia ini.
Seila berjalan lemas meninggalkan pelataran sekolah sembari memikirkan gunjingan para teman-teman akan keadaan keluarganya. Sungguh umpatan mereka sangat tajam dan membuat hati terasa sakit. Tidak ada satupun sifat dan sikap yang mereka tuduhkan tentang Seila itu benar. Ia selalu berusaha bersikap baik kepada siapapun dan tak pernah mencoba mencari masalah.
Seila bahkan belum pernah memiliki pacar. Berciuman? Jangan tanya lagi, dia belum merasakan bagaimana ciuman pertama yang kata kebanyakan gadis rasanya lebih manis dari madu.
Mereka menghardik Seila sangat kejam hanya karena melihat latar belakang keluarga, sungguh ini semua tak adil baginya. Gadis itu menghela napas kesal seraya menendang setiap kerikil yang menghadang di depan jalan.
Sore sudah beranjak petang. Semua teman sekolah sudah pulang, tetapi sialnya Seila masih harus menunggu angkot. Ponselnya sudah kehabisan daya untuk memesan ojek online. Gadis itu menengadah memandang langit yang semakin jingga. Angin yang berembus membuatnya menggigil. "Gawat, nih. Bisa jadi turun hujan. Musti cepet pulang," gumamnya pada diri sendiri.
"Dingin banget." Ia memeluk erat tubuh dengan kedua tangan sembari terus berjalan. Seseorang menarik lengannya hingga tubuh seketika berbalik ke arah pusat tarikan.
Tatapan seketika nanar kala melihat siapa yang bersikap begitu kasar. "Je-Jefry?" Jantung berdegup kencang seolah akan melompat keluar hingga membuat dada terasa sedikit nyeri. Jefry terkenal nakal dan dicap playboy di sekolah.
"Mau pulang, Cantik?" tanyanya sambil menyeringai miring dengan mata menatap tajam ke arah mata hazel milik Seila.
"I- iya." Bergidik ngeri saat melihat raut wajahnya yang tampak tak bersahabat. Lalu berusaha melepaskan tangan yang mencengkram kuat pergelangan tangannya. "Ma-maaf, Jef. Le-lepaskan tanganku," pinta Seila memasang raut wajah cemas.
"Mau kuantar?" tawarnya.
"Ti-tidak usah, a-aku bisa sendiri. Tolong lepaskan tanganku." Seila berusaha melepaskan tangan yang mengunci di pergelangan tangannya dengan kepala tertunduk. Tak berani menatap mata lelaki yang ada di hadapan. Tatapannya menyeramkan, seperti seekor serigala yang kelaparan.
"Aku antar kau pulang," ucapnya dengan lembut.
"Terima kasih, tapi sungguh itu tidak perlu." Ia menolak dengan lembut dan tak boleh gegabah, insting alami memperingatkan tubuh Seila untuk waspada. Ia juga merasakan ada firasat buruk.
"Kalo kubilang akan kuantar, ya kau harus mau!" bentaknya seraya menarik tangan Seila.
"Aww." Seila hanya bisa merintih kesakitan dengan raut wajah meringis. Tangan Jefry begitu kasar dan kuat menggenggam tangan Seila yang mungil.
Jefry memaksa Seila untuk masuk ke mobil memasangkan sabuk pengaman, mengunci pintu lalu dia berlari mengitari kap mobil dan duduk di kursi kemudi. Lelaki itu mulai memutar kunci mobil untuk menyalakan mesin dan seketika mobil melaju kala sudah menyala.
Dia hanya bisa diam tertunduk tak berani menoleh ke arah pria yang sibuk menguasai kendali mobil, seraya meremas ujung rok abu-abu dengan gugup. Panas dingin terasa berdesir merambat ke sekujur tubuh. Takut, benar-benar takut. Ia sama sekali tak mengenal Jefry dengan baik. 'Tuhan, lindungi aku, aku mohon,' batin Seila berdo'a kepada Tuhan yang maha kuasa.
Tak terasa waktu sudah sepuluh menit berlalu, tak terucap sepatah kata pun di antara mereka. Hingga membuat hati Seila sedikit lega karena Defry sama sekali tak melakukan hal buruk. Mungkin Seila yang terlalu paranoid karena belum pernah berduaan dengan seorang pria. Namun, pada saat perasaan melega, tiba-tiba saja Jefry menepikan mobil tepat di atas jembatan.
Seila spontan menoleh ke arah Jefry, menatap pria itu bingung dan penuh tanda tanya. "Je-Jef, kok kita berhenti di sini?" tanyanya ragu.
"Aku sudah mengetahui semuanya." Dia tersenyum meremehkan seraya menatap langsung.
"Ma-maksudmu apa? Aku tidak paham?"
"Jangan berpura-pura polos lagi. Sudah biasa aku menghadapi gadis berwajah polos sepertimu tetapi, garang saat di atas ranjang. Jadi, berapa aku harus membayarmu agar kau mau menghabiskan malam denganku?"
Mata Seila seketika membulat kala mendengar kalimat yang merendahkan dari mulut lelaki di sampingnya. Rasa panas seketika menyuruk-nyuruk ke sekujur tubuh hingga membuat wajah memerah dan daun telinga rasa terbakar. "Jaga mulutmu! Aku bukan gadis seperti itu!"
"Cih! Bersikap seolah terhina dan merasa direndahkan, padahal kerendahanmu sudah tak diragukan lagi," cemooh Jefry yang segera membuat Seila tak tahan lagi menahan segala amarah dalam diri. Hingga entah mendapatkan keberanian dari mana, tangan refleks menampar wajah pria kurang ajar dengan keras hingga membuat wajah Jefry memerah bekas telapak tangan. Tangan Seila terasa panas dan sakit setelah menampar pria yang ia anggap kurang ajar, mungkin karena tamparan itu begitu kuat.
"Sekali lagi, jaga ucapanmu! Jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti!"
Jefry yang tengah memegangi pipinya pun seketika memukul setir mobil karena geram. "Berengsek!" pekiknya dengan raut wajah memerah. Dia kemudian menyambar tubuh Seila, menghimpit di antara kursi dan pintu mobil yang masih setia terkunci. "Beraninya kau menamparku pel*cur sialan!"
Rasa takut semakin berkecamuk dan panik kala melihat amarah Jefry. Ia memalingkan wajah karena tak kuasa melihat wajah murka Jefry yang tampak menakutkan.
Embusan kasar nafas Jefry mengenai pipi Seila. Sungguh terpojok dan terjebak. Tak ada celah untuk ia lari. 'Bagaimana ini?' batin Seila begitu gelisah.
"Aku akan memberimu pelajaran!" Jefry meraih tangan Seila lalu mengikat keduanya di atas kepala menggunakan sabuk pengaman.
"Jangan, Jef. Maafkan aku, tolong lepaskan aku," pinta Seila yang semakin ketakutan.
"Tidak! Gadis kurang ajar sepertimu tak bisa ku maafkan. Kau harus menerima akibatnya karena sudah berani menamparku!"
"Tidak, Jef. Tolong ampuni aku, aku mohon, aku menyesal," rengek Seila. Raut wajahnya menegang dan airmata yang tak terbendung sudah membasahi kedua pipi. Ia sungguh sangat ketakutan.
Setelah Jefry selesai membuat ikatan di kedua pergelangan tangan Seila, ia tersenyum puas sambil menatap wajah cantik Seila yang kini berantakan. "Ini baru benar."
"Tidak, Jef. Tolong lepaskan aku." Seila memasang raut wajah memelas untuk meminta belas kasihan lelaki itu agar mau melepaskannya. Namun, usaha itu sia-sia. Hati Jefry sama sekali tak terenyuh. Dia sama sekali tidak menunjukan belas kasih.
Jefry mulai membuka satu persatu kancing baju seragam SMA Seila. Hal itu membuat Seila semakin panik dan ketakutan. "A-apa yang kau lakukan? Hentikan! Jangan! Tolong jangan lakukan ini! Jangan! Aku mohon! Aku mohon hentikan ini, Jef!"
Jefry hanya terus mengulas senyum sambil terus fokus melucuti satu-persatu kancing. "Tolong! Tolong! Siapapun tolong aku! Tolong! Aku mohon tolong aku!" teriak Seila yang melemah karena isak yang begitu menyesakan dada. Napas tersendat-sendat hingga membuat laring tak kuasa berteriak lebih keras lagi.
"Silakan saja berteriak, di sini sepi, takkan ada yang bisa mendengar suaramu meski kau berteriak hingga tenggorokan itu putus sekalipun." Jefry tertawa bak iblis. Dia terlihat sangat bahagia saat melihat penderitaan Seila.
"Jef, aku mohon, lepaskan aku. Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan, uang, mobil baru dan rumah. Ayah dan ibuku pasti akan mengabulkan semua keinginanmu asalkan kau mau melepaskanku. Aku bersumpah atas nama Tuhan, aku tidak akan berbohong." Dia tak mau menyerah, berusaha membujuk Jefry dengan segenap kemampuan. Seila tak peduli berapa banyak uang yang akan dikeluarkan. Semua itu tak masalah jika menyangkut keselamatan diri.
Jefry tersenyum miring. "Kau pikir kau siapa? Punya uang hasil ngangkang saja bangga. Sombong! Kau pikir aku membutuhkan semua itu? Uangku lebih banyak dari nominal uang di rekening Ayahmu. Bahkan aku bisa membeli rumah dan club malammu jika kumau."
"Lalu apa yang harus kulakukan agar kau mau melepaskanku?" pekik Seila dengan segenap tenaga yang tersisa. Ia terlalu lelah menangis dan meronta.
"Puaskan aku, dan kau boleh pulang!"
"Tidak!" Berteriak sambil diiringi tangis pilu yang menyesakkan dada seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Tolong jangan, aku mohon," rengeknya kembali memelas.
"Suaramu benar-benar merdu, tubuhku semakin tegang dan memanas. Aku sungguh ingin segera merasakannya. Semoga saja rasa tubuhmu tak mengecewakanku karena terlalu banyak dijamah tangan-tangan para pria kotor sebelumnya."
"Tidak, Jef. Aku bukan gadis seperti itu. Aku bukan gadis seperti yang kau pikirkan," ucap Seila melemah.
"Well, kita buktikan nanti." Jefry mulai menyingkapkan baju seragam dengan tak sabar lalu menatap tubuh yang hanya terlihat bra dan rok yang masih setia terpasang. Dia mulai mendekatkan wajahnya dan merapatkan tubuh. Seketika tangis kembali pecah. Suara raungan tangis memenuhi seisi mobil.
Bibir Jefry menyentuh pipi dan leher Seila bergantian. Tangannya mulai meraba-raba setiap jengkal tubuh mulus berkulit putih dengan semangat. Seila hanya bisa terus menangis dengan raut wajah mengerut pedih. "Jangan, aku mohon hentikan," ucapnya lemah disertai tangisan yang menyakitkan.
Seila belum pernah merasakan sepedih ini. Rasa terhina dan direndahkan yang tiada bandingannya. Ini tidak adil. Jefry tidak berhak melakukan ini terhadap Seila. Ia tak pernah mencari masalah atau mengganggu siapapun. Perlakuan ini sungguh tak pantas didapatkan.
Seila tidak mau hidupnya berakhir sampai di sini. Ia mengerahkan tenaga dengan kuat memukul kepala Jefry menggunakan sikut dan melepaskan ikatan di tangannya. Mendorong tubuh Jefry dan memencet tombol agar pintu bisa terbuka.
Seila berhasil keluar. Ia berlari sekuat tenaga dan berteriak meminta tolong. Jefry berusaha menyusul Seila.
Suara motor terdengar mendekat ke arah mereka. Seorang pria mengendarai motor besar berwarna biru dengan jaket hitam memberhentikan motor, membuka helm dan melemparkannya ke arah Jefry.
"Sialan. Jangan ganggu urusanku!" Jefry menatapnya dengan tajam.
Brug ...
Bab 1 Tentangku
23/03/2022
Bab 2 Ada Dia
23/03/2022
Bab 3 Cari Siapa
23/03/2022
Bab 4 Sialan
23/03/2022
Bab 5 Pria Menyebalkan
23/03/2022
Bab 6 Ada yang Mendekat
23/03/2022
Bab 7 Genit
23/03/2022
Bab 8 Mulai Dekat!
23/03/2022
Bab 9 Bukan Mimpi
23/03/2022
Bab 10 Sebuah Rahasia
23/03/2022
Bab 11 Modus
27/03/2022
Bab 12 Jadi Sewot
27/03/2022
Bab 13 Mirip Tikus Dan Kucing
27/03/2022
Bab 14 Mimpi Basah
27/03/2022
Bab 15 Cie Boncengan
27/03/2022
Bab 16 Jadi Sepasang Kekasih
27/03/2022
Bab 17 Cemburu
27/03/2022
Bab 18 Saling Menghangatkan
27/03/2022
Bab 19 Selepas Bercinta
27/03/2022
Bab 20 Sebuah Perpisahan
27/03/2022
Bab 21 Gara-gara Dia
07/04/2022
Bab 22 Iangatan Yang Hilang
07/04/2022
Bab 23 Pasangan Baru
07/04/2022
Bab 24 Kecurigaan
07/04/2022
Bab 25 Siapa Dia
07/04/2022
Bab 26 Hanya Ada Aku Dan Kamu
07/04/2022
Bab 27 Hujan Yang Mendatangkan Adegan Panas
07/04/2022
Bab 28 Menginap
07/04/2022
Bab 29 Lagi-lagi Tidur Denganmu
07/04/2022
Bab 30 Pagi Indah Bersamamu
07/04/2022
Bab 31 Saling Menghangatkan
07/04/2022
Bab 32 Orang di Masa Lalu
07/04/2022
Bab 33 Terbongkar
07/04/2022
Bab 34 Ingatan yang Kembali
07/04/2022
Bab 35 Menghindar
07/04/2022
Bab 36 Putus
09/04/2022
Bab 37 Balikan Lagi
09/04/2022
Bab 38 Si Mesum
09/04/2022
Bab 39 Bobok Bareng
09/04/2022
Bab 40 Kabar Buruk
09/04/2022
Buku lain oleh LianaAdrawi
Selebihnya