Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
The Mystery of Love

The Mystery of Love

Cyma

5.0
Komentar
8
Penayangan
5
Bab

Sheila tidak pernah menduga bahwa sebuah platform menulis terkenal akan menjadi teror mengerikan yang merenggut teman-teman sekolahnya. Lomba cipta novel yang awalnya begitu menyenangkan malah berubah mencekam. Platform menulis itu mengubah segalanya, termasuk persahabatan, kehormatan, bahkan juga perasaan.

Bab 1 Chapter 1

Cermin itu sungguh bersih, sempurna memantulkan seluruh bayangan diriku, dari ujung rambut bahkan hingga ujung kaki. Kusentuh pita merah muda yang menghiasi kepala. Benda itu masih sama seperti pertama kali aku memilikinya, tak ada yang berubah sama sekali. Dari kepala, tanganku beralih menyentuh gaun selutut. Laksana gaun peri di negeri dongeng yang juga kudapatkan di waktu yang sama dengan pita merah muda itu. Hal-hal sederhana yang tidak akan pernah kulupakan. Di bagian pinggang gaun itu terdapat hiasan mutiara yang melingkar. Bagian kerahnya berbentuk V.

Dan bagian lengannya panjang juga transparan. Sepertinya tak akan pernah ada gaun terbaik di dunia ini melebihi gaun yang kukenakan sekarang.

Aku menghela napas kemudian menatap jam dinding. Sudah pukul delapan malam. Setengah jam lagi aku harus sampai di kafe itu seperti biasa. Tak boleh terlambat sedikit pun. Aku memakai sepatu kaca dan bersiap keluar. Orang yang sudah biasa menjemputku--lelaki berambut hitam pekat--kini sudah ada di depan rumah dengan mobil sedannya. Seperti biasa, sambil tersenyum dia membuka pintu mobil itu untukku.

"Silakan, Tuan Putri." Lelaki itu mempersilakanku memasuki mobil. Aku tersenyum kecil mendengar cara dia memanggilku. Sudah sejak lama aku mendapat perlakuan manis seperti ini. Skenario dari semesta. Hal yang sebetulnya tak pernah aku harapkan. Semuanya hambar. Kosong. Jiwaku sudah pergi sejak dua tahun yang lalu. Malam ini aku merasa menjadi hantu.

Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Suaranya menderu mulus di jalan raya. Aku menatap sejenak keluar jendela mobil. Jalan tak terlalu padat. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang di samping kami. Beberapa muda-mudi sedang kasmaran di pinggir jalan maupun di kafe-kafe kecil. Malam Minggu, malam yang sempurna untuk berbagi cinta. Saat yang sempurna untuk merayakan sesuatu. Aku menatap kosong pohon-pohon yang seakan sedang berjalan di sampingku. Semuanya berlalu begitu saja. Tak ada yang menyenangkan. Tak ada yang romantis.

Beberapa saat, suara deru mobil itu pun perlahan berhenti. Aku mengalihkan pandangan. Ternyata sudah sampai di kafe itu. Sejenak aku kembali menghela napas. Perlahan turun dari mobil itu. Tentu saja, lelaki yang sama kembali membuka pintu mobil untukku. Aku menatap kafe itu dengan tatapan sendu.

Untuk kesekian kali aku akan masuk ke tempat ini. Tempat yang harus kukunjungi setiap tahunnya. Aku menatap lelaki di sampingku yang belum menutup pintu mobil. Dia tidak seperti tadi, tidak lagi tersenyum.

"Masuklah, aku akan menunggumu di sini bahkan sampai kau keluar tepat tengah malam." Lelaki itu berucap sambil menutup pintu mobil.

Aku terdiam sejenak sebelum kemudian dengan berat melangkahkan kaki menuju kafe itu. Sepatu kaca ini terasa jauh lebih berat dari benda mana pun. Aku menahan napas begitu sampai di sana, dan masih harus kembali melangkah menuju lantai atas, menuju ruangan yang disiapkan khusus untukku.

Ruangan itu sama sekali tidak berbeda dari sebelumnya, bahkan sejak dua tahun yang lalu. Selalu didekorasi dengan gaya klasik favoritku. Ruangan yang selalu membuatku merasa sedang berada di negeri dongeng atau di rumah para peri kayu.

Aku duduk di kursi itu. Lagi-lagi, kursi yang sama, yang tidak pernah berubah sedikit pun. Semua bagian dari ruangan ini dibuat dengan bahan kayu. Diukir dengan sangat indah dan dengan bentuk yang menawan. Begitu eksotis juga teliti.

"Ini kuemu. Kue cokelat kesukaanmu. Dengan dekorasi yang sama dan tidak pernah berubah." Gadis berambut pirang itu meletakkan kue cokelat tepat di depanku. Kue yang hanya dihiasi satu buah ceri dan tulisan happy birthday di atasnya.

Aku menatap gadis berambut pirang yang tersenyum sekaligus menatap sendu ke arahku itu. Seperti biasa, dia selalu bisa membuat suasananya sama seperti dahulu.

"Terima kasih," ucapku singkat. Gadis itu menatap ke arah pintu. Tak ada siapa pun di sana.

"Kau akan menunggu dia?" Gadis itu bertanya dan kembali menatapku. Aku menahan napas sebelum kemudian mengangguk singkat dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku akan tetap di sini seperti biasa. Dan aku akan pulang di jam biasa."

Setelah mengatakan hal itu, gadis berambut pirang tersebut pun berlalu dari hadapanku. Meninggalkanku sendirian di sini dan menikmati sepotong kue cokelat itu.

Waktu berlalu dalam keheningan. Aku tertunduk dan juga sesekali menatap ke arah pintu. Berharap ada bayangan seseorang di sana sebelum kemudian orang itu masuk ke ruangan ini dan memberi sebuah kado untukku. Anggaplah sebuah harapan di level tertinggi saat ini. Aku menunggu dalam satu kali setahun di ruangan ini. Hanya satu kali. Menikmati waktuku sendirian dalam beberapa saat. Menikmati malam ulang tahun yang tak pernah meriah.

Aku membuka layar ponsel. Satu jam sudah berlalu. Tak bisa kurasakan tubuhku sendiri. Semuanya terasa kaku. Aku mati rasa. Kumatikan kembali layar ponsel itu, membiarkan hanya cahaya lilin yang menerangiku saat ini. Cahaya lilin itu diam tanpa ditiup angin. Bahkan udara malam pun seakan tidak mau ikut masuk ke ruangan hampa ini. Seakan tak mau ikut menunggu bersamaku.

"Aku masih ingin menunggu. Aku masih harus menunggu." Aku bergumam, mengajak lilin itu berbicara. Berharap dia mendadak hidup seperti yang biasa kulihat di film fantasi. Menemani rasa sepiku di sini.

Aku mengangkat kepala, kembali menatap ke arah pintu yang tidak memperlihatkan siapa pun. Semuanya sepi. Suara berisik di lantai bawah sama sekali tidak bisa membunuh rasa sepi di ruangan ini. Aku tetap saja merasa kosong.

"Bagaimana jika aku bercerita pada malam? Setidaknya ada yang ingin mendengar kalau hatiku." Kutatap sendu ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan bulan dan taburan bintang di luar sana. Jauh lebih terang dan lebih ramai daripada yang melingkupiku saat ini.

Kupeluk diri sendiri. Memberi kehangatan pada tubuh itu. Berharap dia mendadak datang lantas memelukku dari belakang. Aku menatap seluruh ruangan itu. Tak ada kehidupan. Tak ada nyawa. Semuanya sudah mati. Malam ulang tahun yang sungguh mengerikan dan tak pernah diharapkan oleh siapa pun di dunia ini.

Sepi.

Detik menuju menit.

Menit menuju jam.

Semuanya berlalu begitu saja. Semua berlalu dalam kekosongan. Lilin di atas kue itu mati meski tak ada angin di sini. Ruangan itu gelap gulita, menambah kehampaan dan kesunyian di sana. Aku mematung dalam kegelapan.

Sekali lagi, aku sendirian. Terdiam menjelajah waktu. Menikmati kekosongan. Tak ada yang datang. Sampai pada titik aku bosan menunggu. Menunggu semua yang tak pernah pasti. Aku ingin menjadi hantu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku