Side Story Of Accindentally Fall For You Camilio Danielle Osvaldo, seorang pria dengan IQ di atas 150, sangat berprestasi di sekolah dan dunia militer. Karena mengalami kekecewaan yang sangat mendalam, ditinggalkan oleh wanita yang paling dicintainya, membuatnya bergabung dan menjadi anggota inti Black Nostra, yaitu salah satu mafia terbesar di dunia. Seseorang mengulurkan tangannya dan menyambutnya dengan baik. Orang itu adalah Mike, dia adalah salah satu petinggi penting dari Black Nostra. Awalnya tentu saja Camilio tidak ingin bergabung, karena itu sangat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Namun pandangan awal dirinay terhadap kelompok itu berubah saat ia mengetahui dan mengenal setiap anggota kelompok. Meski mereka bekerja dalam bidang yang melanggar hukum, namun kekeluargaan mereka sangat luar biasa.
"Mommm...," seru Camilio panik saat melihat tubuh ibunya terkulai di dekat almari hias di ruang keluarga.
Ia baru saja keluar dari kamarnya, bersiap berangkat ke sekolah, ketika pemandangan itu menghentikan langkahnya. Camilio segera berlari, menyangga tubuh ibunya agar kepalanya tidak membentur lantai. Dengan hati-hati, ia memapah ibunya ke sofa.
Setelah melepas ransel sekolahnya, ia meraih gagang telepon yang menjuntai lepas dari genggaman sang ibu. Namun, panggilan di seberang telah terputus. Tanpa membuang waktu, Camilio meletakkan kembali telepon itu, mengambil botol minyak angin di meja, dan bergegas ke dapur untuk mengisi segelas air.
"Mom, bangun... Mom," bisik Camilio cemas sambil menggoyang lengan ibunya dengan lembut. Ia mengoleskan minyak angin ke pelipis dan hidung ibunya, berharap aroma tajam itu memulihkan kesadarannya.
Sepuluh menit terasa seperti seabad. Perlahan, mata Catharina terbuka. Wanita itu menatap anaknya dengan pandangan kosong sebelum air matanya mengalir deras. Dengan tangan gemetar, ia menangkup wajah Camilio, suaranya bergetar saat berkata, "Tadi... telepon dari atasan ayahmu. Mereka bilang... ayahmu... t-tertembak... dan... tewas."
Seperti tersambar petir, tubuh Camilio membeku. Napasnya tercekat, tak sanggup memproses kabar itu. "Daddy..." gumamnya pelan sebelum akhirnya memeluk ibunya erat.
Catharina menangis tersedu-sedu dalam pelukan anaknya. Suaminya, Benhardi Osvaldo, telah pergi untuk selamanya. Benhardi adalah seorang Letnan Kolonel di Angkatan Darat yang ditugaskan ke Detroit, Michigan, kota yang kerap dirundung konflik rasial sejak abad ke-20. Di sana, subuh tadi, hidupnya berakhir tragis. Sebuah peluru menembus lehernya, bagian yang tidak terlindungi rompi anti peluru. Ia gugur bersama dua rekan lainnya dalam serangan mendadak oleh kelompok perusuh.
Hari berikutnya, jenazah Benhardi diterbangkan ke New York dan dimakamkan secara militer di Woodlawn Cemetery of Elmira. Upacara pemakaman itu penuh dengan penghormatan. Salvo tembakan mengiringi kepergiannya, sementara Camilio berdiri tegak di samping ibunya, berusaha kuat meskipun matanya berkaca-kaca.
Setelah selesai, mereka pulang ke rumah dalam keheningan. Camilio mengantar ibunya ke kamar untuk beristirahat sebelum ia sendiri duduk termenung di sofa ruang tengah. Matanya tertuju pada foto keluarga yang tergantung di dinding, diambil dua tahun lalu saat Benhardi dipromosikan menjadi Letnan Kolonel. Dalam foto itu, mereka bertiga tersenyum bahagia: Benhardi berdiri gagah di seragam militernya, Catharina duduk di depan mereka, dan Camilio berdiri di samping ayahnya.
Di sebelah foto itu, ada potret Benhardi seorang diri. Sosoknya tampak sangat berwibawa. "Dad, aku ingin menunjukkan pialaku padamu saat kau pulang. Aku juara satu lomba matematika internasional dan juara dua lomba sains internasional. Aku ingin membuatmu bangga. Tapi kenapa kau pergi begitu cepat?" gumamnya lirih.
Air matanya kembali mengalir. Camilio mengusap wajahnya dengan kasar, mengingat pesan ayahnya: seorang lelaki sejati tidak boleh mudah menangis. Tapi rasa kehilangan itu terlalu besar untuk dibendung.
Malamnya, setelah makan, Camilio mencoba menghibur ibunya. Mereka duduk bersama di sofa, berbicara pelan-pelan. Catharina mulai bercerita, "Hampir setahun terakhir, ayahmu membuka toko bahan makanan dan meminta Mom mengelolanya. Katanya, untuk mengisi waktu luang sambil menunggumu tumbuh dewasa. Ayahmu bilang, toko itu juga tabungan untuk masa tua kami nanti."
Camilio mengangguk sambil mendengarkan. "Aku tahu Dad selalu berpikir jauh ke depan. Itu salah satu hal yang paling aku kagumi darinya."
Catharina tersenyum tipis. "Ayahmu memang seperti itu. Dia selalu memikirkan segala kemungkinan. Tapi Mom tidak pernah menduga, ternyata itu semua firasat... seolah dia tahu waktu bersama kami tidak akan lama lagi."
"Mom," kata Camilio, menatap ibunya dengan mata yang penuh kesungguhan. "Kita tahu Dad adalah seorang prajurit negara. Kita harus siap mental menghadapi segala risikonya. Aku ini anak laki-lakinya, Mom. Aku bisa menggantikan Dad untuk menjagamu."
Catharina menatap anaknya dengan penuh kasih. "Kau baru 17 tahun, Cam. Tapi cara bicara dan pemikiranmu sudah seperti orang dewasa saja."
Camilio tersenyum kecil. "Aku ini anak Benhardi Osvaldo, Mom. Jadi harus berbeda."
Keduanya tertawa kecil, meski rasa duka masih begitu pekat di udara. Catharina melanjutkan, "Kita bukan keluarga kaya, tapi peninggalan ayahmu cukup untuk hidup layak. Ada tabungan, rumah sendiri, mobil, dan usaha toko yang sedang berkembang. Kau tidak perlu khawatir soal biaya hidup atau pendidikanmu. Fokus saja pada sekolahmu, ya?"
Camilio mengangguk patuh. "Ya, Mom. Aku paham."
Meskipun begitu, Camilio tahu tugasnya kini jauh lebih berat. Ibunya adalah sosok yang kuat dan mandiri, tapi ia sadar bahwa kehilangan suami tentu meninggalkan luka yang dalam. Sebagai anak tunggal, ia merasa bertanggung jawab untuk menjadi pelindung dan penopang ibunya.
Catharina menghela napas panjang sebelum berkata lagi, "Mom masih kuat, Cam. Kau fokus saja pada pendidikanmu. Nanti uang jasa negara dari ayahmu akan Mom simpan untuk biaya kuliahmu. Kau sudah harus memikirkan jurusan apa yang akan kau ambil."
"Aku sudah punya beberapa pilihan, Mom. Tapi aku ingin mempertimbangkannya dengan matang sebelum berdiskusi denganmu," jawab Camilio dengan senyuman tipis.
Catharina tersenyum bangga. Dalam hati, ia bersyukur memiliki anak seperti Camilio. Meski masih remaja, anak itu telah menunjukkan kedewasaan yang luar biasa. Kini, mereka hanya bisa saling menguatkan untuk melanjutkan hidup tanpa Benhardi Osvaldo, pria yang selalu menjadi pilar keluarga mereka.
Setelah percakapan itu, malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Camilio kembali ke kamarnya, tetapi tidur enggan datang. Ia terus memikirkan kata-kata terakhir ayahnya sebelum berangkat sepuluh hari lalu. "Jaga ibumu baik-baik, Cam. Kau laki-laki satu-satunya di keluarga ini."
Pagi harinya, Camilio bangun lebih awal. Ia memutuskan untuk membantu ibunya di toko sebelum pergi ke sekolah. Sesampainya di toko, ia menyadari betapa sibuknya ibunya selama ini. Lima pegawai yang bekerja di sana memang cekatan, tetapi tetap saja Catharina terlihat sibuk mengawasi segala sesuatunya.
"Mom, biar aku bantu hari ini," kata Camilio sambil mengenakan celemek.
"Tidak usah, Cam. Kau harus fokus pada sekolahmu," jawab Catharina sambil tersenyum lembut.
"Tapi aku ingin membantu. Setidaknya sampai semuanya berjalan lebih stabil."
Catharina menatap anaknya dengan bangga. "Baiklah, tapi jangan sampai terlambat ke sekolah."
Hari itu berlalu dengan cepat. Meski lelah, Camilio merasa puas bisa membantu ibunya. Ia tahu, ini baru awal dari perjalanan panjang mereka tanpa Benhardi. Namun, ia bertekad untuk menjalani setiap langkah dengan penuh tanggung jawab, seperti yang selalu diajarkan ayahnya.
To Be Continued...
Bab 1 1 - Kepergian Benhardi Osvaldo
08/01/2025
Bab 2 2 - Cita-cita Camilio
08/01/2025
Bab 3 3 - Mental Istri Letnan Kolonel
08/01/2025
Bab 4 4 - Tentang Debbie
08/01/2025
Bab 5 5 - Hari Kelulusan
08/01/2025
Bab 6 6 - Pendidikan Militer
08/01/2025
Bab 7 7 - Bertemu Dengan Teman Lama
08/01/2025
Bab 8 8 - Persamaan Keturunan Italia
08/01/2025
Bab 9 9 - Mike Foland dan Keluarga Lazcano.
08/01/2025
Bab 10 10 - Aksi Demo di Minnesota
08/01/2025
Bab 11 11 - Tidak Asing Dengan Nama Itu
08/01/2025
Bab 12 12 - Ia Seorang Anggota Mafia
08/01/2025
Bab 13 13 - Di Rumah Sakit
08/01/2025
Bab 14 14 – Lukisan
08/01/2025
Bab 15 15 - Tidak Suka Perayaan
08/01/2025
Buku lain oleh S.Rustandi
Selebihnya