Bagi dirinya Dayana Ekavira Sanjaya sudah tidak ada, begitu ia meninggalkan Jakarta. Yang ia inginkan adalah pergi menjauh ke tempat yang tidak ada satupun orang yang mengenal dirinya, meninggalkan suami dan keluarga suaminya yang sudah memperlakukannya dengan buruk. Dalam pengasingannya, katakanlah begitu Aya--nama panggilannya menyebutnya. Ia akan hidup dengan nama baru Kana Zanitha. Kana pergi ke sebuah tempat yang cukup jauh dari hiruk pikuk kota, di mana ia yakin suami dan keluarganya tidak akan menemukannya. Sayangnya tidak ada tujuan yang pasti untuk dirinya, celakanya dalam pelariannya tersebut ia jatuh pingsan di sebuah kebun dekat villa. Pemilik villa menemukannya tergeletak di bagian belakang villa nya, Elvan Ravindra Dewangga. Seorang pria introvert dengan tatapan tajamnya. Karena luka di tubuhnya dan menyebabkan dirinya demam, Kana tidak bisa langsung meninggalkan tempat tersebut begitu saja. Meski awalnya ia takut pada pria itu, sayangnya keduanya mulai terjerat perasaan yang tidak biasa. Suami dan keluarganya menemukan keberadaannya, apa yang harus Kana lakukan? Kembali kabur atau menghadapi mereka?
Elvan menutup mematikan laptopnya, cukup untuk hari ini ia bekerja dan mengamati perkembangan perusahaannya yang ada di Jakarta. Ia memijat keningnya dengan pelan seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju beranda ruang kerjanya.
Dari tempatnya kini terlihat hamparan luas kebun teh yang begitu hijau dan asri. Pemandangan yang di dominasi warna hijau ini cukup menyegarkan untuk penglihatannya, dan mampu membuat dirinya merasa tenang.
Sudah hampir 5 bulan ia meninggalkan Jakarta dan menetap di Bandung. Lebih tepatnya Rancabali, Ciwidey. Kurang lebih sekitar 40 km meter dari kota Bandung ke arah selatan.
Elvan sengaja meninggalkan hiruk pikuk Jakarta demi pemulihan jiwanya. Baginya ini tempat ideal untuk menenangkan dirinya. Sekitar 8 bulan yang lalu adalah masa kelam bagi dirinya. Di mana ia harus kehilangan istri tercintanya beserta buah hati yang ada di dalam kandungan Davina--istri tercintanya. Mereka meregang nyawa saat mobil yang ditumpangi Davina tertabrak sebuah truk dengan rem yang blong di jalan tol.
Elvan merasa bersalah, karena siang itu ia tidak sempat untuk menjemput Davina yang baru saja pulang dari rumah sakit untuk mengecek kandungannya yang sudah menginjak 7 bulan.
Ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya membuat Elvan merasa shock dan sangat sedih. Berminggu-minggu lamanya ia mengalami gangguan makan. Hingga bobot tubuhnya banyak berkurang. Hampir setiap malam ia menangis dan meraung meratapi kepergian istri dan putranya.
"Sialll!" geramnya seraya mengeratkan pegangan tanggannya di pagar kayu beranda dan memejamkan matanya dengan kuat saat bayang 8 bulan yang lalu kembali muncul begitu saja di pikirannya.
Elvan sudah mendatangi seorang psikiater, sayangnya kenangan buruk itu selalu menghantuinya dan seakan enggan untuk menjauh darinya. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi untuk meninggalkan rumah yang di tempatinya bersama Davina. Di mana banyak kenangan manis bersama istrinya di sana. Bukan hanya itu, kamar bayi yang sudah terisi lengkap dengan perabotan bayi mampu membuat air matanya kembali berderai.
Bukan hanya meninggalkan rumah, tapi Elvan meninggalkan kota di mana dia dan Davina sempat mengukir kehidupan indah mereka. Terlalu banyak tempat yang pernah mereka datangi bersama, hingga membuat Elvan membuat keputusan besar untuk meninggalkan Jakarta dan hidup dalam pengasingan.
Langit sudah berwarna jingga, sebentar lagi matahari akan terbenam. Dari pukul empat sore temperatur udara akan cepat menurun. Udara dingin mulai menusuk kulitnya. Awal dia tinggal di sini, Elvan sangat tersiksa oleh suhu yang begitu dingin berbanding terbalik dengan suhu di Jakarta.
Elvan kembali menghela napas, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam sebelum ia membeku di luar.
Setelah menutup semua jendela rapat-rapat, Elvan memutuskan akan membuat teh panas di dapur. Teh dari hasil kebun yang berada di sisi Villa-nya.
Tak ada siapapun di villa ini kecuali dirinya. Hanya ada Bi Enah yang akan datang di pagi hari dan pergi menjelang sore untuk membersihkan villa dan mencuci pakaiannya. Sesekali memasak, namun Elvan sering lebih senang memasak makanannya sendiri. Dan Bi Enah akan membeli dan mengisi lemari es dengan bahan makanan yang dibutuhkannya.
Ada juga Mang Deden yang biasa mengurus tanaman dan rumput yang ada di sekitar villa. Atau memperbaiki jika ada kerusakan di villa. Rumah keduanya tidak terlalu jauh, dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 20 hingga 25 menit. Ada sebuah perkampungan yang berada di ujung perkebunan teh.
Sambil membawa teh panasnya, Elvan berjalan menuju ruang tengah. Di mana televisi berada, ia memutuskan untuk menonton berita. Sudah dua hari ia tidak menyalakan televisi miliknya.
Hari semakin gelap, udara sangat dingin di malam hari meski di cuaca panas. Bahkan mulutnya sudah mengeluarkan asap putih jika ia membuka mulutnya apalagi berbicara.
Saat melihat jam, waktu menunjukkan pukul 8 malam, biasanya ia akan keluar villa dan menatap langit yang begitu luas. Meski udara dingin menusuk kulitnya, itu bukan halangan. Ia akan mengenakan jaketnya dan menatap langit yang bertaburan bintang. Ini lah yang tak akan ditemuinya di Jakarta, asap polusi yang di hasilkan di siang hari akan menutupi keindahan malam.
Elvan mengambil jaketnya yang ia gantung tak jauh dari tempatnya, memakainya kemudian berjalan ke arah pintu belakang villa. Ada sebuah kolam kecil dengan air yang hangat di sana. Di sini ada beberapa sumber mata air hangat alami, dan air dari kolamnya berasal dari sana.
Villanya di dominasi oleh kayu, hanya kolamnya saja yang terlihat sedikit modern. Sedangkan kamar mandi di dalam didominasi oleh bebatuan alami dengan air hangat yang berasal dari sumbernya.
Elvan menenggadahkan kepalanya ke atas langit, tampak bintang sudah bertaburan dengan begitu indahnya. Berkelap-kelip seakan tak akan pernah padam.
"Bagaimana kabar kalian di sana? Apa kalian baik-baik saja?" serunya seakan ia berbicara dengan istri dan anaknya.
"Aku sendirian, apa kalian tidak kasian padaku meninggalkanku seperti ini? Kapan kalian akan menjemputku?"
Hatinya terasa pilu, andai saja mereka masih ada. Pasti saat ini Elvan akan mendengar celoteh-celotehan khas bayi dari mulut anak laki-lakinya. Atau omelan Davina yang selalu ia rindukan.
Tak terasa matanya mulai terasa panas. Rasa sesak mulai menguasai dadanya, relungnya begitu menyakitkan.
Elvan sedikit mengeram dan mengepalkan tangannya di dalam saku jaketnya. Air matanya hampir keluar sesaat ia mendengar suara benda jatuh dari arah kirinya. Dengan spontan Elvan menatap ke arah sana.
"Siapa itu?" tanyanya dengan nada serius dan sedikit menyeramkan.
"Sialan!! Pasti ada yang mencoba masuk lagi!" gerutu Elvan kemudian, dengan cepat ia masuk ke dalam villa dan mengambil senapan angin miliknya yang ia simpan untuk berjaga-jaga.
Beberapa hari yang lalu ada yang mencoba masuk paksa ke dalam villanya di tengah malam. Ia mencoba mengejar pencuri itu, hanya saja pencuri itu lari dengan cepat menuju kebun teh, dan Elvan harus kehilangan jejaknya.
Elvan memiliki tubuh yang tinggi dengan badan yang atletis, hanya saja kini ia sedikit lebih kurus meskipun lebih baik dari beberapa bulan sebelumnya. Berat badannya kembali naik, tapi tidak seperti sedia kala saat Davina masih berada di sisinya.
Untuk bertarung tangan kosong, Elvan tidak takut sama sekali. Karena ia menguasai bela diri.
Dengan langkah lebarnya dengan senapan di tangannya Elvan berjalan menuju kebun yang di penuhi oleh tanaman sayuran yang di tanam oleh Mang Deden.
Langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang yang terbaring begitu saja di tanah di dekat tanaman tomat yang sebagian sudah berbuah.
Ia mengarahkan senapannya pada orang tersebut.
"Heii, kau pencuri! Jangan pura-pura pingsan! Jika tidak bangun aku akan menembakmu!" ancam Elvan.
Meski sudah mengancamnya tapi orang itu tidak bangun juga. Pencahayaan di sini sedikit temaram, karena sinar yang berasal hanya dari lampu teras villa. Hingga Elvan tidak terlalu melihatnya dengan begitu jelas.
"Heii!!" Elvan kini setengah berteriak. Tapi tetap saja orang itu tidak memberikan respon apapun.
Hingga akhirnya Elvan mendekat dengan sikap waspadanya masih mengarah senjata pada orang itu.
Lagi-lagi ia harus terkesiap kaget, saat mengetahui jika seorang wanitalah yang terbaring di tanah itu. Kening berkerut tapi tidak mengurangi kewaspadaannya. Ia menelisik keadaan sekitar, takut-takut jika ini adalah jebakan dari para pencuri.
Tapi tak ada apapun, hingga Elvan semakin mendekat dan kini sudah berdiri di samping wanita itu.
"Hei..." seru Elvan kini sedikit menurunkan suaranya. Tapi tetap tak ada respon.
Elvan berjongkok, dan menyentuh lehernya untuk memastikan apakah wanita itu bernyawa atau tidak.
"Masih hidup..." gumamnya pelan seraya menghembukan napas lega.
Jika sampai wanita itu sudah tak bernyawa maka dirinya harus menghubungi pihak kepolisian.
"Sedang apa dia di sini? Pingsan?" gumamnya lagi. Kemudian Elvan mencoba untuk menepuk-nepuk pipi wanita tersebut.
"Dia pingsan sungguhan!" decak Elvan.
"Ini merepotkanku saja!" keluhnya.
- To be Continue -
Bab 1 1. Apa Kalian Tidak Kasian Padaku
01/11/2024
Bab 2 2. Aku Di Mana
01/11/2024
Bab 3 3. Aku Tidak Menerima Tamu
01/11/2024
Bab 4 4. Hidup Dengan Nama Baru
01/11/2024
Bab 5 5. Tunggu Saja
01/11/2024
Bab 6 6. Kau pilih mana Merepotkanku atau kau berjalan sendiri
01/11/2024
Bab 7 7. Aku Sudah Terbiasa Sendirian Di Sini
01/11/2024
Bab 8 8. Sudah Cukup 3 Tahun Dirinya Menderita
01/11/2024
Bab 9 9. Apa Kau Selalu Meminta Maaf Untuk Semua Hal
01/11/2024
Bab 10 10. Aku Bukan Orang Yang Tidak Berperasaan
01/11/2024
Bab 11 11. Apa Aku Harus Membayar Biaya Karena Tinggal di Sini
01/11/2024
Bab 12 12. Cincin Nikah Yang Tersemat Di Jarimu
04/11/2024
Bab 13 13. Jika Aku Harus Pergi Aku Akan Pergi Kemana
04/11/2024
Bab 14 14. Ada Apa Dengan Pinggangmu
04/11/2024
Bab 15 15. Apa Dia Sedang Merindukan Istri Dan Anaknya
05/11/2024
Bab 16 16. Bagaimana Dia Mendapatkan Luka-luka Itu
05/11/2024
Bab 17 17. Tak Ingin Identitasnya Terbongkar
05/11/2024
Bab 18 18. Ada Hal Penting Yang Ingin Kubicarakan Denganmu
06/11/2024
Bab 19 19. Aku Menikah Bukan Karena Uang!
06/11/2024
Bab 20 20. Pegang Ucapanku
06/11/2024
Bab 21 21. Aku Yakin Kau adalah Wanita Yang Kuat
07/11/2024
Bab 22 22. Aku Harus Sembuh
07/11/2024
Bab 23 23. Tanpa Shella, Aya Tak Mungkin Merasakan Jadi Seorang Ibu
07/11/2024
Bab 24 24. Aku Mengerti Dengan Kekhawatiranmu
08/11/2024
Bab 25 25. Elvan Ravindra Dewangga, Apa Kau Pernah Mendengar Nama Itu
08/11/2024
Bab 26 26. Apa Ini Takdir
08/11/2024
Bab 27 27. Kalau Lu Bukan Temen Gue, Udah Gue Lempar Ke Bawah Sana!
10/11/2024
Bab 28 28. Dia Tidak Takut Kan Tinggal Sendirian Di Sana
10/11/2024
Bab 29 29. Nah Gitu Dong Pulang, Kamu Kaya Anak Ilang Aja
10/11/2024
Bab 30 30. Bisa Masuk Penjara Berapa Lama
10/11/2024
Bab 31 31. On The Way Single. Jadi Kenapa Enggak
10/11/2024
Bab 32 32. Apa Dia Tidak Ketakutan Saat Malam
10/11/2024
Bab 33 33. Mereka Sudah Meninggalkanku Dan Sudah Tenang Di Sana
10/11/2024
Bab 34 34. Memulihkan rasa percaya dirimu
10/11/2024
Bab 35 35. Jangan bilang kalau Lu juga udah terkontaminasi Si Kampret itu!
10/11/2024
Bab 36 36. Aku Akan Menawarkan Kesepakatan Bisnis Denganmu
11/11/2024
Bab 37 37. Jadi Apakah Kita Sudah Mencapai Kesepakatan
11/11/2024
Bab 38 38. Karena Itu Passion-mu
11/11/2024
Bab 39 39. Virusnya sangat berbahaya.
11/11/2024
Bab 40 40. Nyonya Dayana, akhirnya kau memiliki keberanian...
11/11/2024
Buku lain oleh S.Rustandi
Selebihnya