Arsenio Orlando Lazcano, muda, tampan, berkharisma dan sudah pastinya kaya raya. Tidak ada wanita yang tidak jatuh cinta kepadanya, bahkan dengan suka rela akan memberikan tubuhnya kepada CEO tampan pemilik Lazcano's corps itu. Namun dibalik itu semua ada hal yang di sembunyikan oleh seorang Arsen. Kehidupan gelapnya, yang siapapun tidak akan pernah mengiranya. Membunuh sudah menjadi hal yang biasa bagi seorang Arsen. Sebuah insiden mempertemukannya dengan seorang gadis yang membuat hidupnya berubah. Gadis lugu, polos dan baik hati. Sungguh sangat berbanding terbalik dengannya. Namun itulah yang membuat ia penasaran dan tertarik dengan gadis itu.
Lily mulai membuka matanya saat sedikit sinar matahari yang lolos dari celah gorden yang tidak tertutup rapat menerpa wajahnya. Ia mengucek matanya agar bisa melihat sedikit lebih jelas. Karena kamar masih terlihat cukup gelap. Kepalanya sedikit pengar, mungkin akibat alkohol yang diminumnya semalam.
Perutnya terasa berat, saat terlihat sebuah tangan melingkar di perutnya, ia bisa merasakannya walau tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Kini badannya benar-benar terasa sakit, bahkan bagian intinya sangat kebas dan perih. Entah berapa kali semalam ia melakukannya, bahkan ia tidak mampu menghitungnya.
Kini Ken--kekasihnya, tampak masih terlelap, terdengar suara napas yang teratur. Lily mengambil ponselnya di nakas sebelah tempat tidur, ia ingat semalam menaruhnya di situ.
Dengan susah payah ia menggapainya. Ternyata jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, masih ada sisa 2 jam lagi sebelum acara kantor dimulai.
Ia akan bergegas mandi. Namun ia akan membangunkan Ken terlebih dahulu. Lily akan mengajak Ken untuk sarapan bersama.
"Sayang, bangun," bisik Lily di telinga Ken.
"Hmm," gumam Ken dengan sedikit serak.
"Acaranya sejam lagi," ucap Lily.
Namun Ken malah menarik tubuh Lily ke atasnya . "Last time, giliran kau di atas," ucapnya. Tubuh Lily benar-benar membuat Ken ketagihan, padahal semalam ia sudah melakukan sebanyak 4 kali. Ia belum pernah merasakan sensasi seperti semalam.
"Tidak, rasanya masih sakit dan perih," dengus Lily kesal dan memukul dada Ken pelan. Bahkan sangat tidak terasa. Kini ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang Ken. 'Sejak kapan dada Ken memiliki otot seperti ini?' tanyanya dalam hati.
"Ck! Aku tidak akan memberikan bonus lebih dalam bayaranmu !" ucap Ken dengan nada kesal dan dingin.
"Bonus? Bayaran apa maksudmu?" Lily mendongakkan wajahnya pada Ken yang masih tidak terlihat dengan jelas, hanya samar.
"Ya, bayaranmu karena menemaniku tidur!" ucapnya.
"A-apa??!" Lily kaget tak percaya.
"Kau anggap aku wanita seperti itu?" Lily beringsut dari atas tubuhnya dan terduduk di atas kasur. Ia sedikit meringis, bagian bawah tubuhnya sedikit sakit.
"Kau memang dipanggil dan dibayar untuk datang ke kamar ini dan memuaskanku," jelasnya.
Kini mulut Lily menganga tak percaya dengan ucapan kekasihnya, hatinya sangat terpukul. Ia mulai terisak tertahan.
"Kenapa kau jahat padaku, Ken? Kenapa?" ucap Lily dengan isakannya. Ia tak menyangka sama sekali, jika kekasihnya akan mengatakan hal seperti ini, dan menganggapnya seperti wanita panggilan.
"Katakan Kendrick Edbert? Kenapa kau berbuat ini padaku??" Kini mulut Lily sudah bergetar ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Amarah di dadanya bergemuruh, Lily yang biasanya bersikap tenang, bahkan cenderung pendiam. Kini ia tak bisa menahan amarahnya pada kekasihnya itu.
"Apa salahku, Ken?" tanyanya lagi dengan lirih.
"Ken ... Ken siapa?" Terdengar nada bingung di sana.
"Sudah jelas itu kau, Ken. Kendrick Edbert, siapa lagi kalau bukan kau!!" pekik Lily.
"Tapi, aku bukan Kendrick Edbert !"
"Hah? Lalu, siapa kau?" tanya Lily penuh dengan rasa kaget. Kepalanya seakan tiba-tiba kosong begitu saja.
Laki-laki itu menyalakan lampu tidur di sebelah tempat tidurnya. Ia menatap wajah Lily dengan tajam.
"Pak Lazcano!" pekik Lily, matanya membelalak tak percaya. Gadis itu kemudian menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya bisa terdiam dan mematung.
"M-maafkan saya, Pak!" ucap Lily penuh sesal dengan terbata. Ia begitu kaget, karena ternyata pria tersebut bukan Ken kekasihnya. Namun, bos besarnya di kantor. Pemilik dari tempatnya bekerja. Rasanya Lily ingin menenggelamkan dirinya di laut lepas saat ini.
Ia segera beringsut dari atas tempat tidurnya, mengambil apa yang bisa ia ambil untuk menutupi tubuh polosnya.
Saat akan berdiri tiba-tiba ia terjatuh dan terduduk di lantai. Kakinya begitu lemas hingga tidak dapat menopang berat tubuhnya.
"M-maaf! " ucapnya. Ia berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Badannya sangat sakit, terutama di bagian tubuh bawahnya.
Dengan susah payah ia berusaha untuk mengambil pakaiannya lagi yang sudah berserakan sembarangan di lantai.
Melihat itu Arsen sama sekali tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Ia masih duduk terdiam di tempat tidurnya. Hanya menatapnya dengan tajam. Lily harus segera keluar dari tempat ini secepatnya.
Lily menuju kamar mandi sesaat setelah berhasil mengumpulkan semua pakaiannya. Setelah menutup pintu Lily tidak dapat menahan lagi air matanya, ia terisak. Apa yang baru saja terjadi sungguh membuatnya kaget dan sedih. Dan tentunya sangat membingungkan.
Lily sudah kehilangan sesuatu yang berharga yang dimilikinya, yang awalnya akan ia berikan pada Ken--kekasihnya. Namun entah mengapa, ia malah melakukan dengan bosnya. Lily sama sekali tak tahu, mengapa laki-laki yang bersamanya malah bos-nya.
Hingga akhirnya, ia sadar jika ia telah memasuki kamar yang salah.
Dan kenapa harus kamar atasannya?! Ini membuatnya tidak dapat berkata-kata lagi.
Apa yang akan terjadi dengan hubungannya dengan Ken? Dadanya begitu sesak memikirkan hal tersebut.
Dengan buru-buru ia segera berpakaian dan mencuci wajahnya. Ia akan kembali ke kamarnya, semoga Ken tidak marah padanya karena semalam tidak menepati janjinya.
"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamar ini?" tanya Arsen dengan tajam saat Lily melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Bahkan ia belum sempat menutup pintu kamar mandi dengan benar.
"M-maafkan saya, Pak. Saya salah masuk kamar, semalam saya kira ini kamar saya satu enam tujuh delapan," jelas Lily ketakutan. Ia menunduk sambil menahan rasa sakit dan kebas di bagian bawah tubuhnya.
"Ini satu sembilan tujuh delapan," ujar Arsen datar.
"Maaf, saya mabuk semalam. Maaf kan saya, Pak. Tolong, jangan pecat saya!" Lily membungkuk meminta maaf. Air mata sudah membasahi pipinya. Ia benar-benar takut jika bos-nya ini akan memecatnya.
Karena kebodohannya saat mabuk, ia tidak bisa membedakan angka enam dan Sembilan. Dan karena kebodohannya ini, membuatnya berada di posisi yang sulit seperti sekarang.
"Cepat kamu pergi dari sini!" usir Arsen, tanpa menjawab ucapan Lily yang memintanya untuk tidak di pecat. Lily tak bisa berbuat apa-apa, ia sudah cukup ketakutan hingga ia hanya bisa segera Lily pergi dari hadapan bos-nya, meninggalkan kamar tersebut dengan langkah yang sedikit tertatih.
Setelah wanita tersebut pergi meninggalkan kamarnya Arsen bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengenakan celana pendek setengah pahanya.
Ia merasa kesal, bagaimana tidak ia sudah meniduri karyawan wanita yang ia kira jalang bayaran yang telah dipesan untuknya.
Arsen mendengus kesal, ia takut wanita itu kotor. Walau ia suka memanggil jalang untuk menemani malamnya ia akan pastikan jalang tersebut bersih dan bebas dari penyakit.
Saat ia memandang tempat tidurnya, ternyata terdapat bercak darah di sana.
"Ternyata itu pertama kalinya untuk wanita itu! Pantas saja," gumamnya. Ada sedikit kelegaan dalam dirinya, jika itu pertama kalinya untuk gadis itu, maka Arsen tak perlu mengkhawatirkan akan penyakit dan yang lainnya.
Ya, Arsen dapat merasakan perbedaannya, rasa yang tidak pernah ia dapatkan pada saat bersama jalang sewaannya.
Tiba-tiba saja ia mendengar bunyi ponsel. Lelaki itu pun bergegas mencari ponsel miliknya. Tetapi, layar ponselnya gelap, menunjukan tidak ada aktivitas apapun. Namun, bunyi itu masih terdengar.
Sampai akhirnya ia menemukan sebuah ponsel berwarna putih, yang sudah pasti bukan miliknya. Ia mengambil ponsel tersebut.
Terdapat beberapa chat di sana. Dia menatap layar ponsel tersebut. Ponsel tersebut dalam keadaan tidak terkunci. Sehingga ia bisa membaca pesan yang masuk tersebut. Ia mulai mengerutkan keningnya saat membacanya.
"Ck!! Wanita itu!!" decaknya.
Arsen segera mengenakan pakaiannya, dan menyusul wanita tersebut untuk mengembalikan ponselnya yang tertinggal. Selagi suasana hotel masih pagi dan sepi.
-To Be Continue-
Buku lain oleh S.Rustandi
Selebihnya