icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pernikahan Kilat dengan Sang Miliarder

Pernikahan Kilat dengan Sang Miliarder

JADE HOWE

5.0
Komentar
1.6M
Penayangan
433
Bab

Riani sangat menyayangi pacarnya. Meskipun pacarnya telah tidak bekerja selama beberapa tahun, dia tidak ragu-ragu untuk mendukungnya secara finansial. Dia bahkan memanjakannya, agar dia tidak merasa tertekan. Namun, apa yang pacarnya lakukan untuk membalas cintanya? Dia berselingkuh dengan sahabatnya! Karena patah hati, Riani memutuskan untuk putus dan menikah dengan seorang pria yang belum pernah dia temui. Rizky, suaminya, adalah seorang pria tradisional. Dia berjanji bahwa dia akan bertanggung jawab atas semua tagihan rumah tangga dan Riani tidak perlu khawatir tentang apa pun. Pada awalnya, Riani mengira suaminya hanya membual dan hidupnya akan seperti di neraka. Namun, dia menemukan bahwa Rizky adalah suami yang baik, pengertian, dan bahkan sedikit lengket. Dia membantunya tidak hanya dalam pekerjaan rumah tangga, tetapi juga dalam kariernya. Tidak lama kemudian, mereka mulai saling mendukung satu sama lain sebagai pasangan yang sedang jatuh cinta. Rizky mengatakan dia hanyalah seorang pria biasa, tetapi setiap kali Riani berada dalam masalah, dia selalu tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya dengan sempurna. Oleh karena itu, Riani telah beberapa kali bertanya pada Rizky bagaimana dia bisa memiliki begitu banyak pengetahuan tentang berbagai bidang, tetapi Rizky selalu menghindar untuk menjawabnya. Dalam waktu singkat, Riani mencapai puncak kariernya dengan bantuannya. Hidup mereka berjalan dengan lancar hingga suatu hari Riani membaca sebuah majalah bisnis global. Pria di sampulnya sangat mirip dengan suaminya! Apa-apaan ini! Apakah mereka kembar? Atau apakah suaminya menyembunyikan sebuah rahasia besar darinya selama ini?

Bab 1 Aku Pemilik Apartemen Ini

Di suatu hari di musim kemarau dengan matahari yang begitu terik di langit, Riani Kurniawan sedang membagikan selebaran di pintu masuk sebuah pusat perbelanjaan.

Saat itu, dia melihat pasangan muda-mudi bergandengan tangan memasuki pusat perbelanjaan itu.

Riani membelalakkan matanya saat menyadari bahwa kedua orang itu adalah pacarnya, Ferry Triono, dan sahabatnya, Sintia Budiman.

Ferry mengatakan padanya bahwa dia akan pergi untuk wawancara kerja hari ini, jadi dia bertanya-tanya sedang apa pacarnya di sini.

Dadanya terasa sesak. Dia buru-buru mengikuti mereka.

Akan tetapi, dia kehilangan jejak mereka saat memasuki mal.

Riani berlari ke sana kemari dengan panik. Tepat pada saat itu, ponselnya berdering karena ada pesan masuk. Pesan itu menunjukkan notifikasi transaksi kartu kreditnya.

Ferry sudah membeli sebuah perhiasan senilai hampir 100 juta rupiah.

Riani terkesiap kaget. Itu hampir mencapai total dari setengah gajinya dalam setahun.

Dia segera melesat ke konter perhiasan dan melihat seorang pramuniaga menyelipkan cincin berlian mencolok di jari manis Sintia yang ramping. Berlian di cincin itu besar dan indah, sama dengan cincin yang sudah lama dia impikan.

Pikirannya menjadi kosong saat melihat senyum puas di wajah Sintia.

Ferry telah dipecat dari pekerjaannya sejak enam bulan yang lalu. Selama itu pula dia tinggal di tempat Riani dan menggunakan uang Riani untuk memenuhi kebutuhannya.

Ubun-ubun Riani terasa mendidih. Beraninya Ferry memakai uangnya untuk membelikan wanita lain sebuah cincin berlian?

Dia bukan orang yang bisa dipermainkan seperti ini.

Dia berlari mendekat, meraih cincin itu dari tangan Sintia, dan menyerahkannya kepada si pramuniaga.

"Maaf. Aku ingin mengembalikan cincin ini."

"Apa yang kamu lakukan, Riani? Aku baru saja membeli cincin ini. Apa hakmu mengembalikannya?" seru Sintia.

Riani kehabisan kesabarannya. Dia memelototi wanita itu dan langsung menampar wajahnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Sementara itu, Ferry baru kembali dari kasir. Dia memeluk Sintia untuk melindunginya dan berteriak pada Riani.

"Ada apa denganmu? Aku hanya menghabiskan sedikit uang dari rekeningmu. Memangnya kamu tidak malu karena bersikap pelit seperti itu? Masih berani memukul orang lagi!" Ferry menatapnya dengan rasa jijik yang tidak ditutup-tutupi, dan Riani balas menatapnya dengan sorot tidak percaya. Pengkhianatan, kemarahan, dan rasa terhina melonjak di dalam dirinya.

"Kamu mengkhianatiku dan punya hubungan tidak pantas dengan temanku. Sekarang kamu bertanya padaku apakah aku tidak malu pada diriku sendiri?"

"Ya, aku memang menggunakannya untuk menghidupi Sintia. Kamu bisa apa? Coba lihat dirimu." Ferry mengerutkan hidungnya dengan jijik. "Tidak ada laki-laki yang akan mencintaimu!"

Riani sudah menabung setiap peser uang yang dia hasilkan selama enam bulan terakhir untuk menghidupi Ferry. Dia berhenti membeli baju baru dan produk perawatan kulit. Kini pakaiannya sudah usang, dan kulitnya tidak lagi cerah. Namun, semua pengorbanan itu hanya dibalas dengan pengkhianatan.

Kerumunan orang-orang berkumpul di sekitar mereka. Ferry dengan marah melemparkan kartu kredit dan kwitansi ke wajah Riani.

"Ini! Ambil! Jelas kamu hanya peduli soal uang. Aku sudah muak denganmu!"

Wajah Riani terasa sakit saat kartu itu mengenai wajahnya, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit di hatinya.

"Riani, wanita sepertimu hanya akan mati sendirian. Tidak ada pria yang tahan denganmu." Setelah berkata demikian, Ferry menarik tangan Sintia dan pergi meninggalkan mal.

Riani mengambil kartu dan kwitansi di lantai, menyelesaikan prosedur pengembalian uang, dan langsung kembali ke apartemen tempat dia dan Ferry tinggal.

Apartemen ini memiliki dua kamar tidur. Dia dan Ferry selama ini tidur di kamar yang berbeda. Dia selalu mengira bahwa Ferry adalah pria baik-baik yang menghormatinya. Jika dipikirkan lagi, semuanya terasa konyol.

Begitu dia kembali ke apartemen, dia mulai mengemas barang-barang Ferry. Dia bertekad untuk mengusirnya hari ini.

Dia menarik seprai dengan marah. Saat itu, tatapannya tertuju pada dua kondom bekas di atas tempat tidur. Sepertinya kondom itu baru saja digunakan. Sedikit cinta dan kekaguman yang dia miliki untuk Ferry langsung sirna dalam sekejap.

Dia mengemas barang Ferry dan melemparkannya ke luar pintu satu per satu.

Tak lama, Ferry kembali dengan Sintia.

Dia marah saat melihat barang-barangnya menumpuk di lantai.

"Riani, apa kamu gila? Beraninya kamu menyentuh barang-barangku?"

Riani mengabaikannya dan duduk dengan tenang di sofa di ruang tamu. Di masa lalu, dia berpikir bahwa Ferry adalah pria paling tampan di dunia, tetapi sekarang, melihatnya saja sudah membuatnya muak.

"Kamu pulang tepat waktu. Kembalikan kunci pintu ini padaku, dan jangan injakkan kaki kotormu di tempatku lagi!"

"Riani, apa kamu sudah gila? Aku yang membayar sewa apartemen ini sebelumnya. Atas dasar apa kamu memintaku untuk pindah?" raung Ferry.

"Ya, kamu benar. Kamu pernah membayar sewa sebelumnya!" bentak Riani seraya memberi penekanan pada kata 'sebelumnya'. "Bagaimana dengan sewa selama enam bulan terakhir dan biaya hidupmu selama dua setengah tahun terakhir? Apakah kamu membayar semua itu?"

Riani memelototinya, dan akhirnya menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

Melihat banyak tetangga yang berkumpul dan bergosip tentangnya, Ferry merasa malu. Dia ingin menangani situasi ini terlebih dahulu.

"Riani, yang kamu inginkan hanyalah uang! Harga sewa selama enam bulan hampir 40 hingga 60 juta rupiah. Itu setara dengan penghasilanku selama satu setengah bulan. Setelah aku mendapatkan pekerjaan, aku akan membayar kembali uang sewamu."

"Kita tidak perlu menunggu sampai kamu mendapatkan pekerjaan. Kita bisa memberinya uang itu sekarang juga." Sintia mengeluarkan ponselnya dan berjalan ke arah Riani. "Mari kita buat kesepakatan. Aku akan membayarkan uang sewanya selama enam bulan terakhir, dan kamu harus pindah hari ini."

Dia menghitung bahwa jumlah uang sewa itu jauh lebih kecil daripada uang yang sudah dihabiskan Riani untuk Ferry selama bertahun-tahun. Dia yakin Ferry akan berterima kasih padanya seumur hidup jika dia membayar uangnya sekarang.

Ferry lulus dari universitas ternama dan memiliki masa depan yang menjanjikan. Di masa lalu, dia pernah memiliki gaji 90 juta rupiah sebulan.

Melihat Riani mengangguk dengan senang hati, Sintia mentransfer uang kepadanya melalui pembayaran online. Kemudian, dia menunjuk dengan puas ke arah pintu. "Cepat! Kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!"

"Tidak usah buru-buru." Riani berbalik dan mengeluarkan surat kepemilikan rumah.

"Baca ini baik-baik." Riani menunjukkan sertifikat kepemilikan rumah itu pada Sintia. Di sana jelas tertulis bahwa Riani Kurniawan adalah satu-satunya pemilik properti ini.

"Aku pemilik apartemen ini. Aku tidak ingin menyewakannya pada kalian sekarang."

"Riani, kamu menipuku!" Ferry menjadi sangat marah. "Kamu pemilik apartemen ini, tapi kamu membuatku membayar sewa selama ini!"

"Kamu tinggal di tempatku. Bukankah sudah sepantasnya kamu membayar sewa?" Riani mengangkat bahu dengan wajah polos.

"Riani, kamu benar-benar licik! Aku sudah meremehkanmu," geram Ferry sambil menunjuk ke arahnya.

"Kamu wanita tercela!" Sintia merasa sedih. Dia menyesal sudah menghabiskan uangnya dengan sia-sia. Terlebih lagi, sekarang Ferry tidak punya tempat tinggal!

"Oh, ayolah! Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan kalian!"

Riani menunjuk ke arah pintu. "Sekarang ambil barang-barangmu dan keluar dari sini!"

Sintia tidak mau mengakui kekalahannya. Menyadari bahwa semakin banyak tetangga yang berkumpul untuk menyaksikan apa yang terjadi, Ferry buru-buru menyeretnya pergi dari sana.

Sebelum pergi, dia melihat kembali ke arah Riani dan memikirkan bagaimana cara merebut apartemen itu darinya.

Setelah berhasil mengusir kedua orang itu, Riani bersandar ke dinding dan menghela napas lelah.

Satu-satunya pikiran di benaknya saat ini adalah bahwa dia tidak perlu lagi melakukan pekerjaan paruh waktu yang membosankan hanya untuk menghidupi pacarnya itu di masa depan.

Saat itu, ponsel Riani berdering. Dia mengeluarkannya dan melihat bahwa itu adalah panggilan dari adik laki-lakinya.

"Kak, Nenek didiagnosis menderita kanker. Biaya operasinya satu miliar rupiah. Aku tidak punya banyak uang. Aku …." Adiknya tersedak menahan isak tangis.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku