Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"APA, MAS? KAMU DIPECAT?" Anggun berkacak pinggang sambil memekik keras di depan sang suami.
Gunawan hanya mengangguk saja. "Maafkan aku, Dek. Tapi pabrik sedang mengalami kemunduran. Jadi sebagian besar karyawan harus dirumahkan. Termasuk aku," jelas Gunawan.
"Terus aku sama Ibu mau makan apa kalau kamu nggak kerja, Mas?" tanya Anggun.
Gunawan menghela napas panjang. "Aku janji akan mencari pekerjaan setelah ini. Aku akan berusaha keras agar kalian bisa makan," jawabnya.
Anggun berdecak kesal saat mendengar jawaban sang suami. Dalam hati dia bersyukur karena sang suami dipecat. Dia jadi mempunyai sebuah alasan untuk berpisah dari lelaki itu.
"Kamu tuh harusnya bisa mempertahankan posisi kamu di pabrik. Kamu kepala pengawas, kan?" ujar Anggun.
"Iya. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa saat pemilik pabrik merumahkan sebagian besar karyawannya," sahut Gunawan.
"Dasar menantu nggak guna." Seorang perempuan paruh baya yang sejak tadi diam, kini ikut berbicara. Nada suaranya terdengar begitu menyakitkan hati.
Gunawan menatap ibu mertuanya sekilas. Dia kemudian menghela napas panjang. "Maafkan aku, Bu. Aku nggak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan dari pabrik," ucap Gunawan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, perempuan itu melengos dan pergi dari ruang tamu. Sedangkan Anggun, masih menatap tak percaya pada sang suami.
"Bener kata Ibu. Kamu itu menantu nggak guna. Suami nggak berharga ya kamu ini!" Anggun menunjuk tepat di wajah sang suami saat berkata demikian.
Gunawan hanya bisa diam saja. Dia tak berniat untuk menimpali ucapan sang istri. Dia tak ingin terjadi pertengkaran antara dirinya dan sang istri.
"Aku mandi dulu." Gunawan beranjak dari ruang tamu menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.
Sepeninggal Gunawan, Bu Ika, ibunda Anggun kembali keluar dari kamarnya. Dia menghampiri sang anak yang sedang terduduk lemas di sofa ruang tamu.
"Nggun," panggil bu Ika.
"Ada apa, Bu? Kalau mau minta duit, jangan sekarang deh. Aku lagi nggak pegang duit sama sekali," ucap Anggun.
Perempuan itu mengibaskan tangannya. "Bukan. Ibu nggak mau minta duit sama kamu," sahutnya.
"Terus?" Anggun bertanya dengan kening berkerut heran.
"Kamu ingat nggak sama Rendi?" tanya sang ibu.
"Rendi? Rendi siapa?" tanya Anggun.
"Itu lho anaknya juragan Darman. Yang dulu mau dijodohkan sama kamu," jawab bu Ika.
Anggun mencoba mengingat nama yang disebutkan oleh sang ibu.
"Rendi? Rendi yang mana sih?" tanya Anggun dalam hati.
"Ibu kemarin ketemu sama dia. Sekarang dia tambah kaya lho. Mobilnya aja parejo. Kalau kamu—"
"Pajero, Bu. Bukan parejo!" ralat Anggun.
"Aah! Pokoknya itulah. Kalau kamu bisa menikah sama dia, hidup kamu pasti akan bahagia. Hidup kamu nggak akan kere lagi kayak sekarang," ucap bu Ika lagi.
Anggun mendengarkan perkataan sang ibu dengan setengah hati. Sejujurnya dia sangat mencintai Gunawan. Tapi dia juga tak ingin munafik. Dia juga butuh uang untuk tetap bisa hidup dan bergaya.
Dulu memang sang ibu ingin menjodohkannya dengan orang kaya. Tapi dia menolak karena hatinya terpaut pada cinta seorang Gunawan yang kala itu masih karyawan biasa. Setelah menikah, barulah Gunawan mendapat promosi jabatan. Hingga akhirnya dia bisa menjadi kepala pengawas.