Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami Pertama
5.0
Komentar
521
Penayangan
16
Bab

Menceritakan seorang istri yang ditinggal pergi suami tercinta untuk selamanya. Si istri bernama Vania, sedangkan suaminya bernama Rangga. Kepergian itu membuat Vania berlarut-larut dalam kesedihan, begitu pun dengan Ryan. Anak itu tidak percaya kalau sang ayah sudah tiada. Malah Ryan menganggap Rendy adalah Rangga, karena secara fisik mereka hampir sama. Empat puluh hari setelah kepergian Rangga, Vania menikah dengan Rendy. Tingkah Vania dan Ryan yang aneh membuat mereka menjadi buah bibir warga. Hal itu sampai juga ke telinga Rendy. Namun, Rendy berusaha 'menulikan' omongan para warga. Di sisi lain, ternyata penyebab Rangga meninggal ialah karena seseorang. Berawal dari seorang pria yang bernama Kevin, dulunya mencintai Vania, tetapi Vania tolak. Kevin sakit hati ketika mendengar penjelasan dari Vania kalau dia sudah menikah dengan Rangga. Dia berambisi untuk memiliki Vania, sekalipun dia sudah mempunyai istri, yaitu Viola. Suatu ketika Kevin bertemu dengan Rendy. Tentu saja, Kevin mengira bahwa Rendy itu adalah Rangga sampai dia tak sadar mengucapkan kata-kata penyebab meninggalnya Rangga. Dari situ, Rendy tahu bahwa laki-laki di hadapannya adalah pembunuh sang adik. Perkelahian pun tak dapat dihindari. Saat Kevin hendak membunuh Rendy, muncul Vania yang dia sekap beberapa hari, menggagalkan rencana tersebut. Namun, nahas menimpa Viola. Dia terkena peluru yang ditembakkan Kevin saat melindungi Vania hingga membuatnya meninggal.

Bab 1 Ditinggal Suami Tercinta

"Innalillahi wa innalillahi rojiun. Maaf, Bu, Pak, Pak Rangga sudah tiada," ucap dokter setelah memeriksa Rangga.

Bak disambar petir, tangis Vania pecah saat itu juga. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu, berteriak histeris. Ia tidak menyangka, bahwa suaminya akan berpulang secepat itu. Padahal, tadi pagi, sebelum berangkat bekerja, ia baik-baik saja, malah Vania sempat bermesraan dengan suami tercintanya. Tapi, maut tak memandang waktu dan usia. Rangga mengalami kecelakaan yang membuatnya harus kehilangan nyawa. Siap tidak siap, Vania akan menjadi janda dan Ryan akan menjadi anak yatim.

"Mas Rangga ...!"

"Mas Rangga, bangun, Mas. Kumohon." Vania mengguncang tubuh Rangga yang sudah tak bernyawa. "Jangan tinggalkan aku dan Ryan, Mas. Ryan masih membutuhkanmu."

Adi dan Nitta-orang tua Rangga turut meneteskan air mata. Mereka telah kehilangan sang putra tercinta. Putra yang selama ini mereka banggakan. Putra yang mereka besarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Kalau begitu, saya permisi," ucap dokter lagi.

Vania menatap sendu jasad Rangga yang sudah terbujur kaku. Tak ada lagi kembang kempis napas, tak ada lagi gerakan tubuh, netra pria yang telah menemani hidupnya selama beberapa tahun itu sudah tertutup rapat. Tak bisa lagi diajak bicara. Tak akan ada lagi tawa canda dan senyuman pria itu. Tak akan ada lagi dua tangan yang selalu mengusap air matanya dikala bersedih.

"Nggak! Ini nggak mungkin! Pasti aku cuman mimpi." Wanita itu menampar pipi dengan kedua tangannya sendiri beberapa kali. Berusaha menyadarkan diri kalau ini hanya sebuah mimpi buruknya.

"Nggak, Sayang. Rangga udah nggak ada. Kita harus kuat demi Ryan." Nitta menatap Vania sendu.

"Nggak, Ma! Mas Rangga nggak mungkin meninggal!" teriak Vania.

"Kuatkan hatimu, Nak. Kamu masih punya tanggungan. Kamu masih punya Ryan yang membutuhkan kasih sayangmu." Nitta memeluk menantunya, berusaha menguatkan.

***

Jenazah Rangga sampai di rumah duka, disambut isak tangis keluarga. Orang-orang pun berdatangan untuk melayat. Beberapa di antaranya sibuk mengurus persiapan pemakaman.

Sebuah mobil xpander terparkir di depan halaman rumah berlantai satu itu. Pemiliknya turun, melewati beberapa warga, dan memasuki rumah. Mengenakan kemeja dan kacamata hitam. Ia tampak gagah dengan cara berjalan yang tegap. Dari wajah dan penampilannya, ia 90% mirip dengan Rangga. Hanya saja, ia lebih tinggi dari Rangga. Kulitnya putih bersih dengan hidung yang mancung.

"Papa?" lirih Ryan. Bocah berusia enam tahun itu melihatnya. "Itu pasti Papa."

Ryan segera menghapus air matanya. Vania yang berada di sampingnya, merasa heran. Papa mana yang Ryan maksud? Bukankah papanya sudah tiada dan saat ini jenazahnya belum dikebumikan? Lalu, papa mana yang Rian maksud?

"Papa mana, Ryan? Papa kamu udah nggak–" Belum sempat Vania melanjutkan ucapannya, Ryan sudah berlari menghampiri pria itu.

"Papaaa...!" Bocah itu langsung memeluk pinggang pria yang belum ia kenal itu.

Semua orang yang berada di sana turut bersedih melihat kejadian itu. Bocah sekecil Ryan harus ditinggal pergi oleh ayahnya. Sampai-sampai menganggap orang lain sebagai sang ayah. Ia menganggap bahwa Rangga masih hidup.

"Pa, papa nggak jadi pergi, kan? Jangan tinggalin Ryan, Pa," tangis Ryan. Ia semakin mengeratkan pelukan.

Pria yang Ryan peluk hanya diam membisu. Mungkin, ia bingung kenapa anak kecil itu tiba-tiba datang dan langsung memeluk. Merasa tidak enak, Vania berjalan cepat dan menghampiri mereka.

"Ryan, itu bukan papamu. Lepasin, Ryan!" Vania berusaha melepaskan tangan Ryan yang melingkar di pinggang si pria.

Namun, Ryan malah semakin mengeratkan pelukan. "Nggak! Ini papanya Ryan, Papa Rangga!" teriaknya histeris.

"Papa Rangga belum mati. Papa Rangga masih hidup. Ini dia."

Pria itu perlahan berjongkok. Kini posisinya berhadapan dengan Ryan. Ia membuka kaca mata hitamnya. Dari sorot matanya, ia seperti Rangga.

"Dek, ini om bukan papa kamu. Panggil om, Om Rendy," ucapnya lirih seraya membelai rambut Ryan pelan.

"Nggak. Ini bukan Om, tapi Papa Rangga," balas Ryan lirih. Netranya berkaca-kaca menatap si pria.

Mengembuskan napas kasar, pria itu kini memegang pundak Ryan. "Baiklah, kamu boleh manggil papa. Tapi, jangan nakal, ya?" Pria itu mengacungkan jari kelingkingnya.

"Oke, Papa." Sedetik kemudian, wajah Ryan yang semula murung kembali ceria.

Vania melongo melihat keakraban Ryan dan pria yang tak dikenalnya. Dari arah lain, Nitta datang menghampiri pria itu. Wajah wanita berusia 45 tahun itu tersenyum. Netranya berkaca-kaca.

"Akhirnya kamu pulang juga, Nak," ucapnya lirih.

"Iya, Ma. Maafin Rendy." Pria yang diketahui bernama Rendy itu mencium punggung tangan ibunya takzim.

'Ternyata Mas Rendy. Ya, dia Mas Rendy, mukanya mirip Mas Rangga,' batin Vania.

"Pa, nanti kita main, ya!" pinta Ryan.

Ajakan Ryan berhasil membuat Nitta terkejut. Ia memanggil putra sulungnya dengan panggilan 'Papa'. Nitta memandang Rendy, meminta kejelasan. Vania yang berdiri di samping mertuanya mengedipkan mata, memberi kode.

"Iya, Sayang. Nanti kita main mobil-mobilan," balas Rendy tersenyum ramah.

***

Jenazah Rangga sudah dikebumikan. Para warga sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tersisa hanya Vania, Rendy, dan ibu mertuanya-Nitta. Ryan sudah pulang terlebih dahulu dengan kakeknya. Vania masih belum berhenti menangisi kepergian suaminya. Laki-laki baik yang telah menemani hidupnya selama bertahun-tahun.

"Sudahlah, Vania. Jangan menangis, biarkan Rangga tenang di alam sana." Nitta memeluk Vania, mengusap punggung wanita muda itu.

"Gimana aku nggak nangis, Ma. Aku udah ditinggalin Mas Rangga, suami yang paling aku cintai. Mas Rangga sudah pergi, Ma. Dia nggak akan pernah kembali lagi." Vania menangis tersedu-sedu. Tangan mulusnya memegang nisan bertuliskan nama Rangga.

Lagi-lagi, Nitta menitikkan air mata. Wanita berkerudung putih itu bangkit, kemudian mendekat ke arah putra sulungnya. "Rendy, apa nggak sebaiknya kamu nikahi aja Vania? Kasihan dia dan Ryan. Toh kamu juga kan masih saudara Rangga. Malah Ryan udah anggap kamu sebagai papanya," tanya Nitta.

Rendy membuang napas kasar. Memang, saat ini ia bermasalah dengan hubungan percintaannya. Kekasihnya ketahuan berselingkuh dengan teman dekatnya. Belum tenang pikiran, ia sudah dihadapkan pada permintaan sang mama, menikahi Vania.

"Apa ini nggak terlalu cepat, Ma? Nanti aku pikir-pikir dulu, ya, Ma?" ujarnya, meminta waktu.

"Ya sudah, kalau begitu. Harapan mama, semoga kamu mau menikah dengan Vania," balas Nitta.

Di tempat lain, agak jauh dari pemakaman Rangga, sepasang mata menatap ketiga orang itu. Seorang pria berperawakan tinggi, mengenakan kaca mata hitam. Sudut bibir pria itu sedikit terangkat, tersenyum sinis. Ia bersembunyi di balik semak-semak.

"Mampus kau, Rangga! Itulah akibatnya kalau kamu merebut gadis pujaanku. Vania milikku. Ya, dia harus menjadi milikku," ujarnya lirih. Tak lama kemudian, ia pergi, tak ingin ada orang lain yang melihatnya.

"Vania, sudahlah. Ayo kita pulang, kasihan Ryan. Pasti dia sudah lama menunggu kita," ajak Nitta lagi.

Kali ini, Vania mengangguk. Ia perlahan bangkit, lalu pulang bersama Nitta dan Rendy. Semilir angin menerpa pakaian ketiga orang itu, menghapus keringat yang bercampur dengan air mata.

***

Di tempat lain, pria yang berperawakan dan berkaca mata hitam tadi sampai di rumahnya. Ia turun dari mobil, membuka kaca mata hitamnya, bergegas memasuki rumah. Sampai di dalam, sang istri menyambutnya ramah.

"Mas, akhirnya kamu pulang juga. Aku punya kabar bagus buat kamu," ujar istrinya.

"Kabar bagus apa?" Pria itu mengernyitkan dahi.

"Aku ....." Sang istri menggantung ucapannya, sengaja membuat pria itu penasaran.

'Aku hamil, Mas. Aku yakin, kamu pasti seneng kalau denger aku hamil,' batinnya.

Tiba-tiba ponsel si pria berdering. Ia langsung meraih ponsel di saku kemejanya, berjalan ke luar rumah. Istri si pria hanya tersenyum kecut.

"Gini nih biasanya kalau lagi ada telepon. Suka menghindar, main rahasia-rahasiaan sama aku, jangan-jangan dia lagi nelpon si Frida j*l*ng itu lagi," gumamnya.

Tertera nama seseorang yang pria itu kenal di layar ponselnya. Ia mengangkat telepon.

"Hallo, Bos. Kita udah ngelakuin apa yang lu perintahin. Sekarang gua mau lu bayar upah yang lu janjiin buat kita." Terdengar suara seorang laki-laki dari seberang.

"Bagus. Soal bayaran, lu gak usah khawatir. Gua pasti bayar. Sekarang juga bisa, lu pada datang aja ke ruko kosong Pak Haris. Nanti gua juga ke sana," ujar si pria itu, lalu menutup telepon.

Tak lama kemudian, si pria berpamitan kepada istrinya. Ia bergegas pergi ke tempat yang ia sebutkan kepada si penelepon. Tampak di sana ada empat orang yang tengah menunggu kehadirannya.

"Gimana bayarannya, Bos?" Rio–salah satu orang bayaran pria itu menadahkan sebelah tangannya.

"Lu semua tenang aja. Ini, gua bawa uang buat kalian," sahut si pria seraya mengeluarkan amplop coklat berisi uang.

Dengan segera, Rio menyambar amplop berwarna coklat itu. Ia mengeluarkan isinya, beberapa lembar uang berwarna merah kini berada di tangannya. Rio mencium uang itu.

"Beres nih, Bos. Kalau butuh bantuan lagi, jangan sungkan hubungin gua sama anak-anak lagi, ya, Bos. Kami akan selalu siap bantu Pak Bos," ujar Rio.

"Oke. Tapi ingat, kalian harus tutup mulut. Jangan sampai ada satu pun orang lain yang tahu, termasuk istri gua," ujar pria itu.

"Bos tenang aja. Kalau soal itu, kita pasti nggak akan cerita ke siapa pun," ujar salah satu anak buah Rio.

"Bagus. Artinya, sekarang aku udah nggak punya penghalang lagi. Berani kau menolakku Vania, kau terima akibatnya!" Sedetik kemudian bibir pria itu terangkat, tersenyum sinis.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kaka Sissy II

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku