/0/20257/coverorgin.jpg?v=d895fe5a67d001708f299466b8794622&imageMogr2/format/webp)
Siti Saudah, seorang wanita tua berusia 70 tahun, duduk di kursi plastik di sudut ruang praktik dokter. Tubuhnya yang ringkih sesekali menggigil, meski ruangan itu tidak ber-AC. Tangannya yang keriput menggenggam erat tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan di tengah rasa cemas yang menghantui.
Di hadapannya, seorang dokter muda dengan raut wajah penuh simpati tengah membaca hasil laporan medis yang baru saja dicetak.
"Bu Siti." suara dokter itu terdengar lembut, namun tegas, "hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi kesehatan Ibu sudah cukup serius."
Siti menatap dokter dengan mata cemas, meski ia sudah menduga kabar buruk itu, tapi hatinya tetap tak siap. "Apa penyakit saya masih bisa disembuhkan, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.
Dokter itu menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang paling tepat.
"Penyakit Ibu sudah memasuki tahap lanjut. Berdasarkan hasil medis, usia Ibu mungkin hanya tersisa sekitar enam bulan. Tapi, ini hanyalah prediksi medis. Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan. Saya menyarankan agar Ibu mempersiapkan diri dan fokus menjalani sisa waktu dengan tenang."
Kata-kata itu menghantam Siti seperti badai. Ia terdiam. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak rapuh. Pandangannya mengarah ke jendela, menembus tirai tipis yang bergoyang lembut diterpa angin. Ia mencoba mencari ketenangan dalam pikirannya yang kalut.
"Terima kasih, Dok," ucap Siti akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan ruang praktik.
Siti berjalan dengan langkah gontai menyusuri jalanan menuju rumah kecilnya. Langit sore di desa itu berwarna jingga keemasan, memberikan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hati Siti. Tas kain usang yang digenggamnya terayun perlahan mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak lepas dari wajah cucunya, Vanezha, gadis yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan hidup.
"Bagaimana nasibmu nanti, Nezha? Tanpa Nenek, siapa yang akan menjaga dan melindungimu?" batinnya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang telah dipenuhi kerut usia.
Setelah berjalan cukup jauh, Siti tiba di halaman rumahnya yang sederhana. Rumah berdinding kayu dengan pekarangan kecil yang dipenuhi bunga liar itu adalah saksi dari perjuangan hidup mereka selama ini.
Begitu masuk ke dalam, aroma nasi yang baru matang menyambutnya. Nezha, gadis mungil berusia tiga belas tahun, tampak sibuk mengaduk lauk sederhana di atas kompor kecil.
"Nenek! Sudah pulang? Aku udah masak nasi sama goreng tahu. Tapi sayurnya cuma kangkung, nggak apa-apa, kan?" ucap Nezha ceria sambil membawa piring ke meja kayu tua mereka.
Vanezha, atau yang akrab disapa Nezha, adalah gadis belia dengan tubuh mungil dan wajah cerah yang selalu memancarkan keceriaan. Rambutnya hitam legam dan diikat rapi ke belakang. Matanya berbinar, penuh semangat hidup meskipun kondisi mereka serba pas-pasan. Dalam keterbatasan, Nezha tumbuh menjadi gadis mandiri dan tak pernah mengeluh, membuat Siti semakin menyayanginya.
Siti duduk di kursi reyot di dekat meja, memperhatikan Nezha yang sibuk menyiapkan makanan. Senyumnya muncul, meski hatinya terasa berat. Pikirannya berkecamuk, bingung mencari cara untuk memastikan masa depan cucunya sebelum ajal menjemput.
"Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku tak sanggup membayangkan Nezha hidup tanpa aku," gumamnya pelan.
Nezha yang memperhatikan wajah neneknya tampak murung, segera menghampiri. "Nenek, kenapa? Kok sedih? Nenek lagi mikirin apa sih?" tanyanya polos sambil menatap wajah Siti.
Siti terkejut, lalu cepat-cepat menghapus air matanya. Ia tak ingin membuat Nezha khawatir. "Ah, nggak apa-apa, Sayang. Nenek cuma capek saja. Sudah, yuk kita makan. Nenek sudah lapar," ujarnya sambil tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Nezha.
Nezha mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan neneknya. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
Keduanya duduk bersama menikmati makanan sederhana di meja kecil itu. Suara sendok dan piring beradu menjadi latar suasana sunyi mereka. Siti sesekali memandang Nezha dengan mata yang basah.
"Aku tidak boleh menyerah. Sebelum waktuku habis, aku harus memastikan Nezha punya masa depan. Aku harus menemukan Winda," tekad Siti dalam hati.
Malam itu, setelah makan malam sederhana mereka, Siti duduk di ranjangnya, menatap kosong ke dinding kayu yang retak. Angin malam masuk melalui celah-celah jendela, mengantarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Pikirannya dipenuhi kenangan lama dan rencana besar yang kini menggantung di benaknya.
/0/26320/coverorgin.jpg?v=72709ea82d6b43347f5a9612b7ca8019&imageMogr2/format/webp)
/0/15780/coverorgin.jpg?v=4dceae18cd8653a26ddcb313f48d3eec&imageMogr2/format/webp)
/0/21573/coverorgin.jpg?v=dc41e339c23fa5393c3bc9ac980db782&imageMogr2/format/webp)
/0/6637/coverorgin.jpg?v=a530a5398bc61eb694f5ea42202f4e80&imageMogr2/format/webp)
/0/17676/coverorgin.jpg?v=c838b304dcffa7016fddab1360bd3c1c&imageMogr2/format/webp)
/0/6822/coverorgin.jpg?v=545b0051c1d38b83b80a962229807050&imageMogr2/format/webp)
/0/26880/coverorgin.jpg?v=165175708f82a45bd73a4941c748956c&imageMogr2/format/webp)
/0/17777/coverorgin.jpg?v=04e9cf7f6d4ab1c77e74757b73022bb7&imageMogr2/format/webp)
/0/14016/coverorgin.jpg?v=5229ea24c255297b0248a77f3c10c525&imageMogr2/format/webp)
/0/23465/coverorgin.jpg?v=620e7e5e48a104d4b5805f8e6b201091&imageMogr2/format/webp)
/0/18215/coverorgin.jpg?v=77520c6da33ab9728a7ef671cec6332e&imageMogr2/format/webp)
/0/20819/coverorgin.jpg?v=81267841f6c5c8431c822d06c1bbb882&imageMogr2/format/webp)
/0/23663/coverorgin.jpg?v=20250429185631&imageMogr2/format/webp)
/0/23402/coverorgin.jpg?v=956d1bff272bfc1af42c4423b22a8af3&imageMogr2/format/webp)
/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
/0/18810/coverorgin.jpg?v=c634d2692554f3b0b2d66a678ee886d0&imageMogr2/format/webp)
/0/19239/coverorgin.jpg?v=be300e83521b6b4a326118cd359263a8&imageMogr2/format/webp)