CINTA DAN PENGORBANAN

CINTA DAN PENGORBANAN

Hetty Modiste2

5.0
Komentar
563
Penayangan
23
Bab

Vanezha Dynazka, yang akrab disapa Nezha, tumbuh dalam pahitnya hidup tanpa kasih sayang keduaorangtuanya. Kehilangan nenek tercinta di tengah pencariannya akan ibu kandung, Nezha dipaksa melangkah sendiri menghadapi kerasnya takdir. Sebuah kecelakaan mempertemukannya dengan Aretha, wanita penuh pesona yang memberi warna baru dalam hidupnya. Namun, kebahagiaan itu diuji ketika Nezha dihadapkan pada pilihan yang menghancurkan hati, melepas cintanya demi melunasi hutang budi. Hingga sebuah rahasia besar terungkap dan mengubah segalanya dalam hidup Nezha. Apakah Nezha mampu melawan badai yang menghempas hidupnya, atau takdir justru akan menjatuhkannya lebih dalam? Yuk, ikuti kisahnya ini.

Bab 1 Keputusan Besar

Siti Saudah, seorang wanita tua berusia 70 tahun, duduk di kursi plastik di sudut ruang praktik dokter. Tubuhnya yang ringkih sesekali menggigil, meski ruangan itu tidak ber-AC. Tangannya yang keriput menggenggam erat tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan di tengah rasa cemas yang menghantui.

Di hadapannya, seorang dokter muda dengan raut wajah penuh simpati tengah membaca hasil laporan medis yang baru saja dicetak.

"Bu Siti." suara dokter itu terdengar lembut, namun tegas, "hasil pemeriksaan menunjukkan kondisi kesehatan Ibu sudah cukup serius."

Siti menatap dokter dengan mata cemas, meski ia sudah menduga kabar buruk itu, tapi hatinya tetap tak siap. "Apa penyakit saya masih bisa disembuhkan, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter itu menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang paling tepat.

"Penyakit Ibu sudah memasuki tahap lanjut. Berdasarkan hasil medis, usia Ibu mungkin hanya tersisa sekitar enam bulan. Tapi, ini hanyalah prediksi medis. Hidup dan mati seseorang hanya Allah yang menentukan. Saya menyarankan agar Ibu mempersiapkan diri dan fokus menjalani sisa waktu dengan tenang."

Kata-kata itu menghantam Siti seperti badai. Ia terdiam. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak rapuh. Pandangannya mengarah ke jendela, menembus tirai tipis yang bergoyang lembut diterpa angin. Ia mencoba mencari ketenangan dalam pikirannya yang kalut.

"Terima kasih, Dok," ucap Siti akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan ruang praktik.

Siti berjalan dengan langkah gontai menyusuri jalanan menuju rumah kecilnya. Langit sore di desa itu berwarna jingga keemasan, memberikan kehangatan yang kontras dengan dinginnya hati Siti. Tas kain usang yang digenggamnya terayun perlahan mengikuti langkahnya. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak lepas dari wajah cucunya, Vanezha, gadis yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan hidup.

"Bagaimana nasibmu nanti, Nezha? Tanpa Nenek, siapa yang akan menjaga dan melindungimu?" batinnya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, membasahi pipinya yang telah dipenuhi kerut usia.

Setelah berjalan cukup jauh, Siti tiba di halaman rumahnya yang sederhana. Rumah berdinding kayu dengan pekarangan kecil yang dipenuhi bunga liar itu adalah saksi dari perjuangan hidup mereka selama ini.

Begitu masuk ke dalam, aroma nasi yang baru matang menyambutnya. Nezha, gadis mungil berusia tiga belas tahun, tampak sibuk mengaduk lauk sederhana di atas kompor kecil.

"Nenek! Sudah pulang? Aku udah masak nasi sama goreng tahu. Tapi sayurnya cuma kangkung, nggak apa-apa, kan?" ucap Nezha ceria sambil membawa piring ke meja kayu tua mereka.

Vanezha, atau yang akrab disapa Nezha, adalah gadis belia dengan tubuh mungil dan wajah cerah yang selalu memancarkan keceriaan. Rambutnya hitam legam dan diikat rapi ke belakang. Matanya berbinar, penuh semangat hidup meskipun kondisi mereka serba pas-pasan. Dalam keterbatasan, Nezha tumbuh menjadi gadis mandiri dan tak pernah mengeluh, membuat Siti semakin menyayanginya.

Siti duduk di kursi reyot di dekat meja, memperhatikan Nezha yang sibuk menyiapkan makanan. Senyumnya muncul, meski hatinya terasa berat. Pikirannya berkecamuk, bingung mencari cara untuk memastikan masa depan cucunya sebelum ajal menjemput.

"Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku tak sanggup membayangkan Nezha hidup tanpa aku," gumamnya pelan.

Nezha yang memperhatikan wajah neneknya tampak murung, segera menghampiri. "Nenek, kenapa? Kok sedih? Nenek lagi mikirin apa sih?" tanyanya polos sambil menatap wajah Siti.

Siti terkejut, lalu cepat-cepat menghapus air matanya. Ia tak ingin membuat Nezha khawatir. "Ah, nggak apa-apa, Sayang. Nenek cuma capek saja. Sudah, yuk kita makan. Nenek sudah lapar," ujarnya sambil tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Nezha.

Nezha mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan neneknya. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Keduanya duduk bersama menikmati makanan sederhana di meja kecil itu. Suara sendok dan piring beradu menjadi latar suasana sunyi mereka. Siti sesekali memandang Nezha dengan mata yang basah.

"Aku tidak boleh menyerah. Sebelum waktuku habis, aku harus memastikan Nezha punya masa depan. Aku harus menemukan Winda," tekad Siti dalam hati.

Malam itu, setelah makan malam sederhana mereka, Siti duduk di ranjangnya, menatap kosong ke dinding kayu yang retak. Angin malam masuk melalui celah-celah jendela, mengantarkan hawa dingin yang menusuk tulang. Pikirannya dipenuhi kenangan lama dan rencana besar yang kini menggantung di benaknya.

Ia masih ingat kabar yang pernah didapatnya dari Pak Darjo, tetangganya yang sering bepergian ke jakarta. Lelaki itu pernah memberitahunya kalau ia sempat melihat Winda, putrinya, di kawasan Pasar Senen, Jakarta. Winda bekerja menjaga toko sembako di sana, tapi Pak Darjo tak tahu pasti di mana anaknya tinggal.

"Jakarta itu luas. Kalau ia ingin mencari Winda, tentu butuh waktu, tenaga, dan keberanian'" ucap Pak Darjo kala itu.

Namun, hatinya sudah bulat. Cepat atau lambat, ia harus berangkat untuk mencari keberadaan putrinya.

Siti menoleh ke arah Nezha yang terlelap di atas kasur tipisnya. Gadis itu tidur nyenyak, memeluk bantal lusuh yang selalu setia menemani malam-malamnya. Wajah mungilnya tampak damai, meski hidupnya jauh dari kemewahan.

Air mata Siti kembali mengalir. "Nezha, kamu gadis yang kuat. Nenek nggak akan biarkan kamu hidup sendirian. Nenek akan berjuang untukmu, sampai napas terakhir," bisiknya dengan suara serak.

Kenangan pahit tentang Winda kembali menghantui pikirannya. Ia teringat malam itu, bertahun-tahun lalu, ketika Winda berdiri di depan pintu dengan bayi mungil di pelukannya, air matanya yang tak berhenti mengalir.

Flasback on.

"Mak, aku nggak bisa. Aku nggak sanggup. Nezha... Nezha lebih baik tinggal sama Emak," ujar Winda dengan suara bergetar.

Siti menatapnya dengan tatapan tajam. "Winda! Kamu ini bicara apa? Nezha Itu anakmu! Bagaimana bisa kau meninggalkannya?"

"Enggak, Mak! Aku nggak mau mengasuh bayi haram ini. Kalau Emak nggak mau, aku akan serahkan dia ke panti asuhan!" bentak Winda dengan nada putus asa.

Siti tercekat. Kata-kata itu bagai cambuk yang menghujam hatinya. "Winda, apa kamu sadar apa yang kamu ucapkan barusan! Anak ini darah dagingmu!"

Winda menangis tersedu-sedu. "Mak, aku malu. Tetangga-tetangga sudah mencibirku. Hidupku sudah hancur, Mak. Aku nggak sanggup hidup seperti ini. Aku mau ke Jakarta. Aku mau memulai hidup baru di sana."

"Dan kau tega meninggalkan Emak sendirian?" Suara Siti melemah.

"Maafkan aku, Mak. Aku janji, setelah sukses nanti, aku akan kembali. Tolong restui aku, Mak. Aku mohon..." Winda berlutut, memohon restu dengan air mata yang terus mengalir.

Siti hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu hatinya tidak bisa menahan Winda lebih lama. "Baiklah. Kalau kamu memang mau ke Jakarta, pergilah. Tapi ingat pesan Emak, jaga dirimu baik-baik. Jangan lupakan kami di sini."

Winda mengangguk. "Iya, Mak. Insya Allah, aku nggak akan lupa."

Sejak malam itu, Winda pergi dan tak pernah kembali, Bayi kecil yang ia tinggalkan kini tumbuh menjadi gadis ceria yang mengisi hari-hari Siti. Tapi rasa rindu dan harapan untuk bertemu Winda lagi tak pernah padam.

Falsback off.

Siti menghapus air matanya. Dengan sisa tenaga dan waktu yang ia miliki, ia bertekad untuk pergi ke Jakarta, mencari Winda, dan memastikan Nezha tidak akan terlunta-lunta tanpa arahan.

"Ya Allah, beri aku kekuatan untuk melindungi cucuku. Aku hanya ingin melihat dia punya masa depan yang cerah," doanya lirih sebelum akhirnya ia merebahkan tubuh lelahnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Juno Lane
5.0

Sabrina dibesarkan di sebuah desa terpencil selama dua puluh tahun. Ketika dia kembali ke orang tuanya, dia memergoki tunangannya berselingkuh dengan saudara angkatnya. Untuk membalas dendam, dia tidur dengan pamannya, Charles. Bukan rahasia lagi bahwa Charles hidup tanpa pasangan setelah tunangannya meninggal secara mendadak tiga tahun lalu. Namun pada malam yang menentukan itu, hasrat seksualnya menguasai dirinya. Dia tidak bisa menahan godaan terhadap Sabrina. Setelah malam penuh gairah itu, Charles menyatakan bahwa dia tidak ingin ada hubungan apa pun dengan Sabrina. Sabrina merasa sangat marah. Sambil memijat pinggangnya yang sakit, dia berkata, "Kamu menyebut itu seks? Aku bahkan tidak merasakannya sama sekali. Benar-benar buang-buang waktu!" Wajah Charles langsung berubah gelap. Dia menekan tubuh Sabrina ke dinding dan bertanya dengan tajam, "Bukankah kamu mendesah begitu tidak tahu malu ketika aku bersamamu?" Satu hal membawa ke hal lain dan tidak lama kemudian, Sabrina menjadi bibi dari mantan tunangannya. Di pesta pertunangan, sang pengkhianat terbakar amarah, tetapi dia tidak bisa meluapkan kemarahannya karena harus menghormati Sabrina. Para elit menganggap Sabrina sebagai wanita kasar dan tidak berpendidikan. Namun, suatu hari, dia muncul di sebuah pesta eksklusif sebagai tamu terhormat yang memiliki kekayaan miliaran dolar atas namanya. "Orang-orang menyebutku lintah darat dan pemburu harta. Tapi itu semua omong kosong belaka! Kenapa aku perlu emas orang lain jika aku punya tambang emas sendiri?" Sabrina berkata dengan kepala tegak. Pernyataan ini mengguncang seluruh kota!

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku