Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
12 Wasiat Dari Ayah

12 Wasiat Dari Ayah

Bakti Ardi

5.0
Komentar
459
Penayangan
19
Bab

Dira tinggal bersama ibu yang menjadi wanita penghibur demi menafkahinya. Bahkan sang ibu memiliki kesehatan mental yang buruk, hal itu membuat kesalah pahaman di antara mereka ... Dira dan ibu terus menerus saling membenci. Mereka saling mengutuk hampir di setiap waktu. Ia pun berulang kali mengucap kata menyesal telah hidup bersama sang ibu saat ini dan selalu berkata ingin tinggal bersama sang ayah yang sudah dua belas tahun tidak menafkahi mereka apa lagi sekedar menemuinya. Suatu hari, dia mendapat kabar bahwa sang ayah telah meninggal dunia dan dari situlah Dira mengetahui jika dirinya ternyata bukanlah anak kandung dari sang ayah yang selama ini ia rindukan. Di hari pemakaman itu, Dira diberi sebuah buku catatan berwarna merah berisi dua belas wasiat yang harus Dira lakukan. Akankah Dira berhasil menunaikan dua belas wasiat dari sang ayah? Dan apakah hubungan Dira dengan wanita yang melahirkannya bisa kembali membaik?

Bab 1 One

"Assalamualaikum," teriakku dengan lelah sembari memutar pedal pintu yang ternyata tidak terkunci.

Aku masuk ke dalam rumah seperti biasanya, tanpa balasan salam, apa lagi senyuman hangat oleh ibu seperti teman sebayaku setelah mereka pulang sekolah.

Tidak ada yang spesial dari rumah ini, selain bau alkohol yang menyeruak hingga ke seluruh penjuru rumah. Aku masuk lebih dalam dan duduk menghempaskan diri pada sofa yang sudah tidak layak untuk diduduki.

Kemudian Bola mataku tidak sengaja terfokus pada pintu kamar yang tertutup, air mataku tidak terasa menetes ... mengambil napas kasar lalu dengan cepat menghapusnya.

Perasaan kecewa selalu hinggap di benakku yang terkurung pedih tidak dapat tersalurkan, aku benci ibu ... aku benci dirinya ... aku benci hidupnya.

Andai saja aku bisa memilih waktu itu, pasti akan kupilih hidup bersama ayah bukan hidup bersama wanita kotor seperti ibu.

Pelupuk mataku terpejam mengasihani diri sendiri, menangis dalam diam sambil menahan sakitnya hati karena baru saja diejek oleh temanku yang mengatakan IBUKU ADALAH PELACUR!!! Aku tidak bisa berbuat apa-apa atas perkataan mereka.

Karena pada nyatanya ibuku memang wanita kotor yang melayani orang-orang bodoh dan culas!

Aku benci semuanya, aku benci sekolah dan aku benci rumah yang menurut mereka rumah adalah tempat pulang, tetapi ... bagiku rumah adalah tempat sampah rusak yang harus segera dibakar.

Emosiku semakin naik, setelah mendengar suara mendesah dari balik kamar. Pelupuk mata yang tadi terpejam kini reflek terbuka menatap pintu itu dengan tajam.

"Sialan! Bukannya berubah malah makin menjadi," ujarku sambil menahan napas dendam. Baru saja tadi pagi ibu berjanji padaku untuk tidak melayani warga atau tetangga terdekat kami, sekarang malah mendesah keenakan di siang bolong begini!

Suara ibu semakin menjadi, aku yang panik karena takut terdengar dari luar dan malah menimbulkan masalah lagi seperti kemarin. Langsung beranjak menghampiri pintu mengetuknya kuat. "Buk ... Buk ... ini Dira, Buk. Tolong buka pintunya," panggilanku yang tiba-tiba terpotong setelah melihat pintu kamarku malah terbuka.

Alisku menaut, bola mataku membulat menatap seorang pria bertelanjang dada dan perut yang buncit baru saja keluar dari kamarku.

"Eh ... Neng Dira udah pulang, om tunggu dari tadi di dalam kamar loh ...." Wajahnya tersenyum mengeluarkan gigi yang berwarna kuning, tubuhnya tambun dengan rambut acak keriting dan berkeringat.

Aku bergidik ngeri menatapnya dari depan pintu yang sedari tadi tidak terbuka ... tubuhku terasa kaku dan lidahku kelu padahal aku ingin sekali teriak sekencang mungkin setiap tapak kakinya melangkah menghampiriku.

Tubuhku gemetar hebat saat pria itu mulai menyentuhku dan tangannya mulai masuk secara perlahan ke dalam rok berwarna abu-abu yang saat ini kukenakan.

Lidahnya menjulur, air liurnyaa mulai berjatuhan mengenai wajahku. Jantungku berdegup kencang ... aku berusaha sekuat mungkin melawan rasa takut agar lidahku tidak kelu.

"I-i-i-buuuuu ...," teriakku dengan menggedor pintu sangat kencang. "I-i-i-ibuuuuu ...," teriakku lagii.

Namun, semakin aku berteriak semakin pria itu mengulum bibirku dan tubuhku yang kecil kini terjatuh dengan posisi di bawah tubuh pria gila ini, diri ini mulai kesusahan untuk berteriak sebab mulutku sudah sepenuhnya di dalam mulutnya, aku pun juga kesusahan untuk melawan, tubuhnya sangat berat ... aromanya seperti got sangat menjijikkan.

Aku menangis pasrah menatap pintu, sambil berharap ibu akan mengasihaniku. Air mataku menetes deras, kancing bajuku mulai satu persatu pria itu membukanya.

Dan sekarang ... baju seragam yang kukenakan lepas sudah, ia melempar baju itu tepat di samping wajahku.

Tek!! Suara pisau kater yang jatuh bersamaan dengan baju yang dilempar kuat di depan mata.

Dengan cepat aku mengambilnya, lalu ....

Crakk!!!!

Goresan panjang kubuat di wajah pria jelek itu, ia reflek menjauhiku mengerang kesakitan menutupi wajahnya. Aku segera bangkit dan berlari menjauh darinya ....

"Sialan!" pria itu mengumpat sambil menggetarkan gigi dan memasang mimik wajah yang begitu menyeramkan. Ia menghusap darah yang menetes dari wajahnya lalu melihat telapak tangannya yang sudah dipenuhi oleh darah.

"Cih! Cari mati kau rupanya ...." Ia menatapku tajam, kemudian berlari menghampiriku.

Aku pun juga berlari ke arah luar, berteriak meminta pertolongan. "Tolong ... tolong," teriakku sekencang mungkin dan tubuh pria itu berhenti di balik pintu lalu menutupnya.

Aku menangis, meraung dan tersungkur di halaman rumah. Masih kutatap ke arah dalam yang sama sekali ibu tidak keluar dari sana untuk sekedar mengkhawatirkan keadaanku sedikit saja ....

Tiba-tiba, entah dari mana datangnya seorang pria paruh baya memakai kemeja batik menutup tubuhku dengan kain jarik yang ia bawa.

Pria itu ketua RT di desaku dengan tatapan ramah ia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. "Ndok ... ada apa?"

Tubuhku masih gemetar, lidahku sangat kelu untuk menjelaskan, tangisku tersengal terdengar pecah.

"P-pak ... t-tolonng aku, bawa warga ke rumahku dan bakarlah rumah ini! Ada banyak sampah di dalamnya!" ujarku yang masih gemetar.

Pak RT hanya mengangguk mengiyakan, tidak lama setelah ia menghubungi seseorang datang banyak warga mengerumuni rumahku.

Terlihat banyak orang yang mencebik melihat ke arahku, ntah apa yang mereka pikirkan tentangku. Tetapi wajah itu menggambarkan penuh kejijikan

"Silahkan, Pak ...." Aku mengangguk mempersilahkan.

Seluruh warga berkumpul menimpuki kaca rumahku dengan batu. "Keluarlah! Sarni! Keluarlah! Atau kami bakar rumah ini," teriak salah satu warga memanggil nama ibu dan mengancamnya.

Kemudian ibu keluar hanya menggunakan sarung yang ia pakai sebagai kemben menutupi dada, rambutnya masih acak bak tidak kenal malu dan tidak lagi takut oleh warga sekitar.

"Ada apa?" tanya ibu wajahnya datar, tetapi bola matanya tajam menyorot ke arahku.

"Pergilah dari sini jangan jadi tulah dan kesialan di desa ini!" teriak warga lain menimpali.

"Aku?" Alis ibu menaut seolah dibuat bingung, "Aku tidak melakukan apa pun?!" jawab ibu berkelit.

Aku menggeleng sambil menangis, semua warga kini balik menatapku tajam.

"Ohh ... anak itu, dia habis kupukuli karena sudah lancang menjual diri pada temanku. Kupukuli habis-habisan ... aku tidak mau ia salah melangkah sepertiku dulu ...." Ibu menyeringai lalu melanjutkan perkataannya lagi. "Lalu apa aku salah mengajarkan anakku, agar tidak salah melangkah?" tanya ibu tersenyum manis.

Aku menggeleng lagi, tubuhku merapat pada pak RT. "Pak, Buk ... tolong periksa rumah kami," jawabku pelan.

Pak RT mengangguk dan mempersilakan beberapa warganya untuk masuk.

Beberapa menit mereka masuk lalu kembali lagi, "Tidak ada apa-apa di dalam, Pak. Hanya ada bau alkohol yang menyeruak di dalam sana."

Ibu menyeringai puas. "Anak itu sudah mencoba mabuk-mabukkan semalam, Pak! Jadi wajar dong kuhajar dia habis-habisaan!" ucap ibu yang sudah lihai dalam mengarang cerita.

Semua warga menggeleng menatapku penuh dengan kebencian.

"Ibu sama anak ... sama aja!"

"Wajar sih keturunan, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya!"

"Ibunya mau berubah, malah sekarang anaknya yang berulah!"

Begitulah rentetan kata-kata yang mereka ucapkan ke arahku.

Kemudian pak RT menepuk bahuku berkali-kali. "Ndok ... turutilah ibumu, dia menghajarmu karena ingin dirimu menjadi yang lebih baik lagi. Pesan bapak ... jangan lakukan hal yang sama lagi yaa, Ndok ...."

Sekarang pria itu menghusap rambutku lalu pergi bersamaan dengan perginya para warga meninggalkan aku sendiri yang masih menunduk dan menangis, tidak lagi sanggup melihat wajah perempuan jahanam di hadapanku.

Plak!!

Tamparan kuat melayang di wajahku, "Kau bodoh!" umpatnya, matanya melotot hampir melompat keluar seperti di film zombie.

Lalu mencengkram tanganku kuat, ditariknya aku untuk masuk ke dalam. Aku menolak untuk masuk, meski aku tahu pria bejat itu pasti sudah melarikan diri lewat pintu belakang. Tetapi, rasanya ... tubuh ini sudah enggan untuk masuk.

"Aku ingin ke rumah ayah ...," ujarku yang entah keberapa kali aku mengucap ingin ke rumah ayah.

Ibu tersenyum miring seketika, "Ck! Kamu lupa? Ayahmu sudah nggak menemuimu 12 tahun lamanya! Dia tidak lagi peduli padamu, Dira!" bentak ibu wajahnya merah padam sangat menakutkan.

"Aku nggak peduli, setidaknya aku nggak hidup bersama ibu sepertimu!" teriakku tidak kalah keras.

"Seperti apa maksutmu?!" tanyanya dengan wajah yang semakin menyeramkan. "Ibu yang kamu maksut kotor begini juga bisa menyekolahkanmu hingga kau SMA, Dira! Mana ayahmu yang selalu kau puja-puja dan kau sebut? Tidak ada kan?!"

Aku terdiam ....

Benar perkataan itu, aku juga ikut menikmati hasil dari jerih payah keharaman ibu.

Di saat kami saling diam, tidak lama pria paruh baya yang samar kumengingatnya datang menemui kami.

"Assalamualaikum, Sarni ...," panggilnya.

Lalu aku dan ibu menoleh secara bersamaan memandang nya. "Walaikumsalam," jawabku yang masih memandang wajahnya untuk memastikan siapa dirinya.

"Mbak ... aku datang kemari memberi tahu jika Bang Hadi meninggal jam 10 siang tadi akan dimakamkan secepatnya hanya menunggu Dira dan Mba Sarni lagi."

Aku ternganga berapa detik tidak percaya yang pria itu katakan adalah nama ayahku, bagiku semuanya terlalu mendadak. Aku belum siap untuk mendengar kabar itu ... bahkan rindu ingin bertemu pun belum juga terkabulkan, malah sudah tertinggal lagi untuk kedua kalinya ....

"Hargh!"

Ibu menarik napasnya kasar lalu ia tertawa sebentar. "Dua belas tahun nggak memberi kabar, sekarang kebetulan banget baru aja lelaki itu diomongin. Sudahlah ... aku nggak sempat untuk menemuinya, Jika Dira mau ajaklah dia ...," ujar Ibu sembari melangkah mengarah masuk ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di depan halaman rumah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Bakti Ardi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku