Harga Diri Seorang Suami

Harga Diri Seorang Suami

Ayu anggita

5.0
Komentar
2.3K
Penayangan
60
Bab

Gunawan dipecat dari jabatannya sebagai kepala pengawas di pabrik. Tak hanya itu, istrinya menggugat cerai dirinya dan mengusirnya dari rumah. Sebagai pria, Gunawan jelas tak terima. Ia berusaha untuk bangkit dan membuat orang-orang menyesal telah meremehkannya...!

Bab 1 Kabar Duka

"APA, MAS? KAMU DIPECAT?" Anggun berkacak pinggang sambil memekik keras di depan sang suami.

Gunawan hanya mengangguk saja. "Maafkan aku, Dek. Tapi pabrik sedang mengalami kemunduran. Jadi sebagian besar karyawan harus dirumahkan. Termasuk aku," jelas Gunawan.

"Terus aku sama Ibu mau makan apa kalau kamu nggak kerja, Mas?" tanya Anggun.

Gunawan menghela napas panjang. "Aku janji akan mencari pekerjaan setelah ini. Aku akan berusaha keras agar kalian bisa makan," jawabnya.

Anggun berdecak kesal saat mendengar jawaban sang suami. Dalam hati dia bersyukur karena sang suami dipecat. Dia jadi mempunyai sebuah alasan untuk berpisah dari lelaki itu.

"Kamu tuh harusnya bisa mempertahankan posisi kamu di pabrik. Kamu kepala pengawas, kan?" ujar Anggun.

"Iya. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa saat pemilik pabrik merumahkan sebagian besar karyawannya," sahut Gunawan.

"Dasar menantu nggak guna." Seorang perempuan paruh baya yang sejak tadi diam, kini ikut berbicara. Nada suaranya terdengar begitu menyakitkan hati.

Gunawan menatap ibu mertuanya sekilas. Dia kemudian menghela napas panjang. "Maafkan aku, Bu. Aku nggak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan dari pabrik," ucap Gunawan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, perempuan itu melengos dan pergi dari ruang tamu. Sedangkan Anggun, masih menatap tak percaya pada sang suami.

"Bener kata Ibu. Kamu itu menantu nggak guna. Suami nggak berharga ya kamu ini!" Anggun menunjuk tepat di wajah sang suami saat berkata demikian.

Gunawan hanya bisa diam saja. Dia tak berniat untuk menimpali ucapan sang istri. Dia tak ingin terjadi pertengkaran antara dirinya dan sang istri.

"Aku mandi dulu." Gunawan beranjak dari ruang tamu menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.

Sepeninggal Gunawan, Bu Ika, ibunda Anggun kembali keluar dari kamarnya. Dia menghampiri sang anak yang sedang terduduk lemas di sofa ruang tamu.

"Nggun," panggil bu Ika.

"Ada apa, Bu? Kalau mau minta duit, jangan sekarang deh. Aku lagi nggak pegang duit sama sekali," ucap Anggun.

Perempuan itu mengibaskan tangannya. "Bukan. Ibu nggak mau minta duit sama kamu," sahutnya.

"Terus?" Anggun bertanya dengan kening berkerut heran.

"Kamu ingat nggak sama Rendi?" tanya sang ibu.

"Rendi? Rendi siapa?" tanya Anggun.

"Itu lho anaknya juragan Darman. Yang dulu mau dijodohkan sama kamu," jawab bu Ika.

Anggun mencoba mengingat nama yang disebutkan oleh sang ibu.

"Rendi? Rendi yang mana sih?" tanya Anggun dalam hati.

"Ibu kemarin ketemu sama dia. Sekarang dia tambah kaya lho. Mobilnya aja parejo. Kalau kamu-"

"Pajero, Bu. Bukan parejo!" ralat Anggun.

"Aah! Pokoknya itulah. Kalau kamu bisa menikah sama dia, hidup kamu pasti akan bahagia. Hidup kamu nggak akan kere lagi kayak sekarang," ucap bu Ika lagi.

Anggun mendengarkan perkataan sang ibu dengan setengah hati. Sejujurnya dia sangat mencintai Gunawan. Tapi dia juga tak ingin munafik. Dia juga butuh uang untuk tetap bisa hidup dan bergaya.

Dulu memang sang ibu ingin menjodohkannya dengan orang kaya. Tapi dia menolak karena hatinya terpaut pada cinta seorang Gunawan yang kala itu masih karyawan biasa. Setelah menikah, barulah Gunawan mendapat promosi jabatan. Hingga akhirnya dia bisa menjadi kepala pengawas.

"Gimana, Nggun? Kamu mau kan ketemuan sama Rendi lagi?" Pertanyaan sang ibu membuyarkan lamunannya.

Anggun menoleh ke arah sang ibu dan berkata, "lihat entar ajalah, Bu."

"Ibu berharap kamu mau menuruti perkataan Ibu. Kalau kamu menikah sama dia, hidup kamu pasti akan bahagia," ucap Bu Ika berapi-api.

Anggun mendesah pelan. Tanpa menjawab perkataan sang ibu, dia beranjak dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.

Bu Ika hanya mengedikkan bahu. Perempuan itu tak memaksa. Tapi dia sangat berharap sang anak mau menuruti perkataannya kali ini. Dia ingin melihat sang anak menikah dengan orang kaya agar hidupnya ketularan enak. Tak perlu kerja keras tapi yang mengalir bagai air bah.

****************

Mentari pagi menyorotkan sinarnya. Gunawan menggeliat di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sang istri di sana. Dia segera bangun dan berjalan menuju dapur.

"Anggun ke mana, Bu?" Gunawan bertanya pada sang mertua sembari menuangkan air putih ke dalam gelas.

Bu Ika tak menjawab pertanyaan Gunawan. Dia hanya melengos saja kemudian pergi dari hadapan lelaki itu.

Gunawan hanya bisa mengelus dadanya. Dia harus membiasakan diri dengan sikap sang mertua yang berubah 180° padanya.

"Sabar... sabar! Banyakin sabar ajalah. Jangan kebawa perasaan. Biar nggak jadi runyam." Gunawan menyemangati dirinya sendiri.

"Lebih baik sekarang aku mandi dan bersiap-siap untuk cari kerja. Biar bisa menghidupi keluargaku," ucapnya dalam hati. Dia lantas bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar mandi.

Tak sampai 30 menit, Gunawan telah selesai mandi. Dia lantas bersiap-siap untuk pergi mencari pekerjaan baru.

Gunawan mengetuk pintu kamar sang ibu mertua. Dia ingin berpamitan seraya meminta doa restu agar langkahnya diberkati. Tapi sang ibu mertua tak kunjung keluar kamar walaupun Gunawan sudah memanggil perempuan paruh baya itu.

"Aku keluar cari kerjaan dulu ya, Bu. Doakan aku supaya bisa cepat dapat kerjaan lagi," ucap Gunawan. Tak ada jawaban dari sang ibu mertua.

"Nanti kalau Anggun pulang, tolong kasih tahu dia kalau aku keluar untuk mencari pekerjaan," ucap Gunawan lagi.

Tetap tak ada jawaban dari dalam. Gunawan menghela napas panjang. Dia lantas segera keluar dan memakai sepatu bututnya. Dia berdoa dalam hati agar bisa mendapatkan pekerjaan secepat mungkin.

"Mau ke mana, Mas?" tanya Anggun. Dia baru saja tiba dari warung untuk berbelanja.

"Mau cari kerjaan, Dek. Doain ya, semoga Mas bisa segera dapat kerjaan," ucap Gunawan. Senyum manis menghiasi wajahnya yang mampu menggetarkan hati Anggun dulu.

Anggun hanya mengangguk saja. "Cari kerjaan yang bener. Biar aku sama ibu bisa hidup enak dan makan enak tiap hari," ujarnya.

Gunawan tersenyum mendengar ucapan sang istri. Dia paham apa maksud ucapan sang istri. Dirinya harus mencari pekerjaan dengan gaji yang lumayan agar Anggun dan bu Ika bisa berfoya-foya seperti dulu lagi. Ikut arisan sana sini. Bergaya sosialita tanpa melihat realita.

"Mas berangkat dulu ya." Gunawan menyodorkan tangannya pada sang istri.

"Kalau mau berangkat, ya berangkat aja. Enggak usah salaman segala. Entar kalau udah dapat kerjaan, baru deh salaman lagi," ucap Anggun dengan angkuhnya.

Perih rasanya hati Gunawan saat mendengar ucapan sang istri. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum.

"Ya udah, kalau gitu aku jalan dulu ya. Assalamu'alaikum!" ucap Gunawan.

"Wa'alaikumusalam!" jawab Anggun pendek.

Baru saja dia akan melangkahkan kaki, ponsel di saku celananya berbunyi nyaring. Gunawan merogoh saku dan segera mengambil benda pipih itu. Sebuah nama terpampang jelas di layar benda itu. Membuat Gunawan mengernyitkan kening.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Dari Istri Tercampakkan Menjadi Pewaris Berkuasa

Gavin
5.0

Pernikahanku hancur di sebuah acara amal yang kuorganisir sendiri. Satu saat, aku adalah istri yang sedang hamil dan bahagia dari seorang maestro teknologi, Bima Nugraha; saat berikutnya, layar ponsel seorang reporter mengumumkan kepada dunia bahwa dia dan kekasih masa kecilnya, Rania, sedang menantikan seorang anak. Di seberang ruangan, aku melihat mereka bersama, tangan Bima bertengger di perut Rania. Ini bukan sekadar perselingkuhan; ini adalah deklarasi publik yang menghapus keberadaanku dan bayi kami yang belum lahir. Untuk melindungi IPO perusahaannya yang bernilai triliunan rupiah, Bima, ibunya, dan bahkan orang tua angkatku sendiri bersekongkol melawanku. Mereka memindahkan Rania ke rumah kami, ke tempat tidurku, memperlakukannya seperti ratu sementara aku menjadi tahanan. Mereka menggambarkanku sebagai wanita labil, ancaman bagi citra keluarga. Mereka menuduhku berselingkuh dan mengklaim anakku bukanlah darah dagingnya. Perintah terakhir adalah hal yang tak terbayangkan: gugurkan kandunganku. Mereka mengunciku di sebuah kamar dan menjadwalkan prosedurnya, berjanji akan menyeretku ke sana jika aku menolak. Tapi mereka membuat kesalahan. Mereka mengembalikan ponselku agar aku diam. Pura-pura menyerah, aku membuat satu panggilan terakhir yang putus asa ke nomor yang telah kusimpan tersembunyi selama bertahun-tahun—nomor milik ayah kandungku, Antony Suryoatmodjo, kepala keluarga yang begitu berkuasa, hingga mereka bisa membakar dunia suamiku sampai hangus.

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku