Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
Langkahnya berhenti tepat di ujung gang yang tertuju langsung pada sebuah gudang bekas. Tanpa sadar jemarinya mengepal keras, meremas tali tas punggungnya. Lantas sepasang mata tajam dengan manik legam itu turun menatap pada beberapa lembar uang ratusan ribu yang ada di genggamannya. Ada rasa penuh dosa saat ia ingat bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu hanya untuk menuruti candu yang kini berhasil membelenggunya.
Pandangannya kembali terangkat menatap lurus pada beberapa orang yang sedang berdiri dan tampak melakukan transaksi tepat sepuluh meter dari tempatnya berpijak.
"Hei, Bro!" Salah satu dari orang itu memanggilnya. Ragu-ragu langkahnya kembali terayun, menghampiri beberapa orang yang masing-masing menggenggam bungkusan kecil berisikan bubuk putih. Ya, bubuk putih yang kini sedang ia butuhkan.
Hingga langkah sepasang kakinya berhenti tepat di hadapan orang itu. Tanpa sadar tangannya yang lain semakin meremas tali ransel.
"Udah gue siapin sepuluh gram buat lo," ujar orang itu dengan pelan lalu mengangkat bungkusan kecil berisi bubuk putih itu di hadapannya.
Dia merasakan tenggorokannya mengering lalu dengan susah payah dia menelan salivanya.
Tangan orang itu bergerak terulur lalu tanpa dimintanya memasukkan bungkusan kecil itu ke dalam saku kemeja putih yang dia kenakan. "Kali ini nggak ada yang gratisan. Lo bawa duitnya, kan?" Orang itu menengadahkan tangan tepat di depan wajah.
Kepalanya mengangguk. Mengiakan pertanyaan dari seorang berpakaian seragam SMA dengan dibalut jaket denim hitam.
"Ya udah, mana?"
Untuk kesekian kali ia menelan saliva dengan susah payah. Ini salah. Ini salah. Ini nggak bener, decapnya dalam hati. Seketika ia tersadar, semua yang dilakukannya adalah kesalahan fatal. Meski di sisi lain ia amat menginginkan benda itu. Ah, sial! Candu itu kini menjadi adiksi yang menyerangnya dengan hebat lantas membelenggunya erat-erat.
Ini salah. Ini nggak bener. Ini salah.
Kata-kata itu terus memutari isi kepala. Meski mtanya menatap tangan yang masih setia menggantung di udara.