"Jalan mundur itu untuk binatang undur-undur, kalau kita akan terus berjalan maju." "Bukannya kehidupan terus berjalan? Tapi kehidupan lo stuck kalau tetap sama gue." "Kalau gue ga sama lo, kehidupan gue akan lebih menderita." Perihal kehilangan yang bertubi-tubi, kegagalan yang semakin nyata. Kenangan itu kembali terukir, mengusik hati kedua manusia yang kini sedang menerima garis takdir semesta. 3 tahun sudah berlalu, akan tetapi ukiran trauma itu masih ada, membekas pada sosok Raina Faradista. Hampir menyerah, namun kekuatan Haikal yang selalu meraih membuat Raina sangat susah berpaling. Haikal dengan sejuta semangat yang tidak pernah padam, mengantikan sosok Raina yang mudah sekali patah dengan keadaan. Karena Raina yang dulu selalu ceria kini mulai meredup. Situasi memaksa untuk berpisah, namun hati sangat enggan beranjak. Bisakah Haikal terus meraih Raina dengan semangatnya? More info follow : @MyStory_BySuciudri18
"Mami!"
"Mam, aku dapat nilai delapan puluh!"
Teriakan melengking itu terdengar nyaring, membuat siapapun yang mendengar seketika menoleh. Senyum semuanya mengembang ketika melihat bibir mungil itu tersenyum.
"Oh ya? Coba Mami liat," kata wanita muda yang kini berjongkok, menatap anak laki-laki berseragam putih merah di depannya.
"Nih, Mam."
"Anak pintar, habis ini Mami traktir ya? Tapi Mami mau beli bunga dulu. Kamu duduk dulu sebentar, ini kertasnya dibawa."
Anak laki-laki itu mengangguk, menyetujui perkataan sang Ibu.
"Mbak, saya mau bunganya ya? Dirangkai, sama bisa dikasih note?"
"Mbak?"
Buyar sudah lamunan Rain, dia menatap linglung wanita di depannya. Masih dengan perasaan bingung Rain buru-buru mengambil bunga lalu merangkai dengan cepat.
"Mbak, maaf, tapi saya mau bunga mawar."
Rain menundukan kepalanya menatap bunga yang sedang dia rangkai. Oke, ini salah. Rain meringis, buru-buru dia meminta maaf kepada pelanggan di depannya. Untung saja pelanggannya santai, tidak emosian. Kalau emosian? Sudah dipastikan Rain akan mencak-mencak sendiri ya walaupun ini kesalahan dia juga, sih.
"Mami!"
Wanita itu kembali menoleh, menatap sang putra yang kembali mendekat. "Ada apa lagi, Nak?"
"Itu bunga buat Aunty Gina, Mam?"
"Iya, kita mau ke rumah Aunty Gina, mau ketemu adik bayi."
"Asikk!"
Walaupun tangannya aktif merangkai bunga, tetapi telinga Rain dapat mendengar jelas percakapan Ibu dan anak itu. Rain tersenyum masam, sesekali dia mengesampingkan Rambutnya yang menutupi wajah. Rain mencoba untuk tenang, mencoba untuk fokus tanpa terkecoh apapun. Setelah selesai merangkai, Rain mendongakan wajahnya menatap wanita yang menggunakan dress berwarna hitam di depan.
"Mbak isi notenya yang simple aja ya."
"Apa, Bu? Biar saya tulis."
"Selamat atas kelahiran putri pertamanya, semoga Ibu sama babynya sehat."
Rain mengangguk patuh, dia mengambil pulpen berwarna hitam lalu mulai menulis kata demi kata yang masih telinganya ingat. Baru dua kata jarinya menulis, konsentrasi Rain seketika pecah, tangannya bergetar sampai susah untuk menulis. Dalam hati Rain mencoba tenang, dia mengatur napasnya yang mulai memburu. Di saat dirinya sudah mulai kacau, Rain merasakan sentuhan di pundak membuat dia menoleh.
"Biar aku aja yang selesaikan ya, Kak? Kak Raina istrirahat aja."
Senyum di sudut bibir Rain terukir, dia mengangguk lalu menyerahkan buku dan juga pulpennya. "Makasih banyak ya, Dina, aku permisi dulu."
Tanpa menunggu jawaban Dina, Rain sudah lebih dulu berlari kecil ke arah belakang. Dina sangat paham kenapa Rain seperti itu. Sebetulnya sudah sejak tadi Dina menatap Rain, namun dia membiarkan. Akan tetapi pada akhirnya dia tidak tega maka dari itu buru-buru menggantikan.
"Mbak yang tadi kenapa ya? Apa saya salah bicara tadi?"
Dina menoleh, lalu tersenyum ke arah pelangan di depannya. "Engga, Bu, Kak Rain lagi kurang enak badan makanya lemas sama pucat."
Ibu tersebut beroh ria mendengar jawaban Dina. Sedangkan Dina, sesekali dia menoleh ke arah belakang, rasanya kasihan ingin sekali menemani. Setelah semuanya selesai, Dina memberikan bunga tersebut ke arah Ibu di depannya.
Niat hati ingin menghampiri, tetapi Dina memilih diam saja sambil berfikir kira-kira apa yang harus dia lakukan.
"Hai, Dina!"
"Kak Frans?"
Frans menaik-naikan alisnya dengan senyum lebar. "Raina ada di sini? Tadi kata Nana, dia ga ada di rumahnya."
"Ah iya, Kak Rain ada, lagi di belakang, Kak."
"Oke kalau gitu, aku masuk ya?"
Dina mengangguk dengan cepat, setidaknya Rain tidak merasa sedih sendirian di belakang sana. Setelah mendapat izin dari Dina, Frans melangkahkan kakinya masuk ke dalam lalu menuju ke halaman belakang. Rasanya sudah lama Frans tidak ke sini, itu semua karena jadwal praktek yang full. Tempat ini banyak kenangan, dari yang baik, hingga tangis kehancuran yang pecah.
Langkah kaki Frans terhenti ketika melihat seorang wanita berambut panjang tengah berdiri menikmati hembusan angin. Tubuhnya terlihat kokoh, pun tidak ada luka. Tapi jauh dari itu, Frans tahu kencuran yang sedang dia rasakan.
"Semua masalah ada bukan untuk disesalkan. Lo bisa berdiri sampai hari ini aja bagus banget."
"Tetap jadi Raina yang ceria, saking cerianya semua masalah dianggap ga ada. Lo tau? Gue kangen lo yang begitu."
Rain mundur, lalu dia ikut duduk di samping Frans sambil menyandarkan kepalanya di pundak kokoh milik Frans. "Raina yang dulu udah mati bersama kenangan yang ada."
"Gue yakin Haikal tetap milih lo, Raina. Kalaupun dia mau mundur, gue siap maju buat gantiin dia."
"Bahkan gue sendiri yang minta dia buat mundur."
"Loh? Ga seharusnya lo lakuin itu ke dia. Dia masih mau sama lo? Itu tandanya dia sayang dan mau berjuang."
Rain terdiam, tangannya saling baradu merasakan sasak di dada. Sebetulnya Rain sangat malas dengan pembahasan ini, tetapi mau bagaimana lagi? Tangan dingin Rain seketika menghangat saat tangan kekar milik Frans mulai menggenggam dengan erat.
"Tumpahin apa yang sedang lo rasain, Rain. Lo mau nangis? Silahkan nangis sepuasnya, jangan sakitin diri sendiri."
Rain mengangkat kepalanya, lalu dia menatap lekat Frans. "Lo mau anterin gue ga? Gue mau ketemu sama Aletta, gue kangen."
Frans mengangguk, dengan senang hati dia mengantar ke manapun Rain mau. Melihat Frans mengangguk, senyum Rain langsung mengembang dengan sempurna. Sambil menunggu Rain mengambil tas dan ponselnya, Frans berjalan ke luar lebih dulu untuk menghampiri Dina.
"Ramai, Din?"
"Alhamdulillah, Kak Frans. Loh, Kak Rain mana?" Dina menoleh ke arah belakang seraya mencari Rain.
"Di dalam lagi ambil tas. Kamu gapapa ya kita tinggal dulu? Bisa handle semuanya? Rain mau ketemu Aletta."
Dina mengulum bibirnya rapat-rapat saat mendengar penuturan Frans. Walaupun begitu, Dina tetap mengangguk patuh. Frans terkekeh, dia tahu apa yang sedang Dina fikirkan saat ini.
"Ayo, Frans. Oh iya, Dina gapapa aku tinggal? Aku ga lama sih, nanti Silla juga dateng ke sini," ujar Rain yang baru saja ke luar dari dalam ruangannya.
Dina mundur selangkah, dia tersenyum sambil mengangguk ke arah Rain. "Aku bisa sendiri, Kak, ga usah khawatir. Kak Rain hati-hati ya?"
"Makasih ya, Dina, kalau begitu aku sama Frans pamit duluan."
Frans mengedipkan sebelah matanya ke arah Dina lalu dia terkekeh geli karena wanita itu mendelik tajam. Menjahili Dina memang menjadi hobi baru Frans saat ini kalau datang ke toko bunga. Tidak ingin ada kesedihan, Frans merangkul pundak Rain lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.
Tunggu!
Tentu saja Frans melakukan itu kalau tidak ada Haikal. Kalau ada? Bisa dibabat habis hidupnya oleh Haikal. Mungkin yang Rain katakan benar, kalau Haikal mantan gengster pada masanya.
"Silahkan masuk," kata Frans sambil membukakan pintu penumpang. Namun baru saja Rain ingin masuk, Frans kembali menahannya.
"Ada apa lagi, Frans?"
"Hapus air mata lo dulu sebelum kita pergi. Katanya mau ketemu Aletta, apa lo mau dia sedih nanti?"
***
Bab 1 Gue Kangen
09/07/2022
Bab 2 I'm Happy With You, Rain.
09/07/2022
Bab 3 Udah Biasa, Gak Kaget.
09/07/2022
Bab 4 Layanin Gue Gimana
09/07/2022
Bab 5 Maafin Gak
09/07/2022
Bab 6 Karma
09/07/2022
Bab 7 Hampir, Dikit Lagi.
09/07/2022
Bab 8 Salah Lawan!
09/07/2022
Bab 9 Gamang
09/07/2022