Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
26
Penayangan
5
Bab

Fian adalah anak tunggal dari keluarga kurang harmonis. Di saat dia menginjak bangku SMA, kedua orang tuanya harus bercerai. Awal dewasa yang cukup sulit dari keluarga yang hancur, Fian lebih sering mengurung diri dan semakin pendiam. Ketidakpandaiannya dalam bergaul sering kali dianggap sifat angkuh dari kota. Tidak hanya itu banyak hal lain yang harus dia biasakan saat harus tinggal di desa bersama ayahnya. Akan kah Fian bisa beradaptasi? Apakah dia juga akan merasakan cinta monyet anak SMA?

Bab 1 Perkenalan

"Ayah punya teman dan katanya anak teman ayah juga sekolah di situ, mau ayah kenalkan?"

"Tidak perlu."

"Agar kamu punya teman, Fin."

"Aku bisa cari sendiri, Yah."

"Kamu bilang apa tadi, coba ulangi," pinta Pak Niko penasaran dan ingin mendengarkan kata terakhir yang disebut Fian.

"Aku bisa cari teman sendiri."

"Bukan yang itu, yang terakhir, Fian."

"Apa?" Fian mengerutkan dahi dan berpikir apa dia salah bicara sampai-sampai ayah meminta mengulangi ucapannya. "Ayah?"

Satu lengkung besar menarik senyum Pak Niko kala mendengar Fian menyebutnya 'Ayah'.

"Cepatlah sedikit, kita bisa telat nanti." Ayah sudah berdiri hendak menaiki motor klasik Honda kalong, sedangkan Fian melangkah tergesa-gesa memasukkan bekal ke tas dan mengambil helm yang sedari tadi berada di tangan ayah.

Pak Niko, laki-laki dewasa yang kini telah resmi menjadi duda dengan 1 anak gadis. Setelah keputusan pengadilan juga dengan hak asuh yang dia emban, kini Pak Niko memilih kembali ke kampung halaman hidup dengan ibu yang semakin menua.

Motor mulai melaju dan membelah ketenangan jalan aspal dengan motor tua milik ayah Fian. Sekitar lima belas menit kedepan mereka akan sedekat ini. Saat di kota biasanya Fian berangkat dengan angkot atau minibus, tapi kali ini menjadi pengalaman baru juga pertama kalinya dia sekolah diantar ayah. Apalagi ini hari pertama masuk sekolah, tentu menjadi momen yang sangat tepat bagi ayah Fian untuk kembali membangun ikatan ayah dan anak untuk sekian lamanya.

Pak Niko sengaja berangkat lebih awal agar bisa lebih lama berdekatan dengan Fian, tentu saja kesempatan untuk mengobrol meski singkat juga perlu.

"Kamu tenang saja, sekolah itu cukup bergaya, kok." Pak Niko sangat tahu betul bagaimana perasaan Fian, setelah lama dibesarkan dengan riuh ramai kota lalu tiba-tiba pindah ke desa. Hal itu pastinya membuat Fian merasa asing, bahkan untuk hidup di desa saja waktu itu Pak Niko sempat ragu Fian bisa beradaptasi. Namun, sejauh ini Fian tidak pernah mengeluh dan dia mengganggap bahwa buah hatinya kini sudah semakin dewasa dan bisa menerima keadaan.

"Hmm."

Hanya mendapat jawaban seperti itu saja Pak Niko merasa senang.

"Fin, apa kamu ingin seorang ibu baru?"

Di tengah-tengah momen yang membahagiakan bagi Pak Niko, seorang wanita menyapanya. "Nik, mampir!" Sembari memegangi sapu lidi, senyum manis mengulas menarik bibir melengkung.

"Baru juga sehari," gumam Fian merasa wanita itu sok dekat sekali dengan ayahnya sampai-sampai meminta untuk mampir. Pakaian daster dengan rambut disanggul jedai, Fian mengamati dengan seksama.

"Kapan-kapan, Ning!"

Fian memalingkan wajah ke arah berlawanan di mana wanita yang dipanggil 'Ning' oleh ayah tadi. Terlihat dari spion motor, Pak Niko pun menjelaskan, "Namanya Nining, dia sahabat ayah dari kecil."

"Ohh," balas Fian seolah tidak peduli. Namun, setelah beberapa lama dia menoleh ke belakang menamatkan kembali wanita bernama Nining tadi, yang benar saja ayah sudah mulai berencana mendatangkan ibu baru untuk Fian. Seorang laki-laki menghampirinya, kemudian dia menyambut tangan itu dan menyalaminya. "Udah punya suami ternyata." Rasa lega mengguyur dada Fian. "Tapi, tua amat ya suaminya?"

"Apa, Fin?"

"Bukan apa-apa, Yah. Udah ayo, keburu telat nanti."

Sesuai dengan permintaan sang kekasih hati kecilnya, Pak Niko pun kembali fokus ke jalan dan tetap mengendara motor dengan kecepatan yang sama. Motor tua tidak bisa ajak ngebut, mesinnya baru saja dipanasi butuh waktu agar tidak protol di tengah jalan.

Setelah melewati kawasan rumah-rumah tetangga, kini mereka melewati sedikit hamparan sawah yang sedang musimnya ditanami padi. Semilir angin yang menerbangkan anak rambut Fian membuat perasaannya merasa tenang dan damai dengan suasana seperti ini. Bisa dikatakan sangat jauh dari kata ramai, bising, dan kegaduhan.

Lingkungan sebelumnya yang kerap diwarnai dengan suara lalu-lalang kendaraan dan bunyi klakson, kini terasa lebih tentram. Fian merasa inilah kehidupan yang dimimpikan, tapi kenapa harus dengan perceraian ayah bunda.

"Apa di rumah nenek ada sepeda?" tanya Fian.

"Ada, kenapa memangnya?" Pak Niko memberi pertanyaan ulang, karena heran Fian tiba-tiba bertanya begitu.

"Tidak apa-apa, tanya aja."

"Tapi ayah pikir kamu tidak akan bisa menaikinya." Pak Niko menebak Fian akan menggunakan sepeda itu untuk perg ke sini.

"Ayah mana tau aku bisa naik sepeda, hal kecil seperti makanan kesukaanku pun ayah tak tau."

Ucapan Fian bagi Pak Niko semacam sambaran petir, sangat mengingatkan tetang jarak mereka saat ini. Dalam batiin Pak Niko berpikir telah salah mengatakan hal itu, bisa saja Fian tersinggung. Dia merutuki ucapannya sendiri, padahal baru tadi dia merasa dekat dengan sang putri. Dia berjanji pada diri sendiri untuk berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Fian, sebab tidak ingin hubungan mereka semakin jauh karena kesalahpahaman.

***

Fian duduk sendiri di sebuah kursi yang terbuat dari semen, di bawah pohon rimbun dan asri, menciptakan rasa sejuk dan nyaman tersendiri. Tidak jauh dari tempat Fian duduk, gerobolan siswa dan siswi sedang mengobrol, sesekali mereka juga bercanda. Seragam mereka yang senada dengan Fian, membuat dirinya meng-klaim bahwa mereka juga sisiwa-siswi baru.

Namun, bukan itu fokus Fian. Seorang anak laki-laki yang lebih memilih duduk agak menepi dari segerombolan. Dia hanya menunduk dan sangat fokus dengan sebuah buku di tangannya. Terlihat tidak peduli dengan sekitar, tapi sebenarnya sangat detail dalam mengamati, dan mengecoh orang.

Nama panggilannya adalah Gusti, nama aslinya lengkap Ra Den Pasar. Anak laki-laki keturunan Banjar dari keluarga Pasar, sekaligus anak dari juragan desa. Selain terkenal dingin, keluarga Pasar juga sangat dermawan. Keluarga terkaya di desa ini hidup sangat sederhana.

Tidak jarang teman-teman di sekitarnya mengajak Gusti untuk mengobrol, akan tetapi dia lebih memilih untuk menjadi pendengar saja, dengan sesekali menjawab jawaban singkat.

Di seberang, Fian tampak heran dengan anak laki-laki itu pun beraggapan bahwa Gusti dikucilkan oleh teman-temannya dan merasa iba. Sebab, dulu dia juga pernah merasakan hal itu. Namun, seiring waktu dia menjadi terbiasa dan tidak peduli. Itulah awal mula sikap dingin Fian.

"Aku berjanji akan menjadi sahabatnya." Entah mendapat hidayah dari mana Fian berkata seperti itu, dia merasa tidak ingin orang lain merasakan yang dia alami sejauh ini, dan cukup dia saja.

Suara bel berbunyi nyaring, siswa-siswi senior lansung masuk ke kelas tanpa tersisa. Hanya beberapa dangan pakaian tambahan jas yang berlalu lalang. Fian pikir itu adalah OSIS yang akan mendampingi masa orientasi mereka nanti. Berselang suara bel tadi, denting mikrofon memberi tanda akan ada seseorang yang berbicara di sana.

"Cek! satu dua dicoba. Cek! Hallo."

Fian mendengarkan dengan seksama, menunggu si empuya suara meneruskan ucapannya. Namun, sedari tadi hanya seperti itu. Sedangkan, anak-anak lainnya mereka masih sibuk mengobrol dan terlihat acuh menurut Fian. Padahal sebenarnya, memang seperti itu dan pengumuman akan diumumkan sekitar 10 menit setelahnya. Fian saja yang dari kota jadi tidak tau.

"Ini untukmu," ucap seorang cowok berjas kemudian langsung pergi. Belum sempat Fian melihat wajahnya, dia melihat sebuah coklat dengan kertas kecil dan diikat pita merah terkemas sangat cantik, tapi siapa dia? Apa penggemar Fian?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku