Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Love Me Om

Love Me Om

Puisiru

5.0
Komentar
11.1K
Penayangan
25
Bab

Lala, seorang wanita yang tidak bahagia dengan tunangannya yang abusive, Ray, tengah menjalani rencana pernikahannya demi memenuhi harapan orang tua. Seminggu sebelum pernikahan, sahabatnya, Maya, mengadakan pesta lajang untuk Lala di villa milik pamannya, Daniel. Di sana, Lala bertemu dengan Daniel yang sejak remaja sudah menjadi laki-laki impiannya. Dalam keadaan mabuk, Daniel dan Lala terlibat dalam hubungan intim. Perlakuan lembut Daniel membuat Lala menyadari nilainya dan bahwa dia tidak pantas menerima perlakuan kasar dari laki-laki seperti Ray. Meskipun ragu tentang masa depan hubungannya dengan Daniel, Lala akhirnya memutuskan untuk membatalkan pernikahan dengan Ray. Bagaimana Ray menerima keputusan sepihak Lala? Apakah Daniel akan memberikan hati dan cintanya pada Lala seperti yang Lala harapkan?

Bab 1 Hanya Pemuas Nafsu

Aku melangkah masuk ke apartemen dengan perasaan lega setelah hari yang panjang. Udara segar dari jendela terbuka membelai wajahku, dan sejenak aku merasa seperti bisa bernafas lagi.

Langkahku pelan saat aku melewati ruang tamu yang kosong. Tempat ini terlihat sepi, tapi dalam keheningan itu, ada perasaan kesendirian yang manis. Aku menghela nafas dalam-dalam, menghirup aroma khas apartemenku yang perlahan menjadi tempat perlindunganku dari dunia luar.

Aku ingin membersihkan diriku dan merasakan segarnya mandi setelah seharian bekerja. Tubuhku merasa lelah, tapi ada semacam kepuasan dalam kelelahan itu. Kurasakan rasa sakit dari sepatuku yang memeluk kaki, sebagai kenangan kecil akan perjalanan hari ini.

Kamar tidurku menanti di ujung koridor, dan aku berjalan dengan langkah pelan. Aku menghidupkan lampu dengan perlahan, membiarkan cahayanya mengisi ruangan. Namun, kejutan menghantamku seperti petir di tengah malam saat aku melihatnya.

Ray. Duduk di atas ranjang, dia terlihat seperti bayangan yang mengejutkan. Matanya memandangku dengan tatapan yang penuh keinginan, dan seolah-olah dia telah menguasai seluruh ruangan itu. Nafas yang kuhembuskan tercekat di tenggorokan, seakan kehadirannya menciptakan perasaan yang rumit dalam hatiku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" desisku, mencoba mengendalikan kebingunganku.

Ray mengangkat sebelah alisnya dengan senyuman yang begitu mengganggu. "Aku merindukanmu, sayang. Sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama."

Aku berusaha untuk tidak menunjukkan getar rasa takut dalam suaraku. Aku tahu betul seperti apa dia saat berada dalam mood yang begini. "Aku capek, Ray. Aku ingin mandi dan istirahat."

Dia menggeleng pelan, seolah tidak peduli dengan alasan apapun yang aku katakan. "Kamu bisa mandi dan istirahat setelah kita melakukannya, Lala."

Rasa getir melintas di hatiku. Mengintip ke dalam mata hitam Ray, aku bisa melihat betapa kuasanya dia merasa atas situasi ini. Dia mendekati aku, menyingkirkan langkahku dengan gerakan perlahan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak yang membuatku merinding.

"Ray, aku sedang tidak ingin," kataku dengan tegas, mencoba mengatasi kegelisahanku.

Dia mendekatkan dirinya lebih dekat lagi, menempelkan tubuhku ke tembok. "Oh, come on, Lala. Aku tahu bagaimana cara membuatnya menyenangkan."

Tangan Ray mulai menjelajahi leherku, menyentuh tempat-tempat yang membuatku terkejut. Aku merasa panas, dan bukan karena hasrat, melainkan karena rasa marah yang membara di dalam diriku. "Ray, berhenti!"

Dia tertawa, seperti menikmati ketidaknyamananku. "Kau selalu begini, Lala. Terlalu kaku dan terlalu banyak pemikiran."

Aku menolak menunduk, menatapnya dengan tekad di mataku. "Aku serius, Ray. Aku ingin mandi dan istirahat. Aku tidak ingin melakukan ini."

Dia merasa semakin dekat, hampir mengepungku dengan kehadirannya yang dominan. "Pikiranmu mungkin menolakku, tapi aku tahu tubuhmu menginginkan ini."

Ray meraih lenganku dengan kasar, menarikku mendekat. Aroma alkohol mencampak di hidungku, menggiring ketidaknyamanan yang semakin memuncak.

Aku menelan ludah, mencoba menjauh, tetapi tubuhku terjepit di antara Ray dan ranjang. "Ray, hentikan!"

Dia tidak mendengarkan. Tangannya merayap ke atas, menggapai punggungku. Aku merasakan napasnya yang berat di leherku, dan aku merasa mual. Tubuhku gemetar, tetapi aku tidak bisa berbuat banyak dalam posisiku yang terjepit.

Tangan Ray meraba-raba ke bawah, membuatku merasa jijik. Aku mencoba melawan, menolaknya dengan keras, tetapi usahaku sia-sia. Ray semakin memaksa. Aku merasa hancur.

Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa pasrah, menangis dalam keputusasaan ketika Ray mendesakkan tubuhnya ke dalam tubuhku. Setiap desakan mengirim rasa perih ke seluruh tubuhku. Tubuhku terasa lemah, hatiku hancur berkeping-keping.

Saat semuanya selesai, aku merasa hampa. Aku merosot di sampingnya, airmata masih mengalir dari mataku. Ray melihatku dengan pandangan acuh, seolah-olah aku hanyalah alat untuk memuaskan nafsu bejatnya.

"Kamu milikku, Lala. Jangan pernah lupa itu," bisiknya dengan tawa kejam.

Aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Aku merasa dunia seolah-olah runtuh di sekelilingku. Lala, kenapa kau membiarkan ini terjadi? Tanyaku pada diriku sendiri.

***

Aku merasakan beratnya kelopak mataku, usai malam yang panjang dan melelahkan. Kurasakan sepasang tangan kekar yang mengusap punggungku, suara pelan membangunkanku dari tidur. Aku membuka mataku dengan susah payah, menemukan Ray dengan wajah dinginnya di dekatku.

"Kau sudah bangun, Lala?" bisiknya dengan suara yang sarat dengan kekerasan. "Aku butuh kopi. Segera."

Aku mengerang dalam hati, tetapi berusaha menahan kelelahanku saat aku menyusuri lorong menuju dapur. Aku merasakan sentuhan dingin lantai di bawah kakiku dan aroma kopi yang menggoda mulai memenuhi udara. Aku merasa seperti budak dalam rumahku sendiri.

Setelah berhasil menyeduh kopi dan menyiapkannya di atas nampan, aku membawanya kembali ke kamar tidur. Ray sudah duduk di tempat tidur, menatap layar ponselnya tanpa memberiku pandangan. Aku merasa sakit hati dan muak dengan cara dia memperlakukan aku.

"Ini," ucapku sambil menaruh cangkir kopi di meja samping tempat tidur. "Tolong jangan lupakan bahwa aku punya pekerjaan juga."

Ray meraih cangkir dengan acuh tak acuh, tanpa mengucapkan kata-kata. Aku merasa jengkel, tetapi berusaha untuk tidak memperlihatkannya saat aku perlahan meninggalkan kamar.

***

Suasana kerja semakin intens saat aku duduk di meja rapat, berbicara dengan tim desain tentang proyek terbaru. Tubuhku masih terasa lelah tapi aku mencoba untuk tetap fokus pada presentasi yang sedang berlangsung.

Maya muncul di depan pintu ruang rapat dengan senyuman lebar di wajahnya. "Eh, Lala! Jangan lupa, siang ini kita berangkat ke villa untuk persiapan pesta lajangmu!" bisiknya dengan penuh semangat.

Pandangan kami bertemu dan senyumnya yang tulus membuatku merasa hangat. Aku tahu bahwa Maya selalu mendukungku, bahkan ketika aku harus menghadapi cobaan seperti ini.

"Baiklah," jawabku, mencoba menekan rasa lelahku. "Aku akan datang."

Namun, sebelum aku benar-benar bisa memastikan keputusanku, ponselku berdering. Layar menampilkan nama Ray. Hatiku berdebar-debar saat aku menjawab panggilannya.

"Kamu tidak akan pergi ke pesta itu, kan?" suaranya penuh dengan amarah. "Aku tidak suka tidak suka kamu pergi sendiri."

Aku merasa darahku mendidih. Sejak berpacaran lalu aku tidak pernah melakukan apapun tanpa persetujuannya. Aku bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan teman-temanku lagi. Apalagi sekarang, setelah kami bertunangan. Aku tidak bisa terus menerus hidup seperti ini.

Aku ingin mengatakan apa yang ada di pikiranku, menghentikan semua siksaan ini. "Ray, aku sudah mencoba menurutimu selama ini. Tapi kali ini, aku akan pergi ke pesta lajang bersama temanku, dengan atau tanpa persetujuanmu!"

Ray berteriak di ujung telepon, mengeluarkan ancaman dan cacian. Aku menutup telepon dengan tangan gemetar, merasa marah dan lelah oleh kontrol yang dia pegang atas hidupku.

Aku mendapati Maya menatapku dengan tatapan penuh kekhawatiran,

"Lala, apa yang akan kau lakukan?" Maya bertanya dengan nada cemas, menunjukkan dukungan sejati yang selalu dia berikan padaku.

"Aku tetap akan pergi," aku menyatakan dengan tegas, mataku menyala dengan tekad. "Kali ini aku tidak akan membiarkan Ray mengatur hidupku."

Kami berdua tersenyum satu sama lain, dan aku merasa seperti beban besar telah terangkat dari pundakku. Aku tahu bahwa akan ada konsekuensi, tetapi aku tidak bisa lagi mengabaikan diriku sendiri demi kepuasan Ray.

***

Aku dan Maya duduk di dalam mobil, perjalanan kami menuju Puncak dipenuhi oleh keindahan alam yang melambai di sepanjang jalan. Udara segar pegunungan membelai wajahku saat aku memandangi lembah hijau yang menjalar sejauh mata memandang. Maya, sahabatku sejak lama, duduk di sampingku dengan senyum cerahnya yang selalu menghangatkan hatiku.

"Kamu tahu, Lala," ujar Maya sambil menoleh padaku, "Om Daniel akan berada di villa selama pesta berlangsung. Penjaga villa minta cuti, jadi pamanku yang akan menggantikan posisinya."

Mendengar nama Om Daniel membuat hatiku berdesir. Om Daniel, pemilik villa dan paman Maya, adalah sosok yang telah mengisi pikiranku sejak aku masih duduk di bangku SMA. Dia tampan, gagah, dan memiliki kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Aku ingat betul bagaimana aku pernah jatuh cinta dengan sosoknya saat aku masih muda dan polos.

Kami akhirnya tiba di villa yang megah. Pemandangan yang sebelumnya hanya aku nikmati dari jendela mobil, kini terbentang luas di depan mataku. Villa dengan arsitektur klasik dan taman yang indah terhampar di hadapanku. Aku menghela napas dalam, merasakan getaran ketegangan yang mulai merayap di perutku.

Pintu mobil terbuka dan aku melangkah keluar, diikuti oleh Maya. Hatiku berdegup kencang ketika pandanganku bertemu dengan sosok yang kini berdiri di depan pintu villa. Om Daniel, dengan senyum hangatnya, menyambut kami dengan tangan terbuka.

"Selamat datang, Lala, Maya," sapanya ramah. Suaranya masih sama seperti yang kuingat, membuat dadaku berdesir hebat.

Aku tersenyum malu-malu, mencoba menahan rasa gugupku. "Terima kasih, Om Daniel. Villa ini begitu indah."

Maya tertawa dan menepuk bahuku dengan lembut. "Lihatlah wajahmu, Lala. Kau merah padam seperti tomat."

Aku menggigit bibirku, merasa malu namun juga bahagia. Bagaimana bisa tidak? Aku berada di dekat Om Daniel setelah begitu lama.

Kami berjalan bersama masuk ke villa. Aroma kayu dan bunga-bunga segar memenuhi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan hangat. Ruangan yang kami masuki terbuka lebar, menampilkan pemandangan taman yang mengagumkan melalui jendela-jendela besar.

"Apa kalian ingin berkeliling?" tanya Om Daniel sambil tersenyum. "Atau ada yang ingin minum?"

Kami memutuskan untuk berkeliling terlebih dahulu. Aku melangkah dengan perasaan bercampur aduk. Di setiap sudut villa, aku merasa seperti sedang berjalan di dalam mimpi. Aku mencoba meredakan detak jantungku yang semakin liar.

"Kamu masih ingat, kan?" Maya tiba-tiba berkata, tersenyum penuh arti.

Aku menoleh padanya dengan ekspresi bingung. "Ingat apa?"

Maya tertawa lepas. "Jatuh cinta pada Om Daniel saat SMA?"

Wajahku memerah dan aku segera menggeleng cepat. "Itu hanya masa remaja yang bodoh."

Namun, matanya yang tajam seakan menembus kedok kebohonganku. Aku bisa merasakan bahwa Maya tidak percaya sepenuhnya pada kata-kataku.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Puisiru

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku