Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
ANTARA JANJI DAN DUSTA

ANTARA JANJI DAN DUSTA

Ufuk Timur

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang pria kaya yang tampak bahagia dengan keluarganya menjalani kehidupan ganda dengan seorang wanita yang lebih muda. Ketika hubungan mereka semakin dalam, kekasih gelapnya menuntut lebih, mengancam seluruh stabilitas hidupnya.

Bab 1 Kehidupan yang Sempurna

Pagi itu, Reza duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi sambil melihat anak-anaknya berlarian di sekitar meja. Suasana rumahnya begitu hangat, penuh tawa dan kebahagiaan yang terasa begitu nyata. Istrinya, Amara, sedang menyusun sarapan pagi dengan senyum di wajahnya, tak ada yang mencurigakan-semuanya tampak sempurna.

"Ayo, Fira, kau harus makan ini," Amara berkata lembut, menyodorkan potongan roti ke mulut anak perempuan mereka yang berusia lima tahun.

Fira, dengan mata cerahnya, hanya tertawa kecil dan menepis roti itu. "Aku mau jus jeruk, Mama!" katanya, sambil menunjuk ke arah gelas yang sudah terisi.

Amara tertawa ringan. "Kamu itu manja banget," ujarnya sambil mengelus kepala Fira. Lalu, ia beralih ke Reza. "Reza, coba lihat anak kita yang satu ini. Sepertinya kita harus mulai lebih tegas, ya?"

Reza hanya tersenyum mendengar gurauan istrinya. Ia menatap mereka dengan mata yang penuh kebahagiaan. Tak ada yang tahu, di balik senyum itu, ia menyembunyikan sebuah rahasia besar. Rahasia yang terus menggerogoti pikirannya setiap hari.

"Fira itu hanya ingin perhatian lebih, sayang," jawab Reza dengan nada lembut. Ia menunduk, mencuri pandang ke ponselnya yang tergeletak di meja, yang bergetar seakan memberi peringatan.

Amara tidak menyadari kegelisahan itu. Ia melanjutkan aktivitasnya, seperti setiap pagi sebelumnya, sibuk mempersiapkan anak-anak untuk pergi ke sekolah. Reza, di sisi lain, terus merasa tersedak oleh rasa bersalah yang semakin menumpuk.

Suara pintu mobil terdengar dari luar. Reza menoleh. "Tunggu sebentar, Amara," katanya dengan cepat. Ia bangkit dan pergi ke depan rumah, tempat mobil mewah mereka sudah terparkir.

"Ayo, sayang, kita sudah terlambat!" teriak Amara dari dalam rumah, menyusulnya.

Reza membalas dengan senyum yang sudah dipersiapkan. "Aku akan ke kantor lebih cepat hari ini. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."

Setelah Amara dan anak-anak pergi, rumah kembali sunyi. Reza menghela napas, lalu kembali melihat layar ponselnya. Ada pesan baru yang masuk.

"Reza, kita harus bicara. Ini semakin tidak bisa dikendalikan."

Pesan itu datang dari Maya, wanita muda yang telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Hatinya berdegup kencang. Setiap kali melihat nama Maya di layar, seolah dunia yang ia bangun bersama keluarganya mengancam untuk runtuh.

Beberapa jam kemudian, Reza tiba di kantor, tetapi pikirannya masih terus teringat pada pesan itu. Maya, yang ia temui setahun lalu, kini bukan hanya sekadar pelarian dari rutinitasnya yang membosankan. Maya adalah api yang menghangatkan tubuhnya, dan sekaligus menjeratnya dalam kebohongan yang tak bisa ia lepaskan.

Reza membuka pintu kantornya, dan asisten pribadi, Indah, menyapanya dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Pak Reza. Apakah Anda ingin saya menyusun jadwal untuk hari ini?"

"Selamat pagi, Indah. Tidak perlu, aku akan menangani semuanya sendiri," jawab Reza dengan suara sedikit serak. Ia berjalan menuju mejanya dan duduk. Namun, pikiran tentang Maya terus menghantuinya.

Lima menit kemudian, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Maya kembali masuk.

"Jangan berpikir aku akan diam saja. Aku bisa mengungkap semuanya, Reza. Pilihannya ada di tanganmu."

Reza menggigit bibirnya. Rasa bersalah dan ketakutan menyelimutinya, namun ada juga perasaan yang lebih sulit dijelaskan-perasaan terjebak dalam sebuah hubungan yang sudah berkembang lebih jauh daripada yang ia inginkan.

Di luar jendela kantor, kota Jakarta tampak sibuk, seperti biasa. Tapi bagi Reza, dunia seakan mulai berputar terlalu cepat, seiring dengan perasaan bersalah yang semakin menggerogoti jiwanya.

"Apakah aku sudah terlalu jauh?" gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Apa yang harus aku lakukan?"

Namun, di balik semua keraguan itu, ada sebuah kebenaran yang tak bisa ia sembunyikan-hubungannya dengan Maya semakin mendalam. Maya bukan sekadar wanita muda yang ia temui di sebuah acara bisnis. Maya adalah wanita yang memberinya kebahagiaan yang tak bisa ia dapatkan di rumah.

Setelah rapat selesai, Reza bergegas keluar kantor. Ia ingin segera menghindari perasaan cemas yang menggerogoti dirinya. Namun, sebelum ia sempat keluar, ia menerima panggilan telepon.

"Reza, Amara di rumah menghubungi. Dia bertanya-tanya kenapa kamu tidak bisa datang makan malam," suara di ujung telepon itu terdengar familiar. Itu adalah sekretarisnya, Indah, yang memberitahukan hal tersebut dengan nada cemas.

Reza menatap ponselnya sejenak, kemudian menatap ke luar jendela, merasa kebingungannya semakin meningkat. "Beritahu dia aku akan pulang sebentar lagi," jawabnya pelan.

"Baik, Pak."

Reza memutuskan untuk segera menuju rumah. Meskipun Amara tidak tahu apa yang terjadi, ia merasakan kekosongan yang semakin dalam. Semua ini-hubungannya dengan Maya, kebohongannya-semua mulai menekan hidupnya. Namun, ia tetap berusaha menyembunyikan semuanya di balik senyum dan janji yang tak pernah ditepati.

Saat tiba di rumah, Amara menyambutnya dengan senyum hangat. "Reza, kau akhirnya pulang. Ayo, makan malam sudah siap," katanya dengan penuh harapan.

Reza tersenyum kaku, meletakkan jasnya di kursi dan duduk di meja makan. Namun, pikirannya kembali terganggu oleh pesan yang ia terima tadi. Ia merasa semakin sulit untuk membedakan antara janji yang ia buat untuk keluarganya dan dusta yang ia semai bersama Maya.

Saat Amara duduk di sebelahnya, ia memandang suaminya dengan perhatian, meski tak ada yang bisa ia ketahui. "Reza, kamu kelihatan capek. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Amara dengan lembut.

Reza memandang Amara, merasa seolah-olah ia berada di dua dunia yang berbeda. Dunia yang penuh dengan cinta dan kenyamanan di rumahnya, dan dunia yang gelap dengan kebohongan yang ia sembunyikan.

"Aku baik-baik saja, Amara," jawab Reza, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa semua ini tidak akan bertahan lama. Sebuah rahasia yang semakin menggerogoti, dan sebuah kehidupan yang semakin sulit untuk dipertahankan.

Malam itu, suasana di meja makan terasa hangat meskipun ada ketegangan yang menggelayuti hati Reza. Amara sibuk bercerita tentang kegiatan hariannya, sementara anak-anak mereka, Fira dan Raka, masih sibuk mengunyah makanan dengan ceria. Tetapi Reza merasa seperti ada dinding tebal yang menghalangi dirinya untuk benar-benar terhubung dengan mereka.

"Reza, ada rencana untuk akhir pekan?" Amara bertanya sambil meletakkan sendoknya. "Kita belum pernah jalan-jalan keluarga dalam waktu lama. Fira sudah mulai merengek ingin ke pantai."

Reza mengangguk, tetapi pikirannya tidak di sana. Pandangannya terfokus pada piringnya, meskipun ia tidak benar-benar merasakan makanannya. "Tentu, aku... aku akan usahakan," jawabnya tanpa sepenuh hati.

Amara tersenyum bahagia, tidak menduga ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran suaminya. "Aku akan mengatur segalanya. Kita perlu sedikit waktu bersama, tanpa gangguan pekerjaan."

Reza hanya tersenyum, namun dalam hatinya, ada perasaan tertekan yang semakin menguat. Janji-janji yang ia buat kepada Amara-janji untuk lebih hadir, untuk lebih peduli-seakan semakin jauh dari dirinya. Ia ingin pergi ke pantai dengan keluarganya, tetapi ada sesuatu yang lebih menarik hatinya. Sesuatu yang membuatnya terjerumus jauh ke dalam kebohongan yang semakin sulit untuk dibendung.

Setelah makan malam, Amara mengajak anak-anak untuk bermain di ruang keluarga sementara Reza bergegas menuju ruang kerjanya di lantai atas. Ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya, tapi yang ia temui bukanlah kedamaian. Ponselnya kembali bergetar, menandakan pesan yang masuk. Tanpa ragu, ia langsung membuka pesan dari Maya.

"Aku ingin kita bertemu malam ini, Reza. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan. Jangan berpikir kamu bisa melarikan diri dariku."

Reza menatap layar ponselnya lama sekali, menimbang-nimbang. Maya selalu bisa membuatnya merasa cemas dan terbebani, tetapi juga tergoda. Keinginan untuk bertemu, untuk merasakan sensasi yang baru dan berbeda, membuatnya semakin terjebak dalam kebohongan ini.

Ia meremas ponselnya, dan suara langkah kaki Amara dari bawah membuatnya cepat-cepat menutup layar.

"Reza, kamu baik-baik saja?" Amara terdengar dari luar, memanggil dengan nada lembut. "Aku tidak mendengar suara dari kamarmu."

"Ya, sayang. Aku hanya sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan." Reza mencoba mengalihkan perhatian.

Namun, suara pintu kamar yang terbuka membuatnya tahu bahwa Amara sedang berdiri di ambang pintu. Reza menoleh dengan cepat, berusaha menyembunyikan gelisahnya.

"Jangan terlalu lembur, ya. Kesehatanmu penting," Amara menambahkan dengan senyum yang penuh perhatian, memandangnya dengan lembut.

Reza hanya mengangguk. "Iya, sayang. Aku sudah selesai. Aku akan segera tidur."

Amara tersenyum dan menutup pintu pelan. Namun, senyum itu seolah menusuk hatinya. Reza tahu bahwa Amara tidak pernah curiga, tetapi ia bisa merasakan kedekatan yang mulai pudar di antara mereka. Apa yang bisa dia katakan? Semua itu sudah terlambat.

Malam itu, setelah Reza memastikan Amara dan anak-anaknya tertidur lelap, ia keluar diam-diam. Menatap rumahnya yang tenang sejenak, ia merasa seolah-olah dunia ini terbagi dua-dunia yang aman dan penuh cinta di rumah, dan dunia lain yang tersembunyi di luar sana, tempat di mana ia merasa bebas.

Reza mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah lama ia kenal, sebuah hotel kecil di pinggir kota. Tempat pertemuannya dengan Maya. Saat mobil berhenti di depan hotel itu, jantung Reza berdegup kencang. Ia menatap pintu mobil sejenak, kemudian keluar dengan langkah cepat, memasuki lobi yang sepi.

Maya sudah menunggu di sana, mengenakan gaun hitam elegan yang membuat Reza seakan lupa pada semua yang ada di belakangnya. Begitu mereka bertemu, Maya tersenyum menggoda, dan Reza merasa seolah-olah ia hanyut dalam pesonanya lagi. Tanpa kata-kata, mereka berjalan ke kamar yang sudah dipesan untuk mereka. Begitu pintu tertutup, Maya langsung mendekat.

"Reza, kamu tidak bisa terus seperti ini. Aku tahu, kamu merasa bersalah, tapi kamu juga tahu apa yang kita miliki lebih dari sekadar hubungan biasa," kata Maya, suaranya rendah dan penuh godaan.

Reza menghela napas. "Aku tahu, Maya. Aku tahu ini salah. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."

Maya tersenyum sinis. "Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin hidup yang lebih baik, Reza. Aku ingin lebih dari sekadar menjadi rahasia di balik pintu kamar hotel ini."

Reza menatapnya, hati dan pikirannya kacau. "Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar dari ini," gumamnya, jujur pada dirinya sendiri. "Aku terjebak."

Maya mendekat, menatapnya dengan mata yang penuh hasrat dan tantangan. "Kamu harus memilih, Reza. Pilih aku atau pilih keluargamu. Jangan bilang aku sudah terlalu banyak menunggu."

Keesokan paginya, Reza kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Kegembiraan yang ia rasakan semalam seakan lenyap begitu ia membuka pintu rumah dan melihat Amara tengah sibuk mempersiapkan sarapan. Senyum Amara yang cerah dan penuh kasih hati seolah menambah rasa bersalah yang semakin menyesakkan.

Amara menoleh, senyum di wajahnya tulus. "Reza, kamu terlihat lelah sekali. Apa kamu belum tidur?"

Reza menatap istrinya, rasa bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Aku... hanya butuh sedikit waktu untuk tidur," jawabnya pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Amara menatapnya, sedikit khawatir. "Aku ingin kamu lebih banyak di rumah, sayang. Aku merasa belakangan ini kamu semakin menjauh."

Reza menahan napas, hampir tidak sanggup menatap mata Amara. "Aku akan lebih banyak di rumah, Amara. Aku janji," jawabnya, meskipun ia tahu itu adalah janji kosong. Sebuah janji yang tak pernah bisa ia tepati.

Dalam hati, Reza tahu bahwa ia berada di persimpangan jalan yang sangat sulit. Pilihannya semakin terbatas: terus hidup dalam kebohongan atau mengungkapkan semuanya dan menghancurkan apa yang telah ia bangun. Namun, dalam kebingungannya, satu hal yang ia tahu pasti-tidak ada lagi yang bisa kembali seperti semula.

Dan, apa yang paling menakutkan baginya adalah, ia tidak tahu lagi bagaimana cara keluar dari dunia yang telah ia ciptakan sendiri.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ufuk Timur

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku