Dua rekan kerja yang sudah menikah diam-diam menjalani perselingkuhan. Namun, perasaan cemburu dan posesif mengancam hubungan mereka, membuat setiap hari penuh risiko untuk diketahui pasangan masing-masing.
Ruangan itu sunyi, hanya diterangi cahaya lampu kantor yang redup. Suara ketikan keyboard memenuhi ruang, diselingi suara adukan kopi dari mesin di sudut ruangan. Semua rekan kerja sudah pulang, meninggalkan dua orang yang tampak tenggelam dalam pekerjaan.
Rina, seorang manajer pemasaran, menatap layar komputernya dengan lelah. Sudah lebih dari jam sembilan malam, namun deadline proyek minggu depan membuatnya tak bisa pulang lebih awal. Begitu juga dengan Ardi, rekannya yang duduk di meja sebelah. Rina menyadari sejak tadi Ardi sering melirik layar komputernya, seolah mengikuti pekerjaan yang tengah ia lakukan.
"Rina, kamu masih di sini juga?" suara Ardi memecah kesunyian.
Rina menoleh, sedikit terkejut, tetapi segera tersenyum. "Iya, deadline semakin dekat, jadi harus dikejar. Kamu sendiri, Ardi? Belum selesai juga?"
Ardi tertawa ringan, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku juga sama. Sepertinya kita bakal jadi penghuni malam di kantor ini."
Rina tersenyum tipis, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan ini. Selama berbulan-bulan bekerja di kantor yang sama, mereka jarang sekali berbicara di luar urusan pekerjaan. Ardi, dengan sikap serius dan profesional, selalu menjaga jarak, meskipun keduanya sering bekerjasama dalam proyek besar. Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuat Rina merasa nyaman berbicara lebih lama.
"Kalau begitu, ayo kita ambil kopi," tawar Ardi, sambil berdiri dan meraih gelasnya.
"Sepertinya ide yang bagus," jawab Rina, sedikit ragu, tetapi kemudian mengikuti Ardi ke sudut ruangan di mana mesin kopi berdiri.
Kedua rekan kerja itu berdiri berdampingan, menunggu kopi mereka. Waktu terasa melambat. Rina merasa aneh, seolah ada ketegangan di udara yang belum bisa dijelaskan. Hanya ada suara mesin kopi yang berdengung pelan.
"Rina," Ardi memulai percakapan lagi, suaranya lebih lembut kali ini. "Kamu pernah merasa, ya, kalau hidup ini berjalan terlalu cepat? Kadang kita malah lupa menikmati momen-momen kecil."
Rina menoleh ke Ardi, menatap matanya yang gelap dan tajam. Ada sesuatu yang dalam pada tatapan itu, seperti mencari jawabannya lebih dari sekadar percakapan biasa. "Maksudmu?" tanyanya, agak bingung.
Ardi tersenyum tipis. "Kadang kita terlalu sibuk dengan pekerjaan, keluarga, atau segala kewajiban. Tapi, kita jarang meluangkan waktu untuk diri sendiri. Untuk merasa hidup, bukan hanya bertahan."
Rina terdiam sejenak. Kata-kata Ardi mengingatkannya pada dirinya sendiri. Terkadang, ia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Tapi, apa hubungannya itu dengan percakapan mereka sekarang?
"Sebenarnya," Ardi melanjutkan, dengan suara sedikit lebih rendah, "aku sudah cukup lama merasa kita memiliki koneksi, Rina. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa nyaman bekerja bersamamu."
Rina terkesiap, memutar tubuhnya untuk melihat ke arah Ardi dengan lebih jelas. "Koneksi? Maksudmu dalam hal pekerjaan atau...?"
Ardi tertawa pelan, tetapi ada nada serius yang tak bisa disembunyikan. "Maksudku lebih dari itu, Rina. Meskipun kita hanya rekan kerja, aku rasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Kamu juga merasa itu, kan?"
Rina terdiam, matanya terfokus pada gelas kopinya yang hampir penuh. Dada Rina terasa sesak. Perasaannya mulai gelisah, tidak tahu harus merespons apa. Ardi adalah pria yang sangat profesional dan selalu menjaga jarak. Tidak ada yang pernah menduga bahwa dia akan berbicara seperti itu. Tetapi di satu sisi, Rina juga merasakan hal yang sama, meskipun ia enggan untuk mengakuinya.
"Ardi, jangan..." suara Rina pecah, mencoba menyembunyikan ketegangan yang muncul. "Kita berdua tahu kita sudah menikah."
Ardi menatapnya tajam, tetapi ada kelembutan dalam pandangannya. "Aku tahu, Rina. Tapi kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita saling tertarik. Mungkin itu hal yang tidak bisa kita kontrol."
Rina menatap Ardi, perasaan campur aduk menyelimuti dirinya. Cinta? Apakah ini yang disebut cinta? Tetapi bagaimana dengan suaminya? Bagaimana dengan kehidupan yang telah ia bangun selama ini? Semua pertanyaan itu menyerbu pikirannya, namun satu hal yang ia tahu pasti: percikan perasaan itu tidak bisa disembunyikan begitu saja.
"Ardi, kita tidak bisa melanjutkan ini," jawab Rina, suara lebih lemah dari yang ia harapkan. "Kita berdua tahu apa yang dipertaruhkan."
Ardi hanya mengangguk pelan, seolah memahami. Tetapi ada kilatan di matanya, sebuah harapan yang belum padam.
"Aku tahu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, Rina," Ardi menatapnya dalam, "Aku ingin kita bisa lebih dari sekadar teman kantor."
Kedua mereka saling berpandangan, sejenak merasakan ketegangan yang teramat sangat. Saat itu, Rina tahu sesuatu telah berubah di antara mereka, meskipun ia tak tahu harus ke mana arah hubungan ini. Namun, satu hal pasti: kehidupan mereka yang sudah berjalan normal ini kini tak akan pernah sama lagi.
Suasana kantor kembali sunyi setelah percakapan yang menggantung itu. Rina dan Ardi berdiri di depan mesin kopi, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Rina bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, sementara Ardi tampak lebih tenang, meskipun ada sesuatu yang tajam dalam sorot matanya.
Rina mengedarkan pandangannya ke sekitar, berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa Ardi tidak sembarangan berbicara. Pria itu selalu berhati-hati, mengutamakan profesionalisme dalam segala hal. Tapi malam itu, ada sisi lain darinya yang muncul-sisi yang lebih manusiawi, lebih rapuh, dan lebih jujur.
"Rina, aku tidak ingin kamu merasa tertekan," suara Ardi memecah keheningan. "Aku cuma ingin kita berbicara tentang ini, tentang perasaan kita. Aku rasa, jika kita tidak jujur tentang itu, akan semakin sulit."
Rina menunduk, menggigit bibir bawahnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Tapi bagaimana bisa? Mereka berdua sudah terikat dalam pernikahan. Ada suami di rumah yang menunggu, dan meskipun hubungannya terkadang terasa kering, itu bukan alasan untuk mengkhianati.
"Ardi, aku... aku sudah menikah," jawab Rina dengan suara yang sedikit bergetar, mencoba untuk tidak terperangkap dalam perasaan yang mulai membingungkan. "Kamu tahu itu. Kita... kita tidak bisa begitu saja mengabaikan itu."
Ardi mengangguk, matanya tetap menatapnya dengan intens. "Aku tahu, Rina. Aku tahu. Tapi perasaan itu datang begitu saja, dan aku tidak bisa menahannya." Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku cuma... ingin tahu apakah kamu juga merasakan hal yang sama."
Rina menutup matanya sejenak, mencoba meredam perasaan yang semakin mengguncang hatinya. Ada kegelisahan di dalam dirinya, sebuah dorongan untuk melarikan diri dari kenyataan yang begitu keras. Tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang tidak bisa ia pungkiri-sesuatu yang membuat hatinya berdebar saat Ardi dekat.
"Aku tidak tahu, Ardi..." Rina akhirnya berbicara pelan, matanya tetap terfokus pada kopi yang masih ada di tangan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan. Ini semua terlalu rumit."
Ardi mendekat sedikit, jaraknya hanya beberapa langkah dari Rina. Ia tidak menyentuhnya, tapi kedekatannya sudah cukup membuat Rina merasa cemas. "Aku tidak ingin membuatmu bingung. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku di sini. Kita bisa menghadapinya bersama, kalau kamu mau."
Rina merasakan napasnya sedikit terhenti. Kata-kata itu terdengar begitu tulus, namun di saat yang sama, itu membuatnya semakin bingung. Ia ingin melangkah mundur, ingin menutup pintu ini dan melupakan apa yang baru saja diungkapkan. Tetapi bagaimana mungkin dia bisa? Perasaan itu-perasaan yang sudah mulai tumbuh-terlalu kuat untuk diabaikan.
"Ardi..." Rina mulai berbicara, tetapi suara pintu yang terbuka dengan cepat menghentikan kalimatnya. Mereka berdua segera menoleh, panik, berharap tidak ada yang melihat. Di pintu itu berdiri Nadya, sekretaris kantor mereka yang selalu tampak ceria.
"Kok masih di sini, Rina? Ardi?" Nadya berkata sambil tersenyum, tidak menyadari ketegangan yang ada di antara mereka. "Pasti ada yang sangat penting, ya, sampai lembur segini?"
Rina dan Ardi saling pandang sekilas, sebelum Rina memaksakan senyum. "Iya, Nadya. Ada beberapa laporan yang harus diselesaikan. Kita akan selesai sebentar lagi," jawab Rina, berusaha terdengar santai.
Nadya melirik Ardi, kemudian tersenyum lebih lebar. "Aduh, kalian berdua memang pekerja keras, ya. Semoga kalian cepat selesai deh, nanti jangan sampai kebablasan."
"Ya, terima kasih, Nadya," Ardi menjawab sambil tersenyum, tetapi ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya. "Kami akan segera selesai."
Nadya kemudian pergi, meninggalkan mereka berdua dengan kecanggungan yang kembali mengisi ruang itu. Suasana terasa sepi, lebih sunyi dari sebelumnya. Rina merasa sedikit lega, tetapi juga tidak nyaman. Ada perasaan bersalah yang menggelayuti, seolah setiap detik yang ia habiskan dengan Ardi semakin membuatnya terjerat dalam hubungan yang salah.
"Kita harus berhati-hati," suara Rina akhirnya terdengar, hampir berbisik. "Ini bisa berbahaya, Ardi. Tidak hanya bagi kita, tapi juga bagi pasangan kita."
Ardi menatapnya lama, dengan tatapan yang seakan tak ingin melepaskannya. "Aku tahu, Rina. Aku tahu. Tapi kamu tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa kita merasa seperti ini, kan?"
Rina menelan ludahnya, menunduk. "Aku harus pulang," katanya pelan, berusaha menghindari tatapan Ardi. "Kita harus fokus pada pekerjaan, itu saja."
Ardi mengangguk, meskipun ekspresinya menunjukkan kekecewaan. "Iya, aku paham. Tapi... kita masih harus bicara lebih banyak tentang ini, Rina. Suatu saat nanti."
Rina hanya mengangguk, berbalik menuju meja kerjanya, mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. Malam itu, meskipun ia sudah berusaha untuk pergi, ia tahu satu hal: perasaan yang baru saja terungkap antara mereka berdua tidak akan hilang begitu saja.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya