Tak ada anak yang bisa memilih terlahir dari orang tua yang seperti apa, tapi keputusan untuk memiliki anak serta membahagiakannya ada di tangan setiap orang tua. Sayangnya Kasih tidak bisa merasakan kebahagiaan itu sejak lahir. Ia dianggap 'kecelakaan', seharusnya tak ada, tapi mau tak mau harus tetap dibesarkan. Setiap nama biasanya mengandung doa dan harapan terbaik, sebenarnya di balik nama Kasih, terselip harapan sang Ibu agar pria yang menikahinya secara sirih itu akhirnya bisa merasakan kasih sayang yang lebih besar dari keluarganya. Kenyataannya, kehadiran Kasih justru menciptakan jarak yang makin jauh, bahkan membuat mereka berpisah.
Sejak lahir aku tak pernah menemukan banyak pilihan untuk dijalani. Terlahir dari orang tua yang tidak menginginkan kehadiranku, termasuk diantaranya.
"Jangan tinggalin aku dan Kasih, Bang!" Jerit Ibuku waktu itu masih terngiang hingga hari ini.
Pertengkaran demi pertengkaran di rumah kecil kami saat itu bukanlah hal yang baru bagiku. Sudah tak terhitung lagi berapa kali mereka bertengkar, hingga akhirnya aku terbiasa dengannya.
"Salah sendiri kau melahirkan anak itu! Aku kan sudah bilang dari dulu, tidak mau punya anak darimu!"
"Tapi kenapa nanti sekarang kamu perginya, Bang? Kenapa justru saat Kasih sudah berumur tujuh tahun? Aku pikir kamu sudah menerimanya!"
"Aku memang sengaja menunggunya besar dulu! Setidaknya aku pernah membesarkan anak itu, biarpun terpaksa, tapi cukup sampai di sini. Aku rasa dia juga sudah cukup besar untuk mengerti keputusanku. Sekarang aku akan kembali pada keluargaku, jangan halangi aku!"
"Lalu bagaimana aku dengan Kasih tanpa kamu, Bang?"
"Jangan tanyakan padaku! Kau yang memilih jalan ini, Aku tidak merasa perlu bertanggungjawab pada anak yang tidak kuinginkan, tujuh tahun kurasa cukup untuk membesarkan anak itu, apa pendengaranmu juga sudah bermasalah? Baru juga aku bilang! lagian selama ini kita itu hanya menikah siri, jadi kau tidak akan pernah bisa menuntut!"
"Aku memang tidak akan menuntut, Bang ... pulanglah seperti biasa, aku juga bakal nunggu kamu seperti biasanya. Kamu akan pulang ke istri pertamamu itu, dan akan balik lima hari lagi ...."
"Kali ini tidak ada kata balik, jangan banyak berharap!"
"Tapi Bang, bukannya nikah siri pun tetap sah secara agama? Bagaimanapun kamu menolaknya, tetap saja Kasih ini darah dagingmu sendiri, tidak boleh kamu melepaskan kewajibanmu darinya, sebelum dia menikah nanti."
"Silahkan gunakan namaku padanya, tapi aku sudah tidak perduli lagi pada kalian berdua. Aku tak akan bisa lagi membohongi istriku. Mulai hari ini, aku bebaskan semua kewajibanmu sebagai istriku, aku talak tiga kau saat ini juga! Kita cerai!"
"Tidak! Aku tidak mau! Jangan pergi Bang ...."
Ayah tetap melangkahkan kakinya dengan tas ransel yang penuh dengan pakaiannya, meninggalkan Ibu yang histeris memanggil namanya dan berusaha menahan langkahnya, walau akhirnya gagal.
Dia yang ku panggil Ayah, ternyata tak pernah menganggap ku ada. Bahkan aku baru tahu, jika Ayah dan Ibuku hanya menikah secara siri, tentu saja waktu itu aku tak tahu artinya, sesuai kesepakatan keduanya, karena ia sudah memiliki istri dan anak di kota lain. Pantas saja, Ayah jarang di rumah.
"Ini semua gara-gara kamu! Seharusnya aku tidak melahirkan saat itu. Aku pikir dengan adanya kamu, bisa menahan Bang Jaya di sini selamanya, ternyata aku malah kehilangan dia!"
Aku tak akan pernah melupakan kalimat itu seumur hidupku. Ibu mengucapkannya sembari mengguncang tubuh kecilku. Aku pikir ia akan memukulku, ternyata tidak, Ibu hanya menangis histeris setelahnya, Ibuku terlihat sangat kacau, dan aku memilih menjauh darinya dengan tangisan tanpa suara.
Mengurung diri di kamar kecilku adalah hal pertama yang kulakukan, perasaan hampa dan tak dicintai itu sangat buruk, bahkan untuk anak berusia tujuh tahun, aku masih mengingatnya dengan jelas. Tentu saja, tak akan mudah menghilangkan memory buruk yang terjadi sejak kecil bukan? Setidaknya itu yang aku rasakan.
Setelah Ayah pergi, Ibu semakin jarang pulang ke rumah. Ia memilih untuk menghabiskan banyak waktu di tempat kerjanya. Saat pulang ke rumah ia enggan menegurku, lebih suka mengurung diri di kamar, dan aku akhirnya terbiasa sendiri. Sampai Ibu mengantarku ke rumah Bi Yana, satu-satunya saudara kandung Ibu.
"Kamu di sini saja, ibu akan pergi mencari Ayahmu," ucap Ibu sebelum ia pergi meninggalkanku di rumah Bi Yana, dan tak pernah kembali lagi. Setelah hari itu, aku tak tahu kabar Ibu, dan apakah ia akhirnya bertemu Ayah. Tak ada gunanya juga aku tahu soal itu, tak akan merubah apa pun pada hidupku.
Akhirnya aku menjalani masa kecilku hingga besar di rumah Bibi Yana dan Paman Darto, yang hidupnya agak lebih baik dari Ibu, namun beban mereka cukup berat dengan dua orang anak yang masih kecil dan pendapatan yang pas-pasan.
Ibu mungkin sedikit membenciku karena tak bisa menahan Ayah di sisinya, tapi setidaknya ia tetap menitipkan aku di sini, bukan di tempat asing, dan tidak dengan tangan kosong.
"Aku akan ke kota Mbak, tolong titip Kasih di sini ya ... aku tidak mungkin ajak dia," kata Ibu dengan suara pelan. Aku yang masih kecil hanya mendengar saja apa yang mereka bicarakan. Lagi-lagi semua percakapan Ibu dan Bibi hari itu, masih aku ingat sampai hari ini.
"Bukannya aku menolak, tapi kamu tahu sendiri ekonomi kami seperti apa Yen, dan membiayai dua anak saja, aku dan Bang Darto kesulitan, apalagi harus nambah satu ... kamu ngerti kan, maksud Mbak?
"Aku sangat paham dengan kondisi kalian, karena itu, aku menitipkan Kasih di sini, dengan semua perhiasan yang aku miliki ini, tolong pergunakan sesuai kebutuhan Kasih, jika pun Mbak butuh silahkan, asal bisa digunakan dengan bijak." Ibu mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah yang cukup besar dan sangat cantik.
"Ini satu-satunya barang berharga milikku, bisa kan Mbak gunakan ini untuk keperluan Kasih?"
Bibi membuka kotak itu menghadapnya cukup lama, aku melihatnya dengan jelas, senyum itu ... ya, aku rasa Bibi senang dengan isi dari kotak itu, tapi itu hanya sesaat, setelah itu wajahnya kembali datar, dan meletakkan kotak itu pelan-pelan di depan kami.
"Baiklah jika kamu memaksa. Berapa lama kamu ke kota? Aku tidak bisa jamin semua perhiasan ini akan bisa menanggung hidup Kasih sampai dewasa, kamu pasti tau itu kan?"
"Aku tidak bisa pastikan Mbak, tapi nanti aku akan tetap mengabari Mbak, dan silahkan hubungi aku jika semua sudah habis, aku akan berusaha untuk mengirimkan uang pada Mbak."
Begitulah awalnya sampai aku terjebak di tempat yang sekali lagi, tidak benar-benar menginginkanku, namun aku sudah terbiasa. Setidaknya aku punya tempat untuk tidur dan makan, tidak peduli seburuk apa makanannya, atau harus kelelahan karena bekerja. Tak ada bedanya bagiku. Tinggal bersama Ibu pun aku melakukan hal yang sama.
Oh iya, soal perhiasan itu? Aku tak pernah tahu bagaimana nasibnya, wujudnya saja aku tak pernah melihat. Semuanya diatur oleh Bibi. Jika tahun pertama tinggal dengan mereka aku merasa nyaman, terlebih di tahun yang sama aku mulai masuk sekolah, semua berjalan dengan lancar. Di tahun kedua hingga hari ini, aku mulai belajar untuk benar-benar menjalani hidup dengan kedua tangan dan kakiku sendiri.
Bab 1 Prolog
17/10/2024
Bab 2 Seragam Bekas
17/10/2024
Bab 3 Tugas Kasih
17/10/2024
Bab 4 Makan di Restoran
17/10/2024
Bab 5 Tak Sengaja
17/10/2024
Bab 6 Belanja
17/10/2024
Bab 7 Melawan
17/10/2024
Bab 8 Perubahan Bibi
17/10/2024
Bab 9 Bibi Berubah, Ririn Berulah
18/10/2024
Bab 10 Ririn Cari Masalah
18/10/2024
Bab 11 Bibi Berubah Lagi
18/10/2024
Bab 12 Ririn Kalem Karena Pete
18/10/2024
Bab 13 Minggu yang Tenang
19/10/2024
Bab 14 Informasi dari Kak Risa
25/10/2024
Bab 15 Kunjungan Kak Ajeng
27/10/2024
Bab 16 Pemberian Bibi
27/10/2024
Bab 17 Menelpon Kak Ajeng
27/10/2024
Bab 18 Cerita Kak Ajeng
27/10/2024
Bab 19 Para Sahabat
27/10/2024
Bab 20 Fitnah Kak Risa
27/10/2024
Bab 21 Tamu Kak Risa
27/10/2024
Bab 22 Perdebatan
04/11/2024
Bab 23 Tugas Sekolah
13/11/2024
Bab 24 Diusir
13/11/2024