Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
123
Penayangan
34
Bab

Pertemuan tak terduga dengan Nismara membuat Arjuna tidak mau lagi pergi ke kebun binatang karena takut Abimanyu Nandana, anaknya akan diculik lagi oleh Nismara. Tapi, Nismara yang dituduh oleh Arjuna sebagai penculik ternyata adalah seorang guru TK di sekolah baru anaknya. Kira-kira perselisihan di antara mereka berdua akan terus berlanjut atau tidak, ya?

Bab 1 Penculik

Kebun Binatang Kota itu banyak dikunjungi orang-orang terutama anak di bawah umur yang masih duduk di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Baik dari dalam dan luar daerah semua datang untuk melihat binatang yang jarang mereka temui.

Di dalam keramaian itu, ada satu orang, lebih tepatnya seorang anak kecil berumur kurang lebih lima tahun sedang berjongkok di bawah papan ensiklopedia raksasa sambil menangis terisak-isak.

Beberapa orang mulai mendatangi anak kecil tersebut, niatnya untuk menenangkan. Mereka pikir, anak kecil tersebut takut dengan kandang hewan yang berada di belakangnya, yakni kandang koala. Tetapi, ketika mereka mencoba menenangkan, anak kecil itu malah menangis histeris dan bersembunyi di balik tiang papan. Mereka pun bingung harus berbuat seperti apa karena anak kecil tersebut sulit untuk didekati. Dengan hati tak tega, mereka dengan terpaksa meninggalkan anak kecil tersebut sendirian.

Anak kecil itu mendongak. Ia menatap lurus ke arah seorang perempuan yang memakai pakaian olahraga dan tengah memegang dua bungkus permen kapas berukuran cukup besar.

"Mama!!!" Anak kecil itu berlari ke arah perempuan itu. Ia langsung memeluk kakinya dan mulai menangis kencang, bahkan seperti menjerit.

"Eh?!!" Jelas saja perempuan itu kaget bukan main ketika ada anak kecil yang tidak dikenal menangis kepadanya.

"Kamu kenapa?" Perempuan itu berjongkok dan menatap wajah anak itu.

Bukannya tenang, anak itu tangisannya malah makin menjadi.

"Jadi anak ini anak Mbak, ya? Aduh, Mbak, kalau punya anak tuh diurus, dong. Dijaga baik-baik, kalau ilang baru tahu rasa. Syukur-syukur anaknya nggak diculik." Seorang ibu-ibu yang tadi menenangkan anak itu malah mencibir si perempuan asing yang tidak tahu apa-apa.

Salah anak kecil itu juga malah memanggil perempuan itu dengan sebutan mama.

"Dasar anak muda jaman sekarang, akibat nikah muda anak malah ditelantarkan gara-gara ngerasa gak bebas. Kalau gak mau punya anak duluan mending pakai program keluarga berencana aja, biar punya persiapan buat jadi orang tua. Atau jangan-jangan Mbak korban hamil di luar nikah, ya? Sekiranya gak mau ngurus anak jangan bikin dulu. Heran. Untung anak-anak saya nggak kayak Mbak."

Aduh, itu mulut si ibu mesinnya belum diservis, makanya filter rem gak berfungsi, jadi blong deh.

Perempuan muda itu meringis. Siapa pun yang mendengar perkataan tajam ibu-ibu itu pasti akan kegerahan seketika. Daripada menyiram api dengan bensin, lebih baik menyiram api dengan air meskipun ibu-ibu menganggap perempuan itu mengaku kalah.

"Jangan nangis, ya? Sini Ibu bawa kamu ke tempat kelinci yang lucu." Perempuan itu menggendong anak kecil tersebut sambil meninggalkan ibu-ibu yang masih belum berhenti mengomel.

"Mbak, omongan ibu-ibu itu jangan didengerin, maklum lah orang tua yang pikirannya kolot emang suka gitu. Ibu-ibu itu tipe mertua jahat yang sering ada di sinetron-sinetron tivi. Kalau ditawarin main sinetron kayaknya ibu itu gak perlu di-casting dulu. Begitu lihat wajahnya sutradara langsung rekrut." Seorang perempuan yang umurnya tidak jauh beda dari perempuan yang tadi dimarahi oleh ibu-ibu itu mengeluarkan unek-uneknya. Tadi ia sempat melihat perempuan tersebut bersama rombongan anak-anak TK, jadi ia tahu kalau anak kecil tersebut bukanlah anak perempuan itu.

"Iya, ya. Dari wajahnya aja keliatan judes," timpal perempuan itu. "Saya permisi dulu, Mbak. Mau cari orang tua anak ini."

Perempuan itu mendudukkan anak kecil itu di kursi panjang dekat dengan kandang kelinci. "Adek yang ganteng, siapa namanya?"

"Pengen itu." Bukannya menjawab, anak kecil itu malah menunjuk permen kapas yang berada di tangan si perempuan.

"Ibu mau ngasih kamu permen kapas ini kalau kamu jawab dulu pertanyaan ibu."

"A...bi...bi...man...yu."

"Hah? Apa? Nggak kedengaran."

Anak kecil itu mengembuskan napas. "Nama aku Abimanyu Nandana. Tapi orang-orang sering panggil aku Nanda."

"Oh... Nanda." Perempuan itu memberikan satu bungkus permen kapasnya. "Kalau nama ibu Nismara Prisa."

"Ibu? Emang Kakak guru, ya?"

Nismara diam sejenak. "Emmm... bisa dibilang begitu. Kamu juga boleh kok panggil kakak dengan sebutan ibu."

"Iya, Bu Nis."

Nismara tersenyum ketika Nanda menyebut nama dengan nama kecilnya.

"Tadi kamu kenapa nangis, Sayang?"

"Aku kabur dari Papa yang nggak mau beliin es krim. Pas aku lari kirain Papa ngejar, tahunya nggak dan aku tersesat. Aku takut sama jerapah yang mau makan rambut aku. Aku lari terus deh sampai di sini. Aku makin takut karena Papa nggak ada dan nggak ada orang yang aku kenal."

"Sekarang Nanda nggak perlu takut. Ada Ibu di sini. Kalau Nanda mau, Nanda boleh, kok, gabung sama anak-anak ibu yang lain. Jadi Nanda ada temennya."

"Gendooong!" Nanda berucap dengan manja sambil merentangkan tangannya.

Saat Nismara akan menggendong Nanda, tiba-tiba ada seorang pria yang menarik Nanda ke dalam gendongannya.

"Kamu mau apa? Mau culik anak saya, ya?"

Nismara bingung. Tetapi kemudian ia tersadar. "Oh... jadi Bapak ini ayahnya Nanda?"

"Abimanyu! Kan udah Papa bilang kamu jangan makan yang manis-manis, nanti gigi kamu sakit lagi. Bandel banget jadi anak!"

Mata Nanda berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan suara tangisan yang hendak meledak.

"Lho, Pak, kalau negur anak jangan dimarahi seperti itu. Kasihan, nanti psikis dia bisa keganggu."

"Kamu penculik tahu apa, hah?! Jangan sok menggurui saya. Dan apa lagi, kamu malah ngasih tahu nama kamu sama orang asing! Dia itu penculik, tahu! Kamu jangan sembarangan makan pemberian dari orang lain." Ayahnya Nanda membuang sembarangan permen kapas yang mulai menciut karena terkena angin.

"Pak, jangan buang sampah sembarang, dong. Lagipula saya bukan penculik."

"Mana ada penculik ngaku! Kamu mau culik anak saya karena butuh uang? Emang kamu butuh uang berapa? Sini, saya kasih."

Nismara mengerutkan kening ketika melihat ayahnya Nanda menyodorkan uang sebesar lima puluh ribu rupiah.

"Saya nggak butuh uang Anda, karena saja juga bekerja tetapi bukan berprofesi sebagai penculik. Dasar otak dengkul! Kalau lihat orang itu jangan pake uang, pake mata biar kelihatan. Kalau kurang jelas pake tetes mata biar nggak rabun." Nismara memungut bungkus permen kapas. Ia berlalu pergi meninggalkan ayah dan anak itu.

Nanda berteriak memanggil Nismara sambil menangis membuat orang-orang yang ada di sana menatap mereka seperti yang sedang bermain sinetron.

"Papa jahat! Papa jahat!" Nanda memukul-mukul bahu ayahnya supaya ia bisa terlepas dan mengejar Nismara.

"Diam! Jangan cengeng! Anak cowok kok nangis. Kamu nggak malu apa diliatin sama orang-orang?"

"Papa jahat!!!"

Karena Nanda makin berontak, pada akhirnya ayahnya membawa Nanda pulang dari kebun binatang itu. Untung saja ayahnya Nanda mengunakan masker, jadi ia tidak terlalu malu orang-orang melihat wajahnya, dan orang-orang tidak akan mengenalinya.

Ayahnya Nanda berjanji tidak akan datang ke tempat kebun binatang itu lagi dan akan mencari kebun binatang yang lain yang lebih aman dari para penculik yang berpura-pura sebagai pengunjung. Selain itu, karena sebenarnya ia malu pada para petugas kebun binatang. Kalau mereka berdua pergi mengunjungi ke sana lagi, para petugas kebun binatang pasti diam-diam akan membicarakan mereka berdua. Image ayahnya Nanda sudah jelek duluan gara-gara ulah dirinya sendiri yang emosian.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku