Ketika seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh dengan sahabat terdekatnya, ia merencanakan balas dendam yang rumit. Namun, rencananya justru membawa lebih banyak luka daripada keadilan yang ia harapkan.
Maya duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah lama dingin. Pagi itu, hujan turun rintik-rintik, seolah mencerminkan suasana hati yang mendalam. Pikirannya berputar-putar, mencoba mengingat detail kecil yang terasa tidak biasa dalam beberapa minggu terakhir.
Adit, suaminya, selalu pulang larut malam. Sibuk dengan pekerjaan di kantor, katanya. Tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Maya merasa terabaikan, seolah-olah suaminya yang dulu penuh perhatian itu mulai menjauh.
Pagi itu, Maya memutuskan untuk membersihkan ruang kerja Adit yang biasanya berantakan. Tidak ada yang istimewa, hanya tumpukan kertas, beberapa buku yang tidak pernah dibaca, dan laptop yang tampaknya sudah lama tidak digunakan. Namun, di antara tumpukan kertas, sebuah amplop mencuri perhatiannya. Amplop itu terlihat biasa saja, tidak ada nama atau alamat yang tercetak di luar. Maya penasaran, membuka amplop itu tanpa berpikir panjang.
Isinya hanya sebuah foto.
Maya mengangkat foto itu dengan tangan gemetar. Di dalam foto tersebut, Adit dan Lina, sahabat terdekatnya, terlihat mesra di sebuah restoran. Mereka tersenyum satu sama lain, seolah dunia hanya milik mereka. Di atas meja, ada dua gelas anggur merah, dan tangan Adit tampak berada di punggung Lina. Semua yang ada di dalam foto itu seperti berteriak, membantah apa yang selama ini Maya percayai tentang hubungan mereka.
Jantung Maya berdetak kencang, rasa panas menjalar ke wajahnya. Ini bukanlah kebetulan. Foto ini jelas bukan untuknya. Suaminya dan sahabatnya-dua orang yang ia percayai-telah melanggar batas.
"Ini... tidak mungkin," bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar.
Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia mencoba mengingat kembali wajah Adit yang selalu ia temui pulang setelah kerja. Ia memikirkan semua waktu yang telah mereka lewati bersama. Bagaimana bisa Adit menyembunyikan sesuatu yang sebesar ini darinya?
Teleponnya bergetar di meja. Nama "Adit" muncul di layar. Maya menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ia mengangkat telepon itu dengan tangan yang masih sedikit gemetar.
"Ada apa, sayang?" suara Adit terdengar hangat di seberang, tapi Maya tahu bahwa suara itu hanya sebuah topeng.
Maya menundukkan kepala, berusaha menahan isak tangis yang hampir pecah. "Adit, aku... aku menemukan sesuatu yang tidak seharusnya aku temukan," jawabnya dengan suara yang terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.
"Apa maksudmu?" Adit terdengar bingung, mungkin sedikit khawatir dengan nada suaranya.
Maya tidak menjawab langsung. Dia memandangi foto yang kini tergeletak di meja. Lina, sahabat yang selama ini selalu ada dalam kehidupan mereka, kini menjadi sosok yang sangat asing bagi Maya.
"Kau dan Lina... kalian..." Maya berhenti, susah untuk melanjutkan kalimat itu.
"Apa? Apa yang kamu maksud?" Adit mulai terdengar lebih gelisah, dan Maya bisa merasakan ketegangan dalam suaranya.
Maya menatap foto itu sekali lagi, dan kemudian perlahan berkata, "Kalian... berdua sudah terlalu jauh, Adit."
Ada keheningan panjang di ujung telepon. Maya bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia menunggu jawaban dari Adit, tapi suaminya tidak segera menjawab. Yang ada hanya suara napasnya yang terdengar berat.
"Apa... apa maksudmu?" akhirnya Adit berkata dengan suara pelan, hampir seperti orang yang takut untuk menghadapinya.
"Aku menemukan foto kalian, Adit," jawab Maya, suara hatinya mulai pecah, namun ia berusaha tetap tenang. "Aku tahu semuanya."
Sejenak, Maya mendengar Adit terdiam. Tak ada suara apapun, hanya hening yang terasa mencekam.
Maya menghela napas panjang, merasa tak tahu harus berkata apa lagi. Semua kata yang berputar di kepalanya terasa tak cukup untuk menggambarkan luka yang sedang ia rasakan.
"Adit... ini bukan hanya tentang perselingkuhan ini. Ini tentang kepercayaan yang telah hancur... tentang apa yang kita punya, yang aku pikir masih ada di antara kita," kata Maya, perlahan menahan air mata yang hampir keluar.
Di seberang sana, Adit akhirnya berbicara, suaranya lebih rendah, penuh penyesalan. "Maya, aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku minta maaf. Aku... aku khilaf."
Tapi kata-kata itu terasa hampa di telinga Maya. Permintaan maaf tak akan mengembalikan waktu mereka yang telah hilang. Tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit ini.
"Cukup, Adit," Maya berkata dengan tegas, walau hatinya merasa hancur. "Kita tidak perlu berbicara lagi. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya."
Maya menutup telepon itu tanpa menunggu jawabannya lagi. Ia meletakkan ponselnya di meja dan kembali menatap foto yang masih tergeletak di depannya. Bayangan Adit dan Lina yang tampak bahagia dalam foto itu semakin membuat hatinya tercekat.
Maya tahu satu hal dengan pasti. Tidak ada yang akan sama lagi setelah hari ini.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Maya mengangkatnya, meskipun ia sudah tahu siapa yang menelepon. Nama "Adit" kembali tertera di layar. Ia menatapnya sejenak sebelum memutuskan untuk mengabaikannya. Ia tidak bisa berbicara dengannya lagi. Tidak sekarang. Maya merasa seolah ada dinding besar yang tiba-tiba terbentuk di antara mereka.
Ia beranjak dari meja makan dan berjalan menuju jendela, menarik tirai untuk mengamati hujan di luar. Setiap tetesan yang jatuh seperti menciptakan kesunyian dalam pikirannya. Entah sudah berapa lama hujan turun, Maya tidak tahu. Hanya ada hening dan rasa bingung yang menggantung dalam dirinya.
Lina. Sahabatnya yang telah begitu banyak berbagi cerita dan tawa. Selama bertahun-tahun, Maya menganggap Lina adalah teman yang tak tergantikan-teman yang selalu ada di saat suka dan duka. Tapi, kini, semuanya terasa seperti kebohongan yang dibangun di atas dasar kepercayaan yang rapuh.
Suara pintu belakang yang terbuka membuat Maya terkejut. Ia menoleh dan melihat Adit masuk ke rumah, basah kuyup oleh hujan. Ia mengerutkan kening, namun tak mengatakan apa-apa. Adit menghapus air di wajahnya dengan tangan, lalu melihat ke arah Maya, yang berdiri diam di dekat jendela.
"Maya..." Adit mulai, suaranya terdengar lelah, tetapi juga ada nada khawatir. "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku? Aku butuh berbicara denganmu."
Maya menatapnya dengan tatapan kosong. Ia tahu Adit ingin berbicara, tapi kata-kata itu terasa sia-sia. Semua yang ia inginkan sekarang adalah kenyamanan yang tidak bisa lagi ia temukan di antara mereka.
"Aku sudah mendengarnya, Adit. Aku tahu semuanya," jawab Maya dengan tenang, meski hatinya terpekik sakit. "Jadi, tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi."
Adit terdiam sejenak, seolah kata-kata Maya membuatnya terhenti, terperangkap dalam kebohongan yang telah ia bangun. Ia berjalan mendekat, hendak meraih tangan Maya, namun Maya menarik tangannya.
"Maya, aku tahu aku telah salah. Aku benar-benar menyesal..." Adit berusaha berkata, namun Maya menahannya dengan tatapan yang lebih tajam dari apapun yang bisa diucapkannya.
"Menyesal? Kamu menyesal?" Maya tertawa pahit. "Kamu menyesal karena aku menemukan semuanya, Adit. Apa kamu pikir dengan meminta maaf begitu saja, semuanya akan baik-baik saja?"
Adit terdiam, matanya tampak mulai berkaca-kaca. Namun Maya tidak ingin melihatnya. Ia sudah terlalu lama menatap air mata yang kosong dari orang yang sama.
"Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi, Maya. Aku tidak bisa menjelaskan mengapa aku melakukan itu," suara Adit mulai bergetar. "Lina... dia... bukan yang kamu pikirkan. Kami hanya... itu tidak seperti yang kamu lihat."
"Jangan, Adit," Maya memotong. "Jangan coba berdalih. Aku sudah melihat semuanya. Aku melihat foto kalian. Aku tahu apa yang terjadi. Kalian... kalian selingkuh, Adit. Dan aku tidak tahu lagi apa yang harus aku percayai."
Adit menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. "Aku... aku sangat menyesal, Maya. Aku akan mengakhiri semuanya. Lina, dia... kami hanya... aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidupku. Aku salah besar."
Maya menggelengkan kepala. "Kamu sudah membuat pilihan, Adit. Dan aku sudah membuat pilihan juga. Aku tidak bisa terus hidup dengan orang yang sudah menghancurkan kepercayaanku. Aku tidak tahu siapa lagi yang harus aku percayai sekarang."
Adit berdiri di sana, bingung dan semakin terpuruk. Maya bisa melihat ekspresinya yang kacau, tapi ia tidak bisa merasa kasihan. Ia sudah terlalu terluka. Waktu mereka telah berakhir, meskipun tidak ada kata yang bisa mengungkapkan betapa sulitnya perasaan itu.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Maya..." kata Adit dengan suara hampir putus asa.
"Aku juga tidak tahu," jawab Maya dengan suara yang lebih datar dari sebelumnya. "Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak bisa tinggal di sini, bersama orang yang sudah menghancurkan hidupku."
Adit tampak terkejut, seolah ia baru mendengar kata-kata itu untuk pertama kali. Maya merasa hatinya hampir kosong, seperti ada lubang besar yang menganga, tapi ia tahu bahwa keputusannya sudah tepat.
"Jadi, kamu ingin kita berakhir di sini?" tanya Adit, suaranya hampir tidak terdengar.
Maya mengangguk pelan. "Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, Adit. Tapi aku rasa kita sudah selesai. Aku butuh waktu. Aku butuh ruang. Untuk menemukan diriku kembali."
Dengan langkah yang terasa berat, Adit menundukkan kepala dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia berbalik satu kali, memandang Maya dengan mata penuh penyesalan. "Aku minta maaf, Maya. Semoga suatu hari kamu bisa memaafkanku."
Maya hanya mengangguk, meskipun hatinya merasa kosong. Begitu Adit keluar, ia menutup pintu dengan suara pelan. Ia berdiri diam, mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.
Maya tahu bahwa ini adalah awal dari segalanya-awal dari luka yang tak terobati dan bayangan yang akan menghantui kehidupannya untuk waktu yang lama.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya