Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
LUKA DI ANTARA KITA

LUKA DI ANTARA KITA

eryede

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang istri yang selalu setia menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Saat kebenaran terungkap, ia harus memutuskan apakah akan memperjuangkan pernikahannya atau melepaskan semuanya.

Bab 1 Awal yang Tenang

Pagi itu, mentari menyelinap lembut melalui celah tirai kamar Alya dan Raka. Suara burung-burung berkicau di luar, menandai dimulainya hari yang tampaknya akan berjalan seperti biasanya-tenang, damai, dan penuh rutinitas. Alya bangun lebih awal, seperti biasa. Ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan, sebuah kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan selama hampir sepuluh tahun pernikahannya dengan Raka.

Raka adalah pria yang selalu bisa diandalkan. Pekerjaannya sebagai manajer di perusahaan besar sering membuatnya sibuk, tetapi ia selalu pulang tepat waktu untuk makan malam bersama Alya. Mereka berbicara tentang hari mereka, tertawa, dan berbagi cerita layaknya pasangan yang sudah saling mengerti. Bagi orang lain, pernikahan mereka terlihat sempurna-mungkin terlalu sempurna.

Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang mengganjal di hati Alya. Mungkin itu hanya perasaan yang lewat, atau mungkin sekadar rasa lelah setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan pernikahan. Tapi, ada hal lain yang lebih sulit ia abaikan. Dina, sahabat dekatnya, mulai muncul terlalu sering dalam kehidupan mereka. Dina dan Alya sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum Alya bertemu Raka. Mereka selalu berbagi segalanya, dari kisah cinta pertama hingga masalah-masalah kecil dalam kehidupan. Tapi belakangan ini, kehadiran Dina terasa berbeda.

Dina semakin sering mampir ke rumah, tanpa alasan yang jelas. Kadang ia datang saat Raka baru pulang kerja, atau malah mengirim pesan saat Alya sedang sibuk di dapur. Awalnya, Alya tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Dina selalu menjadi sahabat yang perhatian, selalu ada saat ia butuh dukungan. Tapi ada sesuatu yang terasa salah-entah kenapa, Alya merasa Dina lebih tertarik dengan apa yang terjadi di antara dirinya dan Raka.

"Aku tadi ketemu Raka di kantor," kata Dina suatu sore saat mereka berdua sedang minum teh di teras rumah. "Dia tampak sibuk banget, ya? Tapi tetap kelihatan keren seperti biasa."

Alya hanya tersenyum tipis. Ia tahu Dina sering bertemu Raka di kantor karena mereka bekerja di gedung yang sama, meskipun di divisi yang berbeda. Tapi cara Dina menyebutkan nama Raka belakangan ini terdengar agak aneh di telinga Alya, seperti ada keintiman yang tak seharusnya ada.

"Ya, dia memang lagi banyak kerjaan," jawab Alya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang perlahan muncul di hatinya.

Namun, perasaan itu semakin hari semakin sulit untuk ditepis. Alya mulai memperhatikan hal-hal kecil. Cara Dina tersenyum pada Raka, atau bagaimana pandangan mata mereka kadang-kadang bertemu dalam momen yang terasa canggung. Alya berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya ada di kepalanya, bahwa ia terlalu memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Dina adalah sahabatnya. Raka adalah suaminya yang setia. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

Tapi, ada sesuatu dalam cara Raka bicara tentang Dina yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Suatu malam, ketika mereka sedang berbaring di tempat tidur, Alya mencoba menyinggung topik itu secara halus.

"Tadi siang Dina ke rumah lagi. Dia bilang ketemu kamu di kantor?" tanya Alya, suaranya terdengar datar.

"Oh iya, kami kebetulan ketemu di kantin. Ngobrol sebentar aja," jawab Raka, tanpa terlihat terganggu. "Kenapa tanya?"

"Nggak, cuma nanya aja," jawab Alya cepat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Raka tersenyum, lalu menatapnya dengan penuh cinta. "Jangan terlalu banyak mikir yang nggak-nggak, ya? Dina kan sahabatmu, nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Alya mengangguk, tapi perasaannya tak juga tenang. Ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, dan meskipun ia tak bisa menjelaskannya, Alya tahu bahwa ketenangan yang selama ini melingkupi pernikahan mereka mulai terusik.

Setiap senyuman, setiap tawa, dan setiap kata-kata manis yang keluar dari mulut Raka terasa seperti lapisan tipis yang menutupi sesuatu yang lebih gelap di baliknya. Alya ingin mempercayainya-mempercayai bahwa semua ini hanyalah perasaannya yang terlalu sensitif. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebenaran akan segera terungkap, dan ketika itu terjadi, hidupnya mungkin tak akan pernah sama lagi.

Di bawah langit sore yang mulai memerah, Alya menatap ke luar jendela, merenungi apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Pernikahan yang dulu ia anggap sempurna perlahan-lahan berubah, dan ia tak tahu apakah ia siap menghadapi apa yang mungkin terjadi di depan.

Alya berusaha mengalihkan pikirannya dengan rutinitas harian. Pagi ini, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan untuk Raka. Pancake kesukaan suaminya tersaji rapi di meja, lengkap dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Tapi, ada yang berbeda dari pagi ini-Raka terlihat lebih diam dari biasanya, lebih sibuk dengan ponselnya.

"Sudah ada rapat pagi ini?" tanya Alya, mencoba membuka percakapan. Ia duduk di seberang Raka dan memperhatikan suaminya yang terus-menerus menatap layar.

"Hm? Oh, iya. Ada beberapa yang harus aku selesaikan," jawab Raka sambil meminum kopi tanpa benar-benar menatap Alya. "Hari ini mungkin aku pulang agak telat."

Alya mengangguk pelan. Rasa canggung menyelubungi mereka berdua, sesuatu yang jarang sekali terjadi. Biasanya, pagi mereka selalu penuh dengan obrolan ringan tentang pekerjaan, teman-teman, atau rencana liburan. Tapi kali ini, keheningan yang aneh memenuhi ruangan.

Selesai sarapan, Raka beranjak dari meja, mencium kening Alya sekilas seperti biasa sebelum berangkat kerja. Namun, Alya bisa merasakan sesuatu dalam ciuman itu terasa berbeda. Dingin, tanpa kehangatan seperti dulu. Setelah pintu tertutup dan suara mesin mobil Raka menghilang di kejauhan, Alya terdiam di meja makan.

Pikirannya terus berputar pada percakapan singkat tadi. Ia mulai bertanya-tanya apakah semua ini hanya ketakutannya yang berlebihan, ataukah memang ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suaminya. Tatapan dingin, jarak yang semakin terasa, dan kehadiran Dina yang tak pernah jauh dari pikiran Alya.

"Apa aku sudah kehilangan dia?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Alya mencoba mengenyahkan pikiran negatif itu dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan rumah. Tetapi, perasaan ganjil itu terus menghantuinya. Setiap detik terasa lambat, dan tiap detak jam di dinding mengingatkannya bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi, bahkan jika ia belum tahu persis apa itu.

Siang hari, telepon dari Dina mengejutkannya. Alya menatap layar ponselnya sejenak sebelum mengangkatnya. Ada perasaan tak nyaman yang menggelayut di dadanya, tapi ia berusaha terdengar biasa.

"Hai, Al! Lagi sibuk nggak?" tanya Dina dengan suara ceria seperti biasanya.

Alya memaksakan diri tersenyum meskipun Dina tak bisa melihatnya. "Nggak juga. Ada apa?"

"Eh, aku cuma mau ngajak makan siang. Gimana? Udah lama kita nggak makan bareng, kan?" ajak Dina dengan nada yang selalu terdengar hangat.

Biasanya Alya akan dengan senang hati menerima ajakan itu, tapi kali ini ada keraguan yang tak bisa ia abaikan. Berada di dekat Dina akhir-akhir ini selalu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Tapi, di sisi lain, Alya ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi, apa yang membuatnya merasa seperti ini.

"Oke, kita ketemu di tempat biasa aja, ya," jawab Alya akhirnya.

Setelah menutup telepon, Alya merasa semakin gelisah. Ia tahu bahwa pertemuan dengan Dina kali ini akan berbeda. Mungkin tidak secara langsung, tapi ada sesuatu yang ingin ia temukan, sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman Dina yang selama ini ia kenal.

Siang itu, Alya tiba di restoran yang sering mereka datangi. Dina sudah menunggu di meja dengan wajah ceria. Seperti biasa, sahabatnya itu terlihat menawan, dengan senyum yang membuat siapa pun nyaman. Tapi bagi Alya, senyuman itu sekarang terasa seperti misteri yang perlu dipecahkan.

"Kamu lagi sibuk apa sekarang?" tanya Dina begitu Alya duduk.

"Seperti biasa, ngurus rumah," jawab Alya sambil tersenyum tipis.

Obrolan pun mengalir ringan, seakan tak ada yang berubah. Mereka tertawa, bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup masing-masing. Tetapi, sepanjang percakapan, Alya tak bisa lepas dari perasaan bahwa ada sesuatu yang Dina sembunyikan. Ada ketidaktulusan dalam cara Dina tertawa, dan Alya semakin yakin bahwa perasaannya selama ini bukan sekadar paranoia.

"Alya..." suara Dina tiba-tiba berubah serius, membuat Alya sedikit kaget.

"Hm? Kenapa?" tanya Alya, berusaha tetap tenang.

"Aku cuma mau bilang, kamu beruntung punya suami seperti Raka," kata Dina, menatap Alya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. "Dia pria yang luar biasa."

Perasaan ganjil dalam hati Alya semakin kuat. Cara Dina mengatakan itu, seolah-olah ada makna lain di balik kata-katanya. Alya menatap sahabatnya itu, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Ya, aku tahu," jawab Alya pelan, senyum di bibirnya mulai memudar.

Dalam hati, Alya bertanya-tanya-apakah Raka masih sepenuhnya miliknya, ataukah ia sudah kehilangan dia tanpa ia sadari?

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh eryede

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku