Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
LANGIT SENJA DAN JANJI KITA

LANGIT SENJA DAN JANJI KITA

eryede

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Dua siswa yang dulu sahabat sejak kecil, namun menjauh karena waktu, dipertemukan kembali dalam sebuah proyek sekolah. Mereka mulai mengingat janji-janji yang pernah mereka buat di bawah langit senja dan perasaan yang tak pernah hilang.

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga

Hari itu, cuaca di sekolah terasa sama seperti biasanya, namun bagi Luna, ada sesuatu yang berbeda. Angin sore menghembus lembut, menggoyangkan rambutnya ketika ia melangkah masuk ke ruang kelas, di mana ia dan beberapa siswa lain berkumpul untuk sebuah proyek sekolah. Papan tulis di depan ruangan dipenuhi dengan tulisan besar: *Proyek Kelompok: Pameran Sejarah Lokal.*

Luna menatap sekeliling ruangan, matanya menyisir wajah-wajah yang tak asing baginya, hingga akhirnya pandangannya terhenti pada satu sosok yang tak pernah ia duga akan dilihat lagi.

Raka.

Ia duduk di sudut ruangan, sibuk dengan buku catatannya, tampak tidak terlalu tertarik dengan suasana sekitarnya. Luna terdiam sejenak. Seolah waktu berhenti, ingatan masa kecilnya melintas begitu cepat, membawa kembali kenangan tentang seorang anak laki-laki yang dulu sangat dekat dengannya. Mereka dulu tidak terpisahkan. Setiap hari selepas sekolah, mereka akan berlarian di taman dekat rumah, membuat janji-janji kekanak-kanakan di bawah langit senja yang indah. Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan membawa mereka ke arah yang berbeda. Tanpa peringatan, persahabatan itu perlahan memudar.

Luna tidak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa Raka menjauh. Mereka berdua bersekolah di tempat yang sama, namun bertahun-tahun tidak pernah berinteraksi. Dan sekarang, di sinilah mereka, dipertemukan kembali dalam sebuah proyek yang sama.

Guru mereka, Pak Arif, mulai membagi kelompok, dan dengan keberuntungan yang aneh, Luna dan Raka ditempatkan dalam kelompok yang sama. "Luna, Raka, kalian akan bekerja bersama-sama dengan Sinta dan Adi," ujar Pak Arif tanpa menyadari ketegangan yang tiba-tiba melingkupi ruangan itu.

Luna menelan ludah, gugup. Ia melirik Raka, yang terlihat tak menunjukkan reaksi apapun. Hatinya berdebar-debar saat ia melangkah mendekat ke meja di mana kelompok mereka akan berkumpul. Bagaimana ini akan berjalan? Apakah Raka masih mengingatnya? Ataukah ia sudah benar-benar melupakan masa lalu mereka?

"Luna," suara Sinta memecah lamunan Luna, "kamu setuju nggak kalau kita mulai riset dari buku-buku sejarah di perpustakaan?"

Luna mengangguk sambil tersenyum kaku, mencoba fokus pada pembicaraan, tapi pikirannya tak bisa lepas dari sosok Raka yang duduk di sebelahnya. Sesekali, ia meliriknya, mencari tanda-tanda pengakuan di mata Raka. Namun Raka tetap tenang, seperti tidak ada yang terjadi.

Setelah pertemuan kelompok selesai, Luna merasa ada sesuatu yang tidak terselesaikan. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Raka. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, kata-kata itu keluar begitu saja.

"Raka," panggilnya, membuat Raka menoleh perlahan. Ada jeda sejenak sebelum Luna melanjutkan, "Kamu masih ingat aku?"

Raka terdiam, menatap Luna dengan pandangan yang sulit diartikan. Sekilas, matanya tampak mengenalinya, namun ada sesuatu yang menahan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Raka mengangguk pelan.

"Iya, aku ingat," jawabnya singkat, tanpa senyuman, tanpa ekspresi lebih lanjut.

Jawaban itu membuat Luna sedikit lega, namun juga menambah kebingungannya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan-mengapa mereka berhenti berbicara, mengapa Raka tiba-tiba menjauh bertahun-tahun lalu. Tapi melihat sikap dingin Raka, Luna menyadari bahwa mungkin, ini bukan saat yang tepat untuk menggali lebih dalam.

Hari itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, pertemuan dengan Raka membawa kenangan manis masa kecil kembali ke permukaan, namun di sisi lain, ia merasa ada jarak yang sangat besar di antara mereka sekarang. Jarak yang tak pernah ia pahami.

Saat Luna berjalan pulang, matahari mulai terbenam, menciptakan kilauan jingga di langit senja. Dia berhenti sejenak, memandangi langit yang sama seperti yang mereka tatap dulu, saat mereka masih kecil, saat segala sesuatu tampak lebih sederhana. Di bawah langit yang sama, Luna bertanya-tanya, apakah janji-janji masa kecil mereka masih tersisa? Ataukah semuanya sudah hilang bersama waktu?

Di kejauhan, Luna bisa merasakan bahwa ini bukanlah kebetulan. Pertemuan ini mungkin adalah kesempatan untuk mengungkap apa yang telah terkubur selama ini. Namun, ia juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Karena di balik setiap kenangan indah, selalu ada rahasia yang tersembunyi di dalamnya.

Luna masih memandangi langit yang mulai memudar warnanya, teringat bagaimana dulu mereka sering kali berlomba-lomba menebak warna apa yang akan muncul di langit senja berikutnya. Saat itu, segalanya terasa begitu sederhana. Tidak ada rasa canggung, tidak ada jarak-hanya dua anak kecil yang menikmati waktu bersama. Namun sekarang, perasaan itu terasa jauh, seperti sebuah mimpi yang perlahan memudar.

Langkah kaki di belakangnya menyadarkannya dari lamunan. Luna berbalik dan terkejut melihat Raka berdiri tak jauh darinya, tangan dimasukkan ke saku seragam, matanya masih menatap ke bawah, seolah ragu untuk mendekat.

"Kamu masih suka lihat senja?" tanya Raka, suaranya pelan tapi jelas, memecah keheningan di antara mereka. Pertanyaan itu sederhana, tapi cukup untuk membuat dada Luna terasa sesak.

Ia mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, masih," jawab Luna, menatap Raka dengan tatapan yang sarat pertanyaan, seolah meminta penjelasan tentang apa yang terjadi di antara mereka selama bertahun-tahun. Tapi, seperti yang diduganya, Raka tidak memberi jawaban. Hanya pertanyaan senja yang ia sampaikan, seakan itu sudah cukup untuk membuka percakapan pertama mereka setelah sekian lama.

"Kamu kenapa tiba-tiba menjauh?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Luna, meski ia tahu suasananya mungkin belum tepat. Namun, rasa penasaran yang terpendam selama bertahun-tahun itu tak bisa lagi ia tahan. Ia harus tahu.

Raka terlihat kaget mendengar pertanyaan itu, namun dengan cepat ia memasang ekspresi datar. Untuk beberapa detik, ia hanya menatap Luna, seakan mencari kata-kata yang tepat, atau mungkin mencari cara untuk menghindar. Angin sore menghembus lembut, membuat suasana semakin dingin.

"Ada banyak hal yang terjadi waktu itu," kata Raka akhirnya, suaranya rendah dan berat. "Aku nggak tahu harus gimana, jadi aku pergi. Aku pikir... mungkin itu cara terbaik."

Luna menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba menyeruak. "Cara terbaik?" ulangnya pelan. "Kamu pikir dengan pergi begitu aja semua akan baik-baik aja?"

Raka tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajahnya, menatap senja yang hampir menghilang di balik cakrawala. "Aku nggak tahu, Luna. Mungkin aku salah. Tapi aku cuma anak kecil waktu itu, aku nggak ngerti apa yang aku rasain."

Kata-katanya membuat Luna terdiam. Rasa kecewa, marah, dan bingung bercampur aduk di dalam hatinya. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang ia pahami. Waktu itu, mereka masih sangat muda. Mungkin benar, Raka tidak tahu bagaimana harus menghadapi perasaannya sendiri, apalagi pertemanan mereka yang mulai berubah.

"Aku juga nggak tahu," jawab Luna akhirnya, suaranya mulai melembut. "Aku cuma ingat, waktu itu aku kehilangan sahabatku, dan aku nggak ngerti kenapa."

Untuk pertama kalinya, Luna melihat sesuatu yang berbeda di mata Raka. Seperti ada rasa bersalah yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Dia mengangkat pandangannya dan berkata dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya, "Maaf."

Hanya satu kata, tapi itu cukup. Meskipun tidak bisa mengembalikan semua yang telah hilang, setidaknya itu adalah awal. Awal dari sesuatu yang mungkin bisa menyembuhkan luka yang telah lama mereka bawa.

Luna tersenyum kecil, merasakan sedikit beban di hatinya mulai terangkat. "Aku nggak tahu apa yang terjadi setelah ini, tapi mungkin kita bisa mulai lagi... pelan-pelan."

Raka mengangguk. "Iya, mungkin kita bisa," jawabnya dengan nada lebih tenang.

Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat, tanpa kata-kata. Hanya ditemani oleh sisa-sisa cahaya senja yang perlahan menghilang, seakan memberi ruang untuk awal yang baru di antara mereka.

Hari itu, di bawah langit senja yang sama, Luna dan Raka tidak lagi dua orang asing yang dipisahkan oleh masa lalu. Mereka adalah dua orang yang berusaha menemukan kembali janji-janji yang dulu pernah mereka buat. Dan meskipun jalan di depan masih panjang, mereka tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar.

Senja akhirnya menghilang, meninggalkan langit yang gelap dan penuh bintang. Tapi bagi Luna, hari ini terasa seperti sebuah awal-awal dari perjalanan baru yang mungkin akan membawa mereka kembali ke masa-masa indah yang pernah hilang.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Luna merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah bebannya sudah mulai terangkat sedikit demi sedikit. Raka mungkin belum sepenuhnya kembali, tapi dia ada di sana. Itu sudah cukup untuk sekarang.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku