LANGIT SENJA DAN JANJI KITA
ngi. Pada awalnya, suasana di antara Raka dan Luna sangat canggung. Setiap kali mereka bertemu untuk membahas proyek, ada r
ngin, seperti sengaja menjaga jarak. Setiap kali Luna mencoba memulai percakapan, jawabannya sel
g ia rasakan hanyalah kebingungan. Ia memandang Raka yang duduk di sebelahnya, fokus pada laptopnya, mengetik sesuatu yan
mu?" tanya Luna akhirnya,
Luna. "Sudah, tinggal bagianmu yang perlu di
angat yang sempat muncul saat mereka berbicara tentang masa lalu di bawah langit senja kini terasa seperti mimpi yang jauh. Luna
begini," gumam Luna perlahan, seten
menatapnya, meskipun ekspresinya
," jawab Luna, memberanikan diri untuk me
andangannya kembali ke layar laptop. "Bu
gan tatapan bingung
lama. Akhirnya, dengan suara yang lebih pelan, Raka menjawab, "Untuk memahami apa yang terjadi
dinginnya membuat Luna merasa terasing. Mereka tidak lagi seperti dua anak kecil yang bisa dengan mudah kembali seper
ekarang?" tanya Luna, mencoba mencar
"Aku nggak tahu, Luna. Kita bisa mulai dari sini-selesaikan
salah. Mereka berdua tahu bahwa lebih dari sekadar proyek yang harus diselesaikan-ada perasaan
h terbungkus dalam sikap dingin yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Luna merasa semakin fru
janji di bawah langit senja yang meskipun terabaikan, belum benar-benar terlupakan. Luna tahu, ji
ah Raka bersedia membuka diri, at
asa seperti jurang yang tidak kasat mata. Angin sore yang dingin menyapu wajah mereka, membuat Luna menggigil sedikit
tidak lagi terasa nyaman, melainkan penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan. Sebagai sahabat lama,
a Luna, mencoba memecah kesunyian. Nada suaranya
pas. "Aneh gimana?" tanyanya, meski su
enti. Dia menatap Raka dengan penuh kejujuran, menco
a aja, tapi sekarang kamu... dingin. Jauh. K
tidak segera menjawab. Matahari senja yang perlahan tenggelam di balik gedung sekolah memberi warna
i. Kita udah lama banget nggak ketemu, Luna. Banyak hal yang berubah. Dan... mungkin aku ta
menahannya. Dia paham, ada keraguan besar di balik sikap dingin itu. Raka ti
nal," sahut Luna pelan. "Aku juga nggak minta kita kembali ke ma
ada ketulusan dalam matanya. "Aku minta maaf kalau aku bikin kamu ngerasa jauh. Aku
ka. Aku juga nggak terburu-buru. Tapi aku cuma pengen kita bisa mulai bica
in memudar. "Mungkin kita bisa mulai dengan ini," katanya s
jelas, setidaknya mereka mulai melangkah ke arah yang benar. Proyek sekolah memang mempertemukan mereka lagi, tapi lebih dari itu,
enyum tipis. "Mungkin kit
a-kata mereka masih terbatas, ada rasa yang mulai menyusup perlahan. Mereka mungkin
a perjalanan panjang di depan mereka, tetapi untuk pertama kalinya
ambu