Ranti memilih melepaskan orang yang dicintainya. Bukan karena sosok wanita lain yang hadir dalam rumah tangganya. Namun lebih pada kenyataan, kehadirannya tak akan pernah bisa diterima oleh keluarga suaminya itu. Semua pengorbanan yang telah dilakukannya untuk keluarga itu seolah tak pernah ada. Padahal, semua yang diperolehnya merupakan hasil perjuangan dan kerja kerasnya. Bahkan yang lebih menyakitkan, dia dituduh telah mengguna-gunai suaminya. Padahal selama ini, keluarga sang suami tak pernah ada saat mereka sedang terpuruk dalam luka. Bagaimana lika-liku kehidupan yang harus dijalani Ranti selama ini? Apakah melepaskan laki-laki yang telah memberinya enam orang anak itu merupakan keputusan yang tepat dalam hidupnya?
"Aku lelah dengan semua ini, Bang. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat."
Ranti terisak. Menahan ledakan tangis sedapat mungkin agar tak terdengar anak-anaknya.
"Abang tahu, Dek. Tapi bukan dengan cara seperti ini untuk menyelesaikannya."
Laki-laki itu beranjak, merangkulnya dalam dekapan erat. Membenamkan kepala istrinya ke dada bidang yang juga merasa sakit dengan semua kenyataan yang terjadi.
"Yang terpenting kita, Dek. Cinta kita. Kepercayaan di antara kita. Bukan tentang mereka."
Ranti mendongakkan kepalanya. Menatap laki-laki itu. Suaminya yang telah berjuang memperjuangkan cinta mereka.
"Tapi mereka keluargamu, Bang. Tak ada kata mantan adik ataupun mantan kakak. Yang ada mantan istri. Hubungan kalian bagaikan air, tak akan putus walaupun dicincang. Jangan jadikan aku sebagai penghalang. Aku ikhlas."
Netra mereka saling bertemu. Ranti mencoba meyakinkan Bayu, suaminya bahwa pilihan ini adalah yang terbaik.
"Anak-anak kita, Dek. Mana yang lebih berharga? Saudara-saudara Abang atau anak-anak kita?"
Ranti mengusap wajahnya yang telah basah, penuh air mata.
"Ini bukan tentang pilihan mana yang lebih berharga, Bang. Mereka semua berharga. Tapi ini adalah pilihan, mana yang terbaik. Anak-anak akan mengerti. Abang tetap ayah bagi mereka, selamanya ... tak akan pernah terganti."
Bayu menghela napasnya. Keadaan ini sangat sulit. Lima belas tahun Ranti berusaha mendekatkan diri pada keluarganya, tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Dan kondisi ini menjadi puncaknya.
"Abang tahu ini berat. Tapi Abang yakin, dirimu mampu menyingkirkan ego yang ada di hati saat ini. Tak penting mereka menganggapmu ada atau tidak. Di mata Abang, kamu tetap yang terbaik. Abang tahu ... sebesar apapun kesalahan Abang selama ini, selalu Adek maafkan. Hati Adek luas untuk selalu membuka pintu maaf untuk Abang. Tolong ... jangan akhiri seperti ini."
Akhirnya Bayu pun tak kuasa membendung lelehan bulir dari netranya. Dirinya menangis.
"Aku selamanya tetap tak akan bisa jadi saudara bagi adik dan kakak Abang. Termasuk bagi Ibu. Hanya almarhum Abah yang bisa sedikit menerima kehadiranku. Kalau hanya sekadar kata, aku masih terima, Bang. Tapi dengan fitnah ini, aku tak sanggup lagi menerima semuanya."
Ranti mencoba mengusap-usap dadanya yang mulai terasa sesak. Berat beban yang dirasakannya saat ini. Bukan hanya raganya letih, jiwanya pun sudah merasa tak kuat lagi menanggung semua kecewa ini.
"Aku tahu, Bang. Aku bukan manusia baik, manusia sempurna. Aku masih masih khilaf dan salah. Amalanku pun terbatas yang wajib ditambahkan sedikit sunah. Tak banyak, tapi aku berharap itu akan membawa keberkahan dalam keluarga kita. Tak mengapa keluarga Abang membenciku, menghinaku, merendahkanku. Tapi tolong jangan fitnah aku, Bang," ucap Ranti setelah mengurai pelukan yang ada di antara mereka.
Ranti beranjak melangkah menuju jendela. Melepaskan pandangan ke arah taman yang tepat berada dalam jangkauan matanya.
"Harusnya keluarga Abang bersyukur. Aku mampu merubah Abang menjadi pribadi yang lebih baik daripada dulu. Merubah segala tabiat Abang yang kurasa tak pantas untuk dilihat anak-anak kita. Aku yang berusaha membimbing Abang, kita sama-sama belajar. Berusaha jadi manusia yang lebih baik ke depannya. Pantaskah jika aku mendapat balasan seperti ini, Bang?"
Ranti menghela napasnya. Mencoba menekan sakit yang kian terasa.
"Menuduhku sudah mengguna-gunai Abang sehingga tak ingat mereka lagi ... hanya karena Abang tak lagi royal memberikan uang pada mereka? Harusnya mereka sadar jika Abang tak lagi bekerja. Tak lagi memegang jabatan seperti dulu. Tak lagi mampu memfasilitasi mereka seperti yang mereka mau. Harusnya ... mereka mengerti dengan kondisi Abang saat ini. Bukan lantas menuduhku berbuat keji seperti itu!"
Ranti diam. Bahkan tak merespon saat suaminya itu memeluknya dari belakang. Pandangannya tetap lurus, menatap kejauhan.
"Sehina-hinanya aku ... tak akan aku berbuat syirik seperti itu. Dukun ... sosok yang Insya Allah tak akan aku temui di sepanjang hidupku, Bang. Kalau kamu berubah, itu karena pintaku pada-Nya. Karena doa tulusku di atas sajadah. Karena lirih tangisku di sepertiga malam. Karena niatku untuk membuat hidup hidup kita lebih baik."
Ranti kembali mengusap wajahnya, menyapu air mata yang tersisa.
"Abang paham ... Abang tahu. Karena itu Abang minta, abaikan mereka."
Ranti merasakan pelukan di pinggangnya semakin erat. Punggungnya dapat merasakan bulir bening yang mengalir di wajah laki-laki yang sedang memeluknya itu.
"Lantas sampai kapan mereka berhenti mengusik kehidupan kita? Sampai kapan aku akan dicap sebagai pemisah keluarga Abang? Aku bertanya masalah hutang ... itu karena mereka meminjam. Bukan meminta, Bang. Puluhan juta, Bang. Bukan jumlah yang sedikit bagiku, entah bagi mereka. Dan itu sudah bertahun-tahun. Bukan pula mereka tak mampu, tapi lebih pada tak mau untuk melunasinya."
Tak ada reaksi dari Bayu. Laki-laki itu tetap dalam posisi yang sama. Menahan tubuh Ranti agar tak beranjak pergi meninggalkannya. Bak buah simalakama, Bayu tak tahu harus berkata apa. Istrinya benar jika tindakan dan fitnah yang diucapkan saudara-saudaranya itu menyakitkan hatinya. Lantas dia harus berbuat apa? Berkelahi dengan sesama saudara kandungnya? Hanya ini yang dapat dilakukan Bayu saat ini. Menenangkan istrinya, memohon maaf dan pengertian atas kekurangajaran saudara-saudara yang lahir dari rahim yang sama dengannya.
"Ibu, kakak dan adikmu tak pernah menganggap keberadaan aku dan anak-anakku. Enam kali aku melahirkan, apakah pernah Ibu sengaja menjengukku? Meluangkan waktu untuk melihat kehadiran cucunya. Tak pernah Bang ... Ibu hanya akan datang ke rumah ini untuk meminta jatah bulanannya. Bukan untuk dekat dengan cucu-cucunya. Tak heran, anak-anak tak dekat dengan keluargamu, Bang. Mereka hanya sebatas mengenal Mak Cik, Pak Ngah dan Pak Wo dalam panggilan. Tidak dengan sosok mereka."
Ranti melepaskan pelukan Bayu. Membalikkan tubuhnya sehingga posisi mereka sekarang saling berhadapan.
"Niatku sudah bulat, Bang. Kita berpisah saja, untuk kebaikan semuanya. Ku kembalikan Abang pada keluarga karena selama ini mereka pikir aku telah merebut Abang dari mereka. Aku tak melarang Abang datang ke rumah ini, walaupun Abang tahu rumah ini adalah murni hasil kerja kerasku. Mereka anak-anak Abang ... selamanya."
Ranti menatap tegak. Netranya dan Bayu saling bertemu dalam luka.
"Jangan mengambil keputusan yang gegabah, Dek. Abang tak mau berpisah denganmu."
"Cinta tak harus menyatu kan, Bang? Berkorban untuk kebahagiaan orang yang kita cintai tentunya adalah hakikat dari cinta sesungguhnya. Kembalilah pada keluargamu, Bang. Aku ikhlas menemani Abang. Aku ikhlas mendampingi Abang. Kebahagiaan Abang sekarang ada pada mereka."
Tak ada balasan dari Bayu. Hanya hembusan napas yang masih memecah keheningan kamar itu.
"Abang akan pergi jika memang itu yang terbaik untukmu saat ini, Dek. Tapi bukan untuk kembali pada keluarga Abang. Abang hanya memberikan waktu pada dirimu untuk berpikir lebih jernih, lebih tenang. Satu hal yang harus kamu tahu, Abang selalu ada di sampingmu. Jangan korbankan egos saat ini untuk sesuatu yang akan kita sesali sepanjang hidup kita nantinya."
Ranti menatap pilu saat Bayu mulai memberekan baju-bajunya dari lemari. Tak banyak yang dibawanya. Hanya satu ransel yang dijadikan pembungkus baju-baju itu.
"Abang hanya akan membawa motor. Karena Abang tahu, semua yang kita miliki ini saat ini adalah hasil kerja kerasmu."
Tatapan nanar dilepaskan Ranti saat melihat kepergian Bayu, laki-laki yang telah berjuang bersamanya dari titik nol. Ranti tak membenci suaminya itu, hanya saja Allah sedang menguji mereka saat ini. Ingatan Ranti berputar, mengenang kejadian lima belas tahun silam saat dirinya mulai resmi menjadi istri Bayu Purnama, laki-laki yang dianggap keluarganya telah berubah karena dukun dan guna-guna.
Bab 1 Keputusan
16/12/2021
Bab 2 Rumah Mertua
16/12/2021
Bab 3 Pagi Yang Dramatis
16/12/2021
Bab 4 Fitnah
16/12/2021
Bab 5 Dari Titik Nol
16/12/2021
Bab 6 Selamanya Dia Tetap Anakmu
16/12/2021
Bab 7 Pertemuan Tak Terduga
16/12/2021
Bab 8 Kakak Ipar
16/12/2021
Bab 9 Tetangga Depan Rumah
16/12/2021
Bab 10 Status WA
16/12/2021
Bab 11 Perang Status
22/12/2021
Bab 12 Mencoba Melangkah
22/12/2021
Bab 13 Roti Perkenalan
23/12/2021
Bab 14 Kunjungan Pertama
23/12/2021
Bab 15 Pengakuan Nina
24/12/2021
Bab 16 Gajian
24/12/2021
Bab 17 Praduga Yang Salah
24/12/2021
Bab 18 Tanda Bakti
24/12/2021
Bab 19 Ipar Nyinyir
25/12/2021
Bab 20 Positif
25/12/2021
Bab 21 Tamu Jauh
25/12/2021
Bab 22 Besan Oh Besan
25/12/2021
Bab 23 Mertua Tak Ada Akhlak
26/12/2021
Bab 24 Pengunjung Kios
26/12/2021
Bab 25 Niat Yang Salah
26/12/2021
Bab 26 Melahirkan Anak Pertama
26/12/2021
Bab 27 Tamu di Pagi Hari
28/12/2021
Bab 28 Mertua Oh Mertua
28/12/2021
Bab 29 Amanah Baru
29/12/2021
Bab 30 Rumah Baru
29/12/2021
Bab 31 Jangan Hitung Uangku
29/12/2021
Bab 32 Hamil Lagi
31/12/2021
Bab 33 Berita Duka
31/12/2021
Bab 34 Lamaran
31/12/2021
Bab 35 Rencana Pernikahan
31/12/2021