Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Diantara

Cinta Diantara

Azka Dina

4.0
Komentar
7.5K
Penayangan
31
Bab

Aisyah harus menerima kenyataan bahwa ia menikahi pria yang belum pernah ia temui sebelumnya demi menjaga nama baik keluarga. Ia bahkan harus menerima fakta bahwa pria tersebut telah memiliki seorang anak kecil bernama Haidar. Perlahan, rasa cinta mulai muncul setelah Aisyah mengenal pria itu. Namun, semakin ia melangkah jauh, semakin ia menyadari sisi gelap yang disembunyikan oleh suaminya. Terlebih, masa lalu mulai muncul dan mengganggu kehidupan mereka. Akankan Aisyah bertahan dengan suaminya, atau memutuskan untuk menerima masa lalu? Lalu, apakah Aisyah dapat berdamai dengan masa lalunya, atau memilih hidup seorang diri?

Bab 1 Chapter 1

"Saya nikahkan, Aisyah binti Ahmad dengan mas kawin cincin lima gram, dibayar tunai."

"Saya nikahkan, Aisyah binti Ahmad..."

Air mata menetes tanpa henti di wajah wanita berhijab biru dengan gaun putih yang begitu indah. Hati yang penuh dengan amarah menghasilkan tangan yang bergetar hebat, seakan siap merusak semua yang ada di hadapannya.

Gemuruh doa yang dipanjatkan pasca pengucapan akad, membuat matanya mengeluarkan air mata kepedihan yang terus mengalir.

"Aisyah?" ketukan pintu yang tak menuntut, mengisi keheningan di dalam kamar. "Nak, apa ibu boleh masuk?"

Tidak ada jawaban. Hanya isakan yang semakin kencang saat suara pintu terbuka, terdengar jelas di telinga.

Tanpa mengatakan apapun, sang ibu hanya duduk di samping wanita tersebut.

"Ibu tidak bisa melakukan apapun. Sebelum semua ini terjadi, ibu sudah bertanya, apa kau bersedia atau tidak melakukan semua ini, tapi kau bilang.." sang ibu menggenggam tangan anak perempuannya. "Sekarang, keputusan di tangan mu. Sebelum semua terlalu jauh, putuskan keinginan mu. Ibu tidak akan melarang, ibu tidak akan mengatakan apapun. Kebahagiaan mu adalah prioritas ibu saat ini."

Sementara sang ibu menunggu jawaban anak perempuannya, di lantai satu mulai terdengar kekhawatiran dari keluarga mempelai pria.

"Zain," seorang pria paruh baya menghampiri mempelai pria yang masih duduk di hadapan penghulu.

"Bagaimana jika ia tidak turun?" bisik pria paruh baya tersebut.

"Abi, pernikahan ini bukan sesuatu yang ia inginkan. Biarkan dia memutuskan apa yang ia mau. Aku akan menerimanya dengan lapang dada."

Sang ayah hanya menepuk lembut pundak anak lelakinya. Entah apa yang terjadi di beberapa menit ke depan, tapi sang ayah tau bahwa anaknya telah siap menghadapi itu semua.

Hampir sejam berlalu, beberapa orang mulai bergunjing tentang mempelai wanita yang tidak kunjung datang meski akad telah selesai.

Merasa resah, Zain terus menatap jam di tangannya. Sesekali ia memeriksa ponsel yang tak lepas dari genggaman, seakan menanti panggilan dari seseorang.

"Abi," belum sempat Zain menyelesaikan kalimatnya, wanita yang ia nikahi, melangkah turun dari lantai dua bersama ibu mertua.

Wanita itu tersenyum, adalah kalimat yang terlintas pertama kali di benak Zain. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, ataupun sisa tangisan atas pernikahan ini.

Dengan di damping sang ibu, wanita bernama Aisyah itu duduk di samping Zain untuk menandatangani buku pernikahan di atas meja.

"Maaf, lama." Bisik Aisyah yang di jawab gelengan dan senyuman lembut dari Zain.

Goresan tinta hitam telah terbentuk jelas di buku pernikahan mereka. Foto dengan latar belakang biru sudah terpasang, dan para tamu yang hadir mulai mengucapkan selamat kepada pengantin.

"Selamat Aisyah," segerombol pria dan wanita menghampiri mereka dengan senyuman lebar.

"Kami buru-buru kemari saat mendengar pria jutek ini menikah."

"Belum pernah aku membayangkan, ada wanita yang mau dengan pria jutek, pelit senyum, gila kerja dan galak ini. Bahkan sikapnya lebih dingin dari kulkas empat pintu." Ejekan salah satu rekan kerja Zain mengundang tawa semua teman-temannya.

"Mba Aisyah, kalau mba mau curhat tentang sikap pak Zain, mampirlah ke kantor. Kami semua siap mendengarkan keluh kesahnya mba Aisyah." Ujar salah satu wanita yang masih mengenakan kemeja dan celana bahan. Seperti baru pulang kerja.

"Jika kalian semua disini, siapa yang berjaga di kantor? Bagaimana kalau ada klien yang datang?" tegur Zain.

"Nah, apa ku bilang? Di momen seperti ini saja, dia masih memikirkan pekerjaan. Ibu Aisyah, jika ibu sudah tidak tahan dengannya, datanglah ke kantor, biar kami yang memberikan pelajaran kepadanya."

Aisyah hanya tertawa kecil mendengar guyonan para karyawan yang bekerja di kantor Zain.

"Tapi, ngomong-ngomong, mba Aisyah terlihat cukup muda dibandingkan Zain. Berapa umurnya mba?"

"Dua puluh delapan tahun." Jawab Aisyah malu-malu.

"Astaga," semua serempak menatap Zain. "Apa kau menggodanya, pria tua? Umur kalian beda tujuh tahun. Dimana kalian bertemu?"

"Hei, jangan lupa aku boss kalian." Tegur Zain.

"Ya, kalau di kantor kau memang boss. Kalau diluar, kau adalah teman kami. Itukan prinsip bekerja mu? Dasar pelupa."

Semua orang terlihat begitu bahagia, dan menikmati momen penting ini. Akan tetapi, dimana ada kebahagiaan, disana ada kesedihan.

Di hari yang sama dengan pernikahan Aisyah, sang ayah harus dipanggil yang maha kuasa.

Tawa yang sejak tadi terdengar, tak lama berubah menjadi kesedihan saat abi berbisik kepada Zain mengenai kondisi ayah Aisyah di dalam kamarnya.

Pernikahan dengan pakaian yang penuh warna, harus berubah menjadi warna putih. Pemakaman digelar dalam kondisi hujan, seakan langit mengerti kesedihan yang dirasakan Aisyah.

Zain duduk -di atas bangku- di samping Aisyah yang termenung di taman belakang rumah.

"Aku mengizinkan mu tinggal disini selama yang kau mau."

Aisyah menggeleng. "Aku akan ikut pulang dengan, mas."

"Aisyah," meski mereka sudah menikah, Zain masih merasa segan untuk menyentuh Aisyah meski itu hanya menggenggam tangannya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku meminta mu tinggal disini selama seminggu?"

"Tidak, jika aku tetap disini, orang-orang akan bergunjing tentang keluarga ku."

Zain berlutut di hadapan Aisyah yang tertunduk menahan air mata.

"Tidak akan ada yang bergunjing tentang keluarga mu. Aku disini sekarang, aku tidak akan membiarkan itu terjadi dengan keluarga mu. Jika kau mengizinkan, aku juga akan disini selama seminggu, dan abi dan umi-"

"Cukup.." potong Aisyah. "Cukup abi dan umi saja yang disini bersama ku dan ibu. Aku tidak mau mengganggu pekerjaan mas."

Helaan nafas berat terdengar dari Zain. "Aisyah, jika kau ingin menangis maka menangislah. Tidak akan ada yang melarang mu melakukan itu."

Dengan cepat air mata terbendung di pelupuk mata Aisyah. "Jika aku menangis, siapa yang akan menguatkan adik-adik serta ibu ku?"

"Jika kau terus bersikap kuat, lalu kapan kau mengutarakan semua yang kau rasakan?" air mata perlahan menetes membasahi pipi. "Setidaknya, jangan bersikap kuat di hadapanku. Jika kau ingin marah, marahlah di hadapanku. Jika kau ingin menangis, menangislah di hadapanku. Aku... Aku tidak suka ada orang yang menyembunyikan sesuatu dariku."

Genggaman Aisyah pada bajunya mengerat setelah mendengar semua yang Zain katakan. Air mata sudah sepenuhnya membasahi wajah Aisyah. Isakannya terdengar memilukan di telinga Zain.

Apa yang harus ku lakukan? Menjadi pertanyaan yang tidak bisa Zain ucapkan saat ini. Sikapnya yang selalu terbuka akan isi kepalanya, kini harus tertahan agar tidak melukai atau menyinggung siapapun di situasi saat ini.

Zain hanya bisa menemani Aisyah di taman. Mendengar semua isakannya, tanpa melakukan apapun.

Setelah semua tamu pulang, Aisyah masuk ke kamar ibunya yang sejak tadi keluar kamar. Bahkan ibu tidak memakan nasi yang sudah di siapkan umi di depan kamarnya.

"Ibu," Aisyah duduk di tepi tempat tidur.

"Lihat, ayah mu begitu bahagia," Sebuah bingkai foto yang menunjukkan senyum cerah ayahnya, dipegang erat oleh sang ibu. "Sekarang pun, ia merasa bahagia atas pernikahan mu. Pengorbanan mu hari ini, tidak akan pernah ibu dan ayah lupakan sampai kapan pun. Ibu sungguh, beruntung memiliki mu dan adik-adik mu. Sungguh."

Aisyah hanya mengangguk seraya menggenggam kedua tangan ibunya. Sepanjang hidupnya, Aisyah belajar seberapa penting keluarga di atas segala-galanya. Bahkan ia rela mempertaruhkan nyawanya demi melindungi harga diri keluarga yang ia cintai. Dan karena alasan itulah, Aisyah berani bertindak sampai sejauh ini.

Hari sudah gelap. Bulan purnama bersinar terang hingga cahayanya masuk ke dalam kamar Zain yang sedang duduk di balkon dengan pikiran kosong.

'Ku dengar kau menikah hari ini. Ku ucapkan selamat atas pernikahan mu, tapi apa keluarga mu tau tentang hal itu? Kau tau maksud ku.'

Begitu malas Zain membalas pesan yang muncul di layar ponselnya. Apa yang wanita itu harapkan dengan mengirim pesan seperti itu? Permintaan maaf? Penjelasan? Bahkan Zain tidak memiliki hak untuk melakukan itu semua kepadanya.

'Kau sudah di rumah? Apa Aisyah ikut bersama mu? Apa kau masih di rumah Aisyah?'

Hanya pesan dari umi yang sanggup Zain balas.

'Aku di rumah. Beri waktu seminggu, biarkan Aisyah disana untuk menenangkan diri atas apa yang terjadi.'

Tak lama, umi membalas kembali pesan dari Zain.

'Baiklah, berkabar kepada umi jika Aisyah datang. Bagaimanapun, ia memiliki hak untuk mengetahui semuanya.'

Zain terdiam. Termenung membaca pesan yang dikirimkan umi. Ia tidak dapat menduga reaksi Aisyah yang mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Rasanya seperti menyimpan bom waktu yang akan meledak pada akhirnya.

Setelah seminggu kemudian, Aisyah dan Zain memutuskan untuk pergi ke rumah mereka yang berada cukup jauh dari kota.

"Apa kau tidak lelah dengan jarak sejauh ini dari kantor?" tanya Aisyah yang menatap jalanan kosong, penuh dengan jejeran pohon di tepinya.

"Tidak. Sudah terbiasa."

Kembali keheningan yang berada di sekitar mereka. Bahkan radio pun tidak ada yang berani menyalakan, khawatir mengganggu satu sama lain.

"Aisyah,"

Untuk pertama kalinya sejak mereka pergi bersama, Aisyah menoleh ke arahnya.

"Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan saat kita tiba di rumah,"

"Baiklah."

"Tapi, hal yang perlu kamu ketahui. Aku tidak akan memaksakan apapun kepadamu. Jika, setelah kau mengenalnya, kau merasa tidak nyaman, maka kau boleh pergi dari rumah. Jadi, jangan merasa terbebani dengan hubungan kita saat ini."

Aisyah tidak mengatakan apapun. Ia hanya menatap bingung pria yang kini duduk di sampingnya.

Apa maksudnya? Siapa yang akan dikenalkan oleh Zain?

Semua pertanyaan itu terjawab sudah saat Aisyah tiba di depan rumah mereka.

"Selamat datang,"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku