Seorang pria harus memilih antara istri yang selama ini mendampinginya dan kekasih gelap yang membuatnya merasa hidup kembali. Saat keduanya mengetahui keberadaan satu sama lain, pria ini terjebak dalam konflik cinta yang berbahaya.
Arman duduk di meja makan, memandang piring sarapan yang belum disentuhnya. Maya, istrinya, sedang sibuk dengan urusan dapur, menyusun sarapan seperti biasa, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Namun, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan di balik mata Arman-sebuah kehampaan yang begitu dalam.
Maya meletakkan secangkir kopi di depan Arman. "Kenapa diam aja, Mas? Ada masalah di kantor?" tanyanya, mencoba menyelami pikiran suaminya.
Arman mengangkat wajahnya dan tersenyum lemah. "Tidak, Maya. Hanya... capek saja," jawabnya dengan suara datar, mencoba menghindari tatapan istrinya yang tajam.
Maya duduk di sebelahnya, meletakkan tangannya di atas tangan Arman. "Mas, kita sudah lama bersama. Kalau ada yang mengganggu, ceritakan. Jangan ditahan-tahan," katanya lembut, matanya memancarkan kehangatan yang selalu membuat Arman merasa bersalah.
Arman memejamkan matanya sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata. "Maya, kadang aku merasa seperti terjebak dalam rutinitas. Semua berjalan begitu biasa... aku rasa, aku butuh sesuatu yang berbeda."
Maya menarik napas panjang, dan mengangkat wajahnya. "Apa maksudmu, Mas?" suaranya terdengar cemas, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Arman menatapnya, mencoba menjelaskan perasaannya. "Aku mencintaimu, Maya. Tapi aku merasa ada yang hilang... aku tak tahu harus bagaimana." Ia merasa lelah dengan kata-katanya yang berputar-putar. Tidak ada kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan.
Maya menunduk, bibirnya terkatup rapat, menyembunyikan perasaan yang mulai kacau. Dia tahu Arman bukan tipe pria yang mudah mengungkapkan perasaan. "Mas, jika ada yang mengganggu, kita bisa cari jalan keluar bersama. Aku akan selalu ada untukmu," ucapnya dengan suara rendah, namun penuh makna.
Namun, meski kata-kata Maya penuh kasih, Arman merasa semakin terasing. Ia tak tahu lagi bagaimana menjelaskan apa yang sedang menggerogotinya. Ada sesuatu yang kosong, bukan hanya dalam hidupnya, tetapi juga dalam dirinya.
Sambil menatap keluar jendela, ia berkata pelan, "Aku butuh... sesuatu yang membuatku merasa hidup lagi."
Maya memandangnya dengan penuh perhatian. "Apa maksudmu, Mas? Apakah aku tidak cukup membuatmu bahagia?"
Arman terdiam, seolah kata-katanya terhenti di tenggorokannya. Ia tidak ingin melukai hati istrinya, namun kenyataan bahwa ia merasa terjebak dalam pernikahannya semakin membuatnya bingung. "Bukan itu, Maya. Ini bukan tentang kamu... Aku hanya merasa... kosong."
Maya terdiam, menatap suaminya dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Kamu tidak sendiri, Mas. Aku akan selalu di sini. Kita bisa melewati ini bersama."
Namun, Arman tak bisa mengabaikan perasaan yang semakin mendalam. Sesuatu yang lebih dari sekadar kebosanan. Sesuatu yang ia tak bisa jelaskan, tapi perlahan mulai mengisi kekosongan hatinya. Keinginan untuk merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.
Saat itu, ponsel Arman berbunyi, memecah keheningan di antara mereka. Ia meraih ponselnya dan melihat nama yang muncul di layar-Laras.
Maya tidak melihatnya, tetapi Arman tahu. Ia tahu ada satu lagi yang akan merubah hidupnya-seseorang yang memberi perasaan yang ia cari, meski dalam bayang-bayang.
Dengan sebuah napas berat, Arman menatap ponselnya lebih lama, sebelum akhirnya menekan tombol terima panggilan. "Halo?" Suaranya terdengar jauh, seperti ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan orang di seberang sana.
"Mas Arman," suara Laras terdengar ceria, namun ada sesuatu yang menggoda di balik kata-katanya. "Gimana kalau kita ketemu malam ini? Aku ingin ngobrol lebih banyak."
Arman menggigit bibirnya. Ia tahu persis apa yang dimaksud Laras, dan meskipun hatinya penuh kecemasan, ada perasaan lain yang lebih kuat-rasa ingin tahu, rasa yang ia kira telah lama hilang.
"Baiklah," jawabnya akhirnya, suaranya rendah. "Aku akan datang."
Maya, yang kini berdiri di dapur, merasakan adanya ketegangan di udara. Ia menoleh sebentar, hanya untuk melihat Arman menutup ponselnya dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Mas, kamu baik-baik saja?" Maya bertanya dengan lembut, tetapi kali ini Arman merasa seolah-olah ada tembok yang terbangun di antara mereka.
"Ya," jawabnya singkat, berusaha tersenyum, meskipun ia tahu itu hanya kebohongan kecil.
Maya mengangguk pelan, lalu kembali ke dapur tanpa berkata lebih banyak. Arman menatap punggung istrinya yang kini beranjak menjauh, dan rasa bersalah mulai memenuhi dadanya. Namun, seiring dengan gema suara Laras di kepalanya, ia merasakan sebuah dorongan yang lebih kuat-sesuatu yang tak bisa lagi ia hindari.
Dan malam itu, takdir akan membawa Arman pada pilihan yang tak bisa ia mundurkan lagi.
Ia menatap secangkir kopi yang mulai dingin, namun pikirannya jauh melayang. Ponsel yang baru saja ia simpan kembali bergetar, dan hati Arman berdebar seiring nama Laras muncul lagi di layar. Hanya sebuah pesan singkat, namun itu sudah cukup untuk mengguncang segalanya.
"Kamu jadi datang malam ini kan? Aku menunggumu."
Arman menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan dirinya. Seolah semua rasa bersalah, keraguan, dan kekosongan yang ia rasakan terpendam di antara kata-kata Laras. Maya, istrinya yang setia, tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak tahu bahwa ada dunia lain yang mulai terbuka baginya. Dunia yang penuh dengan kebebasan, gairah, dan perasaan yang ia kira sudah mati dalam pernikahannya.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" gumam Arman dalam hati. Ia menatap ponselnya sekali lagi sebelum meletakkannya di samping piring makan.
Maya kembali membawa piring kosong dan duduk di hadapan Arman. "Mas, hari ini kamu nggak mau keluar makan siang bareng aku?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana yang terasa kaku sejak pagi.
Arman mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum, meskipun senyum itu terasa dipaksakan. "Maaf, Maya. Ada banyak pekerjaan di kantor. Mungkin lain kali."
Maya menatapnya dengan ragu, seolah merasakan ada yang salah. "Kamu pasti capek banget, ya? Jangan terlalu dipikirin, nanti jadi sakit," katanya dengan perhatian, mencengkram tangan Arman sejenak.
Arman mengangguk, namun pikirannya tetap melayang. Ia merasa semakin jauh dari Maya, meskipun mereka duduk di meja yang sama. Seperti ada jurang yang perlahan tumbuh antara mereka. Laras, dengan segala pesonanya, telah berhasil menarik perhatian Arman jauh ke dalam dunia yang berbeda-dunia yang penuh dengan janji kebahagiaan baru.
Maya meletakkan sendok dan garpu di atas meja. "Aku ngerti kok, kalau kamu butuh waktu buat diri sendiri. Tapi, jangan sampai kita jadi asing satu sama lain," katanya pelan, suaranya penuh kekhawatiran.
Arman menatap Maya, merasa bersalah. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat dalam dirinya yang berbisik: "Pergilah. Cari kebahagiaanmu." Dan Arman merasa seperti ia sedang berdiri di tepi jurang, ragu antara bertahan atau melompat.
"Maaf, Maya," Arman berkata, suaranya hampir tak terdengar. "Aku cuma butuh waktu untuk berpikir."
Maya menatapnya dengan tajam, mata penuh tanya, tetapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi dari ruang makan. Arman mendengar langkah kakinya menjauh, dan rasa kosong itu kembali menyeruak. Ia merasakan kehadiran Maya semakin memudar, digantikan oleh bayangan Laras yang terus mengganggu.
Malam pun tiba. Arman merasa tubuhnya kaku saat ia bersiap meninggalkan rumah. Ia tidak ingin melihat Maya, takut kalau itu akan membuatnya ragu. Dengan cepat, ia mengenakan jas dan menatap cermin di depan pintu, seolah mempersiapkan dirinya untuk apa yang akan datang.
Ketika Arman keluar, ia mendapati Maya sedang duduk di ruang tamu, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Sepertinya Maya ingin berbicara, namun Arman tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya tersenyum lemah dan melangkah ke pintu.
"Kamu... kemana, Mas?" tanya Maya, akhirnya membuka suara.
"Ke kantor," jawab Arman singkat. Ia berusaha menghindari tatapan Maya, merasa dirinya sudah tidak layak berada di situ.
Maya terdiam, sejenak menatap punggung Arman yang mulai berjalan menuju pintu. "Jangan terlalu larut, ya?" kata Maya, suaranya rendah namun ada getaran yang tak bisa Arman abaikan.
Arman berhenti sejenak, berbalik untuk menatap istrinya. "Iya, Maya," jawabnya, namun hatinya merasa semakin terjebak. Ia ingin berbalik dan memeluk Maya, memberi penjelasan, tapi kata-kata itu terlalu sulit untuk keluar. Ia hanya bisa melangkah pergi, meninggalkan rumah dan Maya.
Sesampainya di luar, Arman menghela napas lega, tapi di sisi lain, ada rasa bersalah yang menggerogoti dirinya. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik. Begitu ia memasuki mobil dan melaju menuju tempat yang telah dijanjikan, ia tidak bisa menghindari fakta bahwa ia telah menempatkan dirinya di persimpangan yang tak bisa ia mundurkan lagi.
Laras menunggu di kafe yang sudah agak sepi, duduk di meja pojok dengan lampu redup yang memberi kesan intim. Arman melihatnya, dan seketika perasaan yang sudah lama hilang dalam dirinya kembali mengalir. Laras tersenyum saat melihatnya datang, senyumnya yang menggoda, seolah tahu betul bagaimana cara membuat Arman merasa istimewa.
"Mas Arman," Laras berkata dengan suara lembut, namun ada kehangatan yang berbeda dari Maya. "Aku sudah menunggu lama."
Arman duduk di hadapannya, mengabaikan perasaan bersalah yang mengganjal di hati. "Maaf, aku terlambat."
Laras tertawa ringan. "Tidak masalah. Aku juga tahu kamu pasti sibuk." Ia menatap Arman dengan penuh perhatian, seolah hanya ada mereka berdua di dunia ini. "Aku senang kita bisa ketemu. Rasanya sudah lama sekali, ya?"
Arman merasakan ada ikatan yang semakin kuat antara mereka. Setiap kata yang keluar dari bibir Laras seperti membiusnya, membuatnya merasa seolah hidup ini bisa dimulai dari awal, jauh dari segala rutinitas yang membelenggunya.
"Aku juga senang, Laras," jawab Arman, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang semakin besar. "Aku merasa, aku... aku bisa menjadi diri sendiri di sini."
Laras mengangguk pelan, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kamu tidak perlu merasa terbebani, Mas. Kita bisa lebih dari sekadar teman." Ia memiringkan kepala, senyum menggoda terukir di wajahnya.
Arman menatapnya, merasakan ketegangan yang mulai terbangun di udara. Sebuah pilihan yang semakin jelas-antara melanjutkan hidup yang penuh kenyamanan bersama Maya atau menyelami dunia baru yang penuh gairah dan kebebasan bersama Laras.
Namun, satu hal yang ia tahu: malam ini, semuanya akan berubah.
Sambil menatap Laras yang semakin dekat, Arman merasakan ketegangan di dadanya semakin meningkat. Ia tahu bahwa ia telah melangkah ke dalam sebuah permainan yang tak bisa ia mundurkan lagi.
Di sini, kita mulai melihat pergulatan batin Arman antara perasaan cinta dan pengkhianatan. Maya, yang setia, berusaha memahami Arman, sementara Laras, dengan pesonanya, menjadi pelarian dari kekosongan yang dirasakannya. Ketegangan antara keduanya semakin menumpuk, dan Arman semakin terjebak dalam pilihan sulit.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya