Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
333
Penayangan
20
Bab

pangeran es diam-diam membuat hati meleleh.

Bab 1 taruhan

"Tiga ... Dua ... Satu! Fight!"

Suara penghapus dipukulkan. Dua tangan saling mengait seerat mungkin sambil bertumpu pada meja. Bersama dengan semarak tepuk tangan anak-anak sekelas dan juga sorakan kencang. Sesekali Shaina mengangkat ujung lengan seragam, lalu mengerahkan segenap kekuatan dalam otot-otot lengannya untuk melawan satu cowok di kelasnya dan beradu panco.

"SHAINA! SHAINA! SHAINA!"

"PATAHIN AJA, NA! SIKAT!"

"JANGAN KASIH KENDOR!"

Detik demi detik, silih berganti tangan Shaina menekan dan tertekan hingga memiring perlahan ke kanan dan ke kiri. Entah sejak kapan menggeluti kegiatan ini, tapi hampir setiap hari Shaina menantang teman-temannya. Dan, senjata yang membuat Shaina selalu menang yaitu lewat tatapan mata dan bibir seksinya. Seperti sekarang, meski otot sedang berjuang tapi Shaina tetap terlihat enjoy sembari mempertahankan senyum andalannya.

Percayalah, semua iman lelaki tergoda berkat itu. Shaina memiliki manic mata yang indah seperti batu emerald yang mampu merobohkan benteng hati dan keegoisan.

Bruk!

"Yaaahhhh!"

Dan terbukti, saat cowok itu lengah maka Shaina dengan mantap menekan tangannya hingga jatuh membentur meja. Saat itu juga barulah dia sadar telah dikalahkan. Bukan Shaina yang heboh tapi teman-teman lain, mereka saling mengkoor dan terbahak-bahak menertawai pak ketua kelas yang cemen itu. Dia hanya mengacak-acak belakang rambutnya dengan muka memerah padam.

"Ayo, siapa lagi mau coba duel sama gue maju sini!" Ujar Shaina dengan napas terengah-engah, lima kali panco baginya masih belum cukup untuk pemanasan di pagi ini.

"Gue dong, Na!" Cowok di bangku belakang berdiri dan menyimpan ponsel di saku celana. Menempati tempat duduk di depan Shaina dan melemaskan jari-jari sesaat.

"Siap? Yok!" tantang Shaina antusias.

Dan, terjadi lagi pertandingan panco di kelas sepuluh IPA-2. Semarak anak-anak sekelas kembali memenuhi segala penjuru ruangan itu untuk menyemangati Shaina dan lawannya kini. Bahkan, beberapa murid lain mulai melipir dan melihat dengan penasaran di luar kelas itu, tak sedikit juga yang menonton dari jendela bagaimana Shaina mampu menjatuhkan banyak cowok yang ingin menjajal kemampuan. Mereka dibuat geleng-geleng.

Di mata para cowok, Shaina teramat mengagumkan. Dia selalu berusaha membuktikan bahwa derajat perempuan dan laki-laki itu sama. Sehingga, perempuan tidak bisa dipandang rendah begitu saja oleh mereka kaum lelaki.

Jaman emansipasi.

Di tempat lain, Shaka baru saja datang sepuluh menit sebelum bel masuk. Dengan headphone membungkam telinga, Shaka menyusuri sepanjang koridor yang ramai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket bomber. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, Shaka menjadi fokus perhatian cewek-cewek biang gossip yang bertebaran di pinggir setiap koridor yang ia lewati. Bahkan tak segan-segan mereka memanggil Shaka, menyapa selamat pagi, dan meneriakan berapa nomor hape Shaka, namun tidak digubris sama sekali meski Shaka mendengar suaranya.

"Woy, Ka!" Tak lama seseorang datang dari belakang dan mendaratkan tepukan kerasnya di pundak Shaka. Seketika menginterupsi aktivitas itu dan Shaka bergegas menurunkan headphonenya ke leher. Ternyata si Jafar.

"Ka, gue barusan liat ada anak kelas lo adu panco, cewek, rame gitu di luar pada ngeliatin. Siapa dia? Coba, gih, lo tanding ama dia, dia jago banget asli."

Shaina, cewek tukang panco menggemparkan sekolah. Sejujurnya Shaka bosan sekali dengan fakta itu. Entah Shaina punya ilmu apa Shaka tidak ingin tau-menau, yang pasti Shaka malas sekali jika disuruh membaur dengannya. Dia tidak sepaham dengan Shaka. Dia suka menjadi pusat perhatian, sementara Shaka sebaliknya.

"Ayo, Ka, keburu bel!" Tanpa aba-aba Jafar langsung menarik bahu Shaka menuju kelas sepuluh IPA-2 di ujung koridor itu. Hingga menembus kerumunan murid-murid dan masuk ke dalam. Suasana berisik akan bermacam teriakan cewek kelas itu, karena Shaina lagi-lagi mampu mengalahkan cowok kelas sebalah dan yang terakhir itu.

"Ehm, hai, Shaina!" Jafar setengah mengeja nama yang tertera pada name tag seragam itu, sebagaimana murid-murid meneriakkan tadi. "Shaina, lo hebat banget ya?"

Tampak gadis itu tersenyum tipis usai meneguk air minumnya. "Hebat apanya? Cuma olahraga doang."

"Panco sekali lagi dong, sama Shaka, pake taruhan tapi," usulan Jafar mengundang pelototan Shaka tapi tidak digubris olehnya. "Gimana, mau gak? Yakin seru deh."

"Sori, maksud lo taruhan apa ya?" Shaina mengerutkan kening masih terduduk di bangkunya. Lambat laun murid-murid yang mengerubungi kelasnya berangsur pergi satu per satu bersama dengan decakan kagum tiada henti.

"Gini, kalo lo yang menang, nanti Shaka bakal traktir lo makan siang. Tapi, kalo misalnya Shaka yang menang..."

Shaka menggeram pelan, merasa tidak enak mendapati tatapan horor di mata Jafar. Pasalnya, keponakannya itu suka aneh-aneh dan bertindak semau udelnya sendiri.

Seperti yang dulu-dulu pernah terjadi selama keduanya tumbuh bersama di sekolah yang sama pula. Jafar suka nyodorin Shaka dalam hal apapun, termasuk soal cewek. Jafar paling sering membuat akal-akalan untuk mencomblangkan Shaka dengan cewek yang berbeda supaya Shaka keluar dari zona nyamannya. Nyatanya, sampai detik ini juga, tidak ada satupun yang berhasil.

Shaka masih sendiri, dan tak ada niat pacaran. Mungkin hanya itu yang tidak diwariskan oleh Zendi, sifat playboy.

"Kalo Shaka yang menang?" Shaina menatap bergantian dua cowok itu.

"Kalo misalnya Shaka yang menang ... kalian PDKT!"

"Hah?!" Shaka dan Shaina memekik bersama.

"Cuma main-main doang kok. Shaka jomblo, lo jomblo juga, kan? Sesama jomblo yaudah gass aja, PDKT. Paling engga kan kita mengurangi populasi jomblo di muka bumi ini, hehehe." Jafar tertawa garing, semakin dihujani pelototan tajam oleh Shaka, sesekali Shaka melirik ke arah Shaina yang juga mendadak kehabisan oksigen dan harus meminum banyak-banyak air dalam botolnya.

"Gua gak mau," putus Shaka.

"Ayolah, Ka." Pinta Jafar memelas.

"Sekali enggak, ya, enggak."

"Huuu! Dasar cemen lo!" Kalimat itu bisa terlontar kilat dari bibir Shaina. Akibatnya, Shaka langsung memandangnya seakan menusuk-nusuk, disertai muka datar seperti biasanya. Tapi Shaina hanya acuh tak acuh saja menanggapi itu.

"Kita gak sepadan," kata Shaka nyaris tak terdengar.

"Pantes aja namanya Shaka, orangnya takut kaya kena sakarotul maut, hahaha. Padahal cuma adu panco doang. Huu, dasar jiper!" Shaina tertawa seakan meremehkan. Karena memang hanya Shaka, cowok di kelas itu yang belum pernah sekali pun beradu panco dengan Shaina.

"Oke."

Terdesak, dan menyangkut harga diri. Shaka spontan melepas tas punggungnya dan melempar ke bangku di belakang, lalu menyodorkan tangan kanannya dengan siku bertumpu di atas meja itu. Aneh, Shaina bagaikan diperdaya oleh tatapan Shaka yang begitu tajam bukan main, hingga susah payah Shaina menelan ludah dan ragu-ragu saat hendak menyambut tangan kekar itu.

Mati gaya. Dingin. Sensasi itu kentara sekali terasa saat tangan mereka menempel dengan jemari saling mengerat. Jafar seketika berkoar-koar kala itu, hingga mengundang murid-murid lain berhambur mendekat dan mengerubungi bersama bangku Shaina. Dan, lima menit sebelum bel hari ini mungkin akan menjadi catatan sejarah di kamus hidup Shaka. Berurusan dengan cewek.

Keduanya menarik napas dalam sebelum akhirnya..

"Fighting!" Seru Jafar bagai wasit.

Sorakan kencang pecah dalam sekejap saja. Shaka dan Shaina mengerahkan tenaga dalam, bertarung dengan sengit saling menekan dan menjatuhkan satu sama lain perlahan-lahan. Shaina sampai menggigit bibir rapat-rapat merasakan tangannya nyaris ingin hancur karena remasan genggaman Shaka yang sangat amat sesak.

"SHAKA! SHAKA! SHAKA!"

"SHAINA! JANGAN KALAH!"

Riuh tepuk tangan mendominasi suasana. Sepertinya, keadaan akan berbalik. Jika menit-menit lalu Shaina menghipnotis cowok-cowok dengan tatapan teduh dan senyum paling manis yang ia punya, maka sekarang keadaan jungkir balik. Dengan mata elangnya, Shaka mengintimidasi Shaina tak tanggung-tanggung, tak peduli gender. Karena Shaka sudah diremehkan jadi ia bertekad bulat harus memenangkan adu panco ini.

"Argh!" Shaina menggeram kesal seraya mencengkram tepi bangku. Detik-detik yang terlewati, lama-lama pertahanan otot lengannya mulai melemas seakan ingin putus. Sementara Shaka terus menekan tangannya kuat-kuat hingga memiring dan sedikit demi sedikit semakin mendarat mendekati permukaan meja.

"SHAKA! AYO, KA! PEPET TERUS!" Jafar memukul bangku bertubi-tubi untuk membakar semangat Shaka. Meskipun dari awal Shaka juga sudah menebak. Secara logika, dimana-mana kekuatan cowok akan lebih besar dari pada cewek. Tapi Shaina menantang apa boleh buat, Shaka hanya mengikuti permainan itu.

"Argh! Gue.. pasti.. menang!" Desis Shaina terputus-putus. Dan, samar-samar senyum penuh arti terbit di bibir Shaka, melihat Shaina begitu mati-matian mempertahankan tangan mereka agar mengambang di udara. Sampai tiba waktunya kenyataan berbicara ..

Bruk!

Persis. Shaka berhasil menjatuhkan tangan Shaina di hadapan teman-teman, bertepatan dengan bunyi bel masuk dikumandangkan dengan nyaringnya. Masih tidak percaya, Shaina terperangah memperhatikan tangan kekar Shaka menahan di atas tangannya, disaat sorakan kencang di sekeliling menggebu-gebu terutama Jafar.

"YIIHAA.. AKHIRNYA SHAKA PUNYA GEBETAN!" Jafar tertawa terbahak-bahak bagaikan di atas angin.

Detik itu juga Shaka melepaskan tangannya dari Shaina. Mendadak matanya membola saat bertemu pandang dengan gadis itu. Jadi, taruhan itu sungguh-sungguh? Shaka harus melancarkan PDKT dengan Shaina? Konyol sekali. Mungkin karena sudah terlalu miris dan freehatin ikut meratapi ke-jomblo-an Shaka, Jafar jadi merepotkan diri sendiri menjadi mak comblang untuk Shaka.

Selama pelajaran Matematika berlangsung, kerap kali Shaina menengok ke belakang-tempat duduk Shaka. "Mestinya tadi lo tuh kalah aja. Bukan malah menang gimana, sih?! Taruhan lo sama Jafar itu gak banget tau, gak?"

"Berisik."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Nana Kitty

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Pemuas Nafsu Keponakan

Pemuas Nafsu Keponakan

kodav
5.0

Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku