Seorang istri yang merasa diabaikan memulai hubungan dengan pria yang ia temui secara tidak sengaja. Namun, saat hubungan itu semakin dalam, ia harus menghadapi konsekuensi yang akan mengubah hidupnya dan keluarganya selamanya.
Nadira duduk di ujung tempat tidur, mata terpaku pada layar ponselnya yang gelap. Suasana kamar itu sunyi, hanya ada suara detak jam yang perlahan mengisi kekosongan malam. Aryo, suaminya, belum pulang. Sudah hampir tengah malam, dan meskipun Nadira tahu jadwal kerja suaminya yang padat, hatinya tetap merasa terabaikan.
Ia memeluk bantal yang kini terasa dingin, jauh dari kehangatan yang dulu selalu ia rasakan ketika Aryo ada di sampingnya. Dulu, mereka adalah pasangan yang selalu saling berbicara tentang apa saja, merencanakan masa depan, atau bahkan sekadar berbagi tawa tentang hal-hal sepele. Namun, akhir-akhir ini, semuanya berubah. Aryo semakin terjebak dalam rutinitasnya, dan Nadira merasa seperti bayangan dalam hidup suaminya.
Di meja makan, ada sisa makan malam yang sudah dingin. Biasanya, Aryo akan duduk di sana, menikmati makanannya sambil mendengarkan cerita-cerita ringan dari Nadira tentang anak-anak mereka atau hal-hal kecil yang terjadi sepanjang hari. Tapi malam ini, meja itu kosong, hanya ada piring-piring yang tak tersentuh, sama seperti perasaan Nadira-terlupakan.
Tangan Nadira mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa lelah yang tiba-tiba datang. Ia sudah mencoba untuk tidak berpikir buruk, untuk tidak merasakan kekecewaan setiap kali Aryo pulang terlambat atau tidak memberi kabar. Namun, malam ini, kesendirian itu terasa lebih pekat.
Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ke saat-saat indah mereka bersama. Bagaimana mereka dulu saling mendukung, berbagi mimpi, bahkan menghadapi segala rintangan bersama. Aryo yang dulu penuh perhatian, yang selalu ada untuknya di saat-saat terburuk, kini terasa seperti orang asing. Apakah benar ia hanya sibuk dengan pekerjaan, atau ada hal lain yang sedang terjadi?
Dengan gelisah, Nadira memeriksa ponselnya sekali lagi, berharap ada pesan dari Aryo, meskipun ia tahu itu mungkin tidak akan terjadi. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Hanya sebuah notifikasi yang memberitahunya bahwa Aryo sudah berjam-jam online di pekerjaannya, menandakan bahwa suaminya lebih memilih bekerja daripada kembali ke rumah.
Teringat akan percakapan terakhir mereka, saat Aryo dengan dingin mengatakan bahwa ia butuh waktu untuk fokus pada karirnya. Waktu itu, Nadira hanya bisa tersenyum pahit dan mengangguk, meskipun hatinya terluka. Kini, rasa sakit itu kembali menggelayuti dirinya, memaksa pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ia coba untuk tahan.
Apakah pernikahan mereka hanya sebuah rutinitas yang sudah kehilangan maknanya? Apakah Aryo masih peduli padanya, atau ia hanya terjebak dalam dunia yang berbeda, dunia yang tidak ada tempat untuk Nadira?
Nadira memandang keluar jendela, melihat langit malam yang gelap. Hening. Seperti hidupnya saat ini. Hening, namun penuh dengan kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia tahu, suatu saat, perasaan ini harus dihadapi, entah bagaimana caranya. Namun, untuk malam ini, ia hanya bisa menunggu, berharap kehadiran Aryo dapat mengusir rasa sepi yang semakin membenamkan hatinya.
Namun, dalam hati kecilnya, Nadira mulai meragukan apakah ia masih bisa menunggu selamanya.
Waktu terus berlalu. Nadira masih duduk di tempat tidur, namun kali ini matanya tertuju pada jam dinding yang kini menunjukkan pukul 12:30 malam. Tidak ada tanda-tanda Aryo akan pulang dalam waktu dekat. Tiba-tiba, ponsel di tangan Nadira bergetar, membuatnya terkejut.
Dia segera melihat layar ponselnya dengan harapan tinggi, tapi ternyata hanya sebuah pesan masuk dari grup keluarga besar yang berisi percakapan ringan tentang anak-anak mereka yang sedang tidur. Nadira merasa sedikit kecewa, namun ia tidak ingin terlalu terbawa perasaan. Dalam hatinya, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin Aryo sedang terlalu sibuk untuk memberi kabar.
Namun, detik demi detik berlalu, dan hatinya semakin tertekan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menghubungi Aryo. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia mengetik pesan:
"Sayang, kau dimana? Aku sudah menunggu di rumah."
Dia menunggu beberapa detik, namun pesan itu tetap terlihat "terkirim", tanpa tanda-tanda dibaca. Nadira menatap layar ponselnya, seakan berharap ponselnya bisa memberi jawaban atas kebingungannya. Namun tidak ada yang muncul.
Tiba-tiba, pintu depan terdengar dibuka. Nadira cepat-cepat mengangkat wajahnya, harapan muncul kembali di matanya. Aryo melangkah masuk dengan langkah terburu-buru, meletakkan tas kerjanya di meja dan melepas sepatu dengan gerakan yang terbiasa. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kehangatan atau perhatian seperti dulu.
Nadira berdiri perlahan, mencoba untuk tersenyum meski hatinya cemas.
"Selamat malam," kata Aryo datar, sambil melepaskan dasi dan kemeja yang mulai kusut. Nadira menatapnya, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan, tetapi suaranya terasa kosong, seperti teredam oleh ruang kosong di antara mereka.
"Kenapa terlambat?" tanya Nadira dengan lembut, berusaha mengendalikan suara yang sedikit bergetar. Ia tidak ingin terlihat terlalu cemas, meskipun hati kecilnya sudah menduga.
Aryo menyandarkan tubuhnya pada meja, menghela napas panjang. "Pekerjaan, Nadira. Pekerjaan yang tidak ada habisnya," jawabnya sambil memijat pelipisnya, seolah-olah kata-kata itu sudah menjadi mantra yang ia ucapkan setiap hari.
Nadira menundukkan kepala sejenak, berusaha menahan perasaan yang mulai melonjak. Ia tidak bisa lagi menahan rasa kecewa yang semakin mendalam. Aryo tidak melihatnya, tidak mendengarnya. Pekerjaannya adalah segalanya, sementara ia, istrinya, hanya menjadi bagian dari rutinitas yang terabaikan.
"Bagaimana dengan kita, Aryo? Apa kita hanya akan menjadi dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama?" tanya Nadira, suaranya sedikit gemetar. Tanpa sadar, kata-katanya keluar begitu saja, menuntut perhatian yang selama ini ia dambakan.
Aryo menoleh, matanya yang lelah menatap Nadira dengan kebingungannya. "Apa maksudmu?" Suaranya mulai terdengar tidak sabar.
Nadira menghela napas panjang, tidak tahu harus mulai dari mana. "Aku... aku merasa seperti kita sudah semakin jauh. Aku di sini, merasa sendirian, dan kau hanya sibuk dengan pekerjaanmu. Kita... kita tidak lagi berbicara seperti dulu, tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi perhatian."
Aryo terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Aku sedang bekerja keras untuk masa depan kita, Nadira. Aku tidak ingin kita hidup dalam kesulitan, dan itu membutuhkan waktu dan pengorbanan."
"Dan aku juga berkorban, Aryo," jawab Nadira, suaranya sedikit lebih keras. "Aku berkorban dengan kesendirian ini. Dengan perasaan yang aku pendam setiap hari. Kau pikir aku tidak ingin berbicara denganmu? Aku ingin kita menjadi seperti dulu lagi, Aryo. Aku ingin merasa dicintai."
Tiba-tiba, Aryo mengalihkan pandangannya, seakan tidak sanggup menatap Nadira lagi. "Aku tahu aku tidak sempurna, Nadira. Tapi aku tidak tahu apa yang kau harapkan dari aku. Apa yang bisa aku lakukan? Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan untuk kita, untuk keluarga ini."
Nadira merasakan air matanya mulai menggenang di sudut matanya. Rasa frustasi dan kesepian semakin mencekiknya. Dia ingin meneriakkan semua perasaannya, tapi kata-kata itu terasa begitu berat untuk diungkapkan.
"Kita sudah tidak berbicara, Aryo. Aku merasa... aku merasa kita tidak lagi berhubungan. Kita bukan lagi pasangan yang saling berbagi seperti dulu. Aku tidak tahu bagaimana bisa tetap bertahan seperti ini." Nadira menunduk, menutupi wajahnya dengan telapak tangan, berusaha mengendalikan isaknya.
Aryo terdiam, dan untuk beberapa detik yang terasa sangat panjang, Nadira tidak bisa mendengar apa-apa selain suara napas mereka berdua yang tercetak dalam kesunyian.
"Jadi, apa yang kau inginkan dari aku sekarang?" tanya Aryo pelan, suaranya seolah kehilangan kekuatan.
"Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Aryo," jawab Nadira dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Aku hanya ingin kita kembali saling peduli, saling mendengarkan."
Ada keheningan panjang yang mengikuti, dan untuk pertama kalinya, Nadira merasakan perasaan yang sangat asing-rasa putus asa yang mendalam. Ia tahu, mungkin hal itu sudah terlambat. Mungkin Aryo sudah terlalu jauh, terlalu tenggelam dalam dunia yang hanya bisa dimasuki oleh dirinya sendiri.
Aryo berjalan menuju kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Nadira berdiri terdiam, hanya bisa memandangi punggung suaminya yang perlahan menghilang di balik pintu. Begitu lama mereka tidak berbicara dari hati ke hati, dan sekarang, setelah segalanya terungkap, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Hanya ada kesepian yang mengalir di dalam dirinya. Dan seiring Aryo mengunci pintu kamar mandi, Nadira tahu, untuk pertama kalinya, hubungan mereka mungkin benar-benar telah terhenti.
Bersambung...
Buku lain oleh Ufuk Timur
Selebihnya