/0/29031/coverbig.jpg?v=00208c5b2509ded226403ee5c6c3c406&imageMogr2/format/webp)
Serafina "Fina" Alvera adalah seorang makeup artist berbakat, namun ironisnya, gadis berusia dua puluh empat tahun ini jarang sekali peduli dengan penampilannya sendiri. Selalu terlihat santai dengan kacamata besar dan rambut yang sering dibiarkan tergerai tanpa rapi, Fina lebih nyaman berada di balik meja rias daripada di panggung peragaan busana. Sejak ibunya meninggal saat Fina masih SMA, ia hidup mandiri. Kehilangan orang tua membuatnya cepat dewasa, sementara ayahnya menikah lagi, meninggalkan Fina dengan perasaan sepi namun kuat untuk bertahan. Karier Fina mulai menanjak saat ia dipercaya menjadi makeup artist resmi untuk koleksi seorang desainer ternama, Ibu Valeria. Suatu hari, Ibu Valeria mendatangi Fina dengan sebuah permintaan yang mengejutkan: ia ingin Fina menikahi cucunya. Fina, yang awalnya menolak, akhirnya setuju-meski ia sendiri tidak sepenuhnya mengerti alasan hatinya menerima. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa cucu sang desainer, Radion "Rai" Ardhya, langsung menyetujui pernikahan mereka tanpa ragu. Rai, pria lajang berusia tiga puluh tahun, tampan dan cerdas, sering menjadi incaran banyak wanita. Namun luka masa lalunya membuatnya tertutup dan sulit membuka hati. Ia menerima Fina bukan karena cinta, melainkan karena merasa ia sudah terlalu "senja" untuk menunda pernikahan lagi, dan Fina adalah calon istri yang ditunjuk sebagai yang kedua puluh lima dalam daftar yang dibuat oleh sang nenek. Kini, Fina dan Rai harus menapaki hari-hari pernikahan yang dimulai tanpa dasar cinta, hanya dengan sebuah perjodohan yang diatur oleh orang tua. Bisakah dua jiwa yang berbeda ini menemukan cinta sejati, ataukah mereka akan tetap terjebak dalam formalitas sebuah ikatan yang dipaksakan?
Fina Alvera menatap dirinya sendiri di kaca rias dengan ekspresi setengah malas, setengah bosan. Kacamata besar yang selalu menempel di hidungnya seakan menjadi perisai dari dunia luar. Rambutnya yang sebahu dibiarkan acak-acakan, tidak ada tatanan khusus, seperti refleksi hidupnya sendiri: sederhana, tanpa pamrih, dan sedikit acuh pada penampilan.
"Fina, modelnya sudah siap. Kau ikut makeup-an sekarang?" suara asisten studio terdengar di belakang.
Fina menghela napas panjang. Ia tahu hari ini akan panjang, penuh dengan tekanan. Meski ia seorang makeup artist yang andal, setiap peragaan busana selalu membuatnya merasa terjebak dalam dunia yang bukan miliknya. Dunia glamor, kamera, dan sorotan lampu panggung bukanlah tempat Fina merasa nyaman. Ia lebih suka berada di balik layar, melihat hasil karyanya menghiasi wajah orang lain, tanpa harus tampil di depan orang banyak.
Dengan langkah malas tapi pasti, ia mendekati kursi model. Tangan Fina cekatan menata foundation, eye shadow, dan lipstik dengan presisi yang membuat banyak orang terkagum. Namun, di balik kemampuan profesionalnya itu, ada sisi Fina yang selalu bertanya: "Apakah semua ini sepadan dengan energi yang kuberikan?"
Sejak ibunya meninggal saat Fina baru berusia lima belas tahun, hidupnya berubah drastis. Ayahnya menikah lagi tidak lama setelah itu, meninggalkan Fina dengan rasa sepi yang ia bungkus rapat-rapat. Sekolah, kerja paruh waktu, dan tanggung jawab rumah tangga menjadi teman sehari-hari Fina. Ia tumbuh mandiri, tapi juga menutup diri dari kehangatan yang terlalu dekat. Cinta dan perhatian? Itu adalah hal-hal yang ia pelajari dari jauh, melalui buku atau televisi.
Peragaan busana hari ini berbeda. Desainer ternama, Ibu Valeria, sedang mempersiapkan koleksi terbaru untuk debutnya di kota besar. Fina sudah bekerja dengannya selama tiga tahun terakhir, dan setiap kali Ibu Valeria meneleponnya, ada getaran tegang di dada Fina. Ibu Valeria bukan wanita biasa. Ia cerdas, tegas, dan punya cara sendiri untuk menilai seseorang-seringkali membuat Fina merasa kecil, meski dalam hal kemampuan makeup, Fina selalu di atas rata-rata.
Saat Fina selesai merapikan lipstik model terakhir, Ibu Valeria muncul di pintu studio, wajahnya serius tapi tenang. "Fina," panggilnya. Nada suara itu membuat jantung Fina berdebar. Tidak ada desainer yang pernah memanggilnya dengan nada seperti itu kecuali ketika ada hal penting, kadang menakutkan.
"Hari ini, aku ingin bicara sedikit di luar studio," lanjut Ibu Valeria. Fina menelan ludah, mengikuti langkah desainer itu ke ruang privat.
Begitu pintu tertutup, Ibu Valeria menatap Fina dengan mata tajam. "Fina, kau tahu aku menghargai bakatmu. Kau selalu profesional, cekatan, dan kreatif. Tapi aku di sini bukan untuk membicarakan pekerjaan. Aku ingin membicarakan sesuatu yang lebih... pribadi."
Fina menatapnya bingung. "Pribadi, Bu? Maksud Ibu?"
Ibu Valeria menghela napas. "Fina... aku ingin kau menikahi cucuku."
Kata-kata itu membuat Fina terdiam. Seolah dunia berhenti berputar sejenak. Ia menatap desainer itu, mencoba menangkap nada bercanda atau serius, tapi tidak ada celah untuk keraguan.
"Maaf, Bu... maksud Ibu?" Fina mencoba terdengar tenang, meski jantungnya berdegup kencang.
"Iya, kau tidak salah dengar. Cucu ku-Radion Ardhya. Aku ingin kau menjadi calon istrinya."
Fina menelan ludah lagi. Rasanya seluruh dunia seperti runtuh dalam hitungan detik. Bagaimana mungkin seorang wanita seperti dirinya-hidup sederhana, acuh pada penampilan, dan penuh luka masa lalu-diminta menikahi cucu seorang desainer ternama, yang tentu saja sosoknya sudah menjadi idola banyak wanita?
"Bu... ini serius?" Fina hampir berbisik.
Ibu Valeria mengangguk. "Sangat serius. Dan yang lebih penting, Radion juga setuju."
Fina menatap mata Ibu Valeria, mencoba mencerna informasi itu. Bagaimana mungkin? Ia bahkan belum pernah bertemu Radion secara langsung. Ia merasa dunia menertawakannya, menguji kesabarannya.
Keesokan harinya, pertemuan dengan Radion pun terjadi di rumah Ibu Valeria. Fina datang dengan kacamata besarnya, rambut acak-acakan, dan sikap defensif. Ia merasa canggung berada di ruangan mewah yang penuh furnitur antik, lukisan, dan aroma parfum mahal.
Radion, yang berdiri di depannya, tampak tenang tapi karismatik. Wajahnya tampan, dengan rahang tegas dan mata yang tajam, tapi ada kesedihan tersembunyi yang membuatnya berbeda dari pria tampan lainnya. Ia tersenyum sekilas pada Fina.
"Fina, ya?" suara Radion rendah, tapi penuh perhatian. "Aku dengar banyak tentangmu dari nenek."
Fina membalas dengan anggukan hati-hati. "Iya... Radion."
Mereka duduk, berbicara, tapi percakapan terasa canggung. Radion sopan, tapi ada jarak yang jelas di antara mereka. Fina menyadari bahwa meski ia digadang-gadang menikahi pria tampan ini, cinta bukanlah dasar yang mengikat mereka.
"Kenapa nenek memilihmu untukku?" Radion tiba-tiba bertanya, matanya menatap jauh ke luar jendela. "Aku sudah terlalu tua untuk menunggu lagi. Kau... kau yang kedua puluh lima, Fina. Menurut nenek, kau cocok."
Fina terkejut. "Kedua puluh lima?"
Radion mengangguk. "Ya. Aku rasa ini hanya formalitas, tapi aku ingin kau tahu posisi kita dari awal. Tidak ada romantisme, tidak ada cinta. Hanya... perjodohan."
Fina menelan ludah. Perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Antara takut, bingung, dan entah mengapa ada sedikit rasa penasaran tentang pria ini yang seakan memiliki dunia sendiri.
Hari-hari berikutnya, Fina mulai terbiasa dengan rutinitas baru. Setiap pertemuan dengan Radion terasa seperti latihan menghadapi dunia yang tidak familiar. Mereka makan bersama, berbincang sebentar, dan kadang hanya diam di ruang yang sama. Radion tetap menutup dirinya, sementara Fina berusaha tidak terlalu terlihat gugup.
Namun, ada satu hal yang Fina sadari: Radion bukan pria biasa. Ada trauma yang tersembunyi, luka yang belum sembuh, dan sebuah kerinduan pada hal yang hilang. Fina merasa tertantang untuk mengenal sisi lain dari pria itu, meski ia tahu batasan mereka jelas-perjodohan, formalitas, dan kesepakatan neneknya.
Sampai suatu malam, saat Fina tengah membersihkan kuas makeupnya, ponsel bergetar. Pesan dari Radion muncul: "Bisa kita bicara sebentar? Di balkon rumah nenek."
Fina menatap layar, hatinya berdegup kencang. Ia tahu ini bukan pesan biasa. Dengan ragu tapi penasaran, ia berjalan menuju balkon, dan melihat Radion berdiri di sana, menatap langit malam yang penuh bintang.
"Fina..." suara Radion lirih, hampir seperti bisikan. "Aku... tidak tahu kenapa, tapi aku ingin kau tetap di sini. Bukan hanya karena perjodohan. Aku... merasa nyaman denganmu."
Fina terdiam, tidak percaya. Kata-kata itu berbeda dari sikap formal yang selalu ditunjukkannya. Ada kehangatan yang tiba-tiba muncul, membuat dada Fina berdebar tak menentu.
Malam itu, mereka berdua berdiri diam di bawah sinar bulan, tidak berbicara banyak, hanya merasakan kehadiran satu sama lain. Fina tahu, perjodohan yang mereka jalani bisa saja berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit-atau mungkin, sesuatu yang bisa mereka sebut... awal dari cinta.
Tapi, apakah dua hati yang dipertemukan bukan karena pilihan sendiri, bisa bertahan menghadapi kenyataan dan luka masa lalu? Fina menatap Radion, mencoba menangkap sinyal dari pria yang terlihat begitu sempurna tapi penuh misteri itu. Dan ia sadar, perjalanan mereka baru saja dimulai.
Suara langkah kaki di atas marmer bergema di aula rumah besar keluarga Ardhya. Rumah itu terlalu mewah untuk ukuran siapa pun, bahkan untuk orang yang terbiasa dengan kemewahan. Setiap sudutnya dipenuhi pajangan kristal, lukisan berbingkai emas, dan bunga segar yang selalu berganti setiap hari. Namun bagi Fina, rumah itu terasa asing. Dingin.
Sudah tiga hari ia tinggal di rumah Ibu Valeria setelah kesepakatan pernikahan ditandatangani di hadapan notaris. Tiga hari pula ia berusaha menyesuaikan diri dengan suasana rumah yang penuh tata krama tapi minim kehangatan. Semua orang di rumah itu memperlakukannya dengan sopan-terlalu sopan, sampai-sampai terasa seperti jarak tak kasat mata yang membatasi setiap geraknya.
Pagi itu, Fina berdiri di depan cermin besar di kamar tamu yang kini menjadi kamarnya. Ia menatap bayangan dirinya yang tampak canggung dalam balutan gaun sederhana berwarna krem. Rambutnya kali ini diikat rapi atas permintaan Ibu Valeria. Kacamata besar masih bertengger di hidungnya-sesuatu yang tak akan ia lepaskan meski semua orang bilang itu membuatnya "kurang feminin".
Ketika bel berbunyi, ia hampir menjatuhkan sisir dari tangannya. Ia tahu siapa yang datang.
Radion.
Ia datang menjemput untuk sesi makan siang keluarga-pertemuan pertama mereka di depan para kerabat besar keluarga Ardhya.
Fina menegakkan tubuh. Ia tidak tahu kenapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam diri pria itu-Radion-yang selalu membuatnya tidak nyaman sekaligus penasaran. Ia mengetuk pelan dadanya sendiri, mencoba menenangkan diri.
Pintu kamar diketuk. "Fina, kau siap?" suara dalam nada bariton terdengar dari balik pintu.
"Iya... sebentar."
Ketika pintu dibuka, Radion berdiri di sana dengan setelan jas abu-abu lembut, dasi hitam yang terikat sempurna, dan tatapan mata yang tenang tapi menusuk.
"Kau tidak harus terlihat gugup," ujarnya tanpa senyum. "Ini cuma makan siang keluarga."
"Kalimatmu barusan malah bikin aku tambah gugup," jawab Fina pelan, tapi jujur.
Sudut bibir Radion sedikit terangkat, entah mengejek atau tersenyum samar. "Ayo."
Mobil hitam mereka meluncur ke arah restoran hotel mewah tempat keluarga besar sudah menunggu. Di sepanjang perjalanan, Fina lebih banyak diam, menatap keluar jendela, sementara Radion sibuk dengan ponselnya. Hening yang kaku memenuhi kabin mobil.
Baru setelah sepuluh menit, Fina memberanikan diri bicara. "Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti. Aku bukan orang yang terbiasa dengan acara formal seperti itu."
Radion menatapnya sekilas. "Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri."
"Itu mudah diucapkan, tapi tidak semudah dilakukan di depan orang-orang yang menilai dari cara duduk dan nada bicara," sahut Fina, lalu menunduk.
Radion menatapnya lebih lama kali ini, lalu meletakkan ponsel di pangkuannya. "Kalau mereka bertanya kenapa aku setuju menikah denganmu, jawab saja karena aku lelah menolak."
Fina mengerutkan kening. "Itu alasanmu?"
"Itu jawaban paling jujur yang bisa kutawarkan."
Ada jeda panjang setelah itu. Tidak ada yang berbicara lagi hingga mobil berhenti di depan pintu hotel.
Begitu mereka melangkah ke ruang makan VIP, semua kepala menoleh ke arah mereka. Fina bisa merasakan tatapan-tatapan menilai dari sepupu-sepupu Radion dan tante-tante elegan yang duduk berderet rapi di meja panjang. Ibu Valeria tersenyum ramah dari ujung meja, mempersilakan mereka duduk.
"Fina sayang, duduklah di sebelah Rai."
Fina mematuhi, menatap piring porselen di depannya dengan gugup. Sementara itu, suara bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara para tamu.
"Dia makeup artist itu, ya?"
"Cantik sih, tapi... agak terlalu polos untuk keluarga ini."
"Kasihan Rai, mungkin neneknya terlalu memaksa."
Fina pura-pura tidak mendengar, tapi pipinya mulai memanas.
Radion, di sisi lain, tampak tenang-tenang saja. Ia bahkan sempat menyesap air mineralnya dengan santai, seolah semua komentar itu tak berarti.
Namun, saat salah satu sepupunya-seorang wanita muda dengan gaun merah menyala-tersenyum sinis dan berkata, "Kau tahu, Fina, di keluarga ini biasanya calon istri diuji dengan pertanyaan-pertanyaan kecil. Hanya untuk memastikan... dia benar-benar pantas," Fina hampir kehilangan kendali.
Tapi sebelum ia sempat menjawab, Radion menatap wanita itu dengan tajam. "Dan siapa yang memutuskan pantas atau tidak? Kau?"
Ruangan mendadak sunyi. Sepupunya hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk dengan serbet.
Fina menatap Radion, sedikit terkejut. Untuk pertama kalinya, ia melihat pria itu membelanya tanpa ragu. Ada sesuatu yang aneh merambat di dadanya-campuran lega dan rasa hormat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Setelah makan siang usai, Fina keluar terlebih dahulu untuk menghirup udara segar di balkon hotel. Ia merasa perlu mengatur napas setelah jam panjang yang penuh tatapan dan komentar tersirat.
Langit mulai mendung. Angin sore berembus pelan, mengibaskan rambutnya yang lepas dari ikatan. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi suara langkah di belakang membuatnya menoleh.
Radion berdiri di sana, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Kau baik-baik saja?"
Fina tersenyum tipis. "Definisi 'baik-baik saja' agak luas, tapi... aku masih bernapas."
Radion mendekat, berhenti satu langkah darinya. "Kau tidak harus memikirkan omongan mereka."
"Aku tidak memikirkannya," jawab Fina cepat, lalu menatap langit lagi. "Aku hanya belum terbiasa berada di tengah orang yang menatapku seperti proyek gagal."
Radion diam beberapa detik sebelum berkata pelan, "Mereka menilai karena mereka tidak tahu apa-apa tentangmu."
Fina tertawa kecil, tapi getir. "Dan kau tahu banyak tentangku?"
"Belum," jawabnya jujur. "Tapi aku ingin tahu."
Fina terdiam. Untuk pertama kalinya, kata-kata pria itu terdengar bukan seperti formalitas, tapi keinginan nyata. Ia menoleh, menatap mata Radion, dan untuk sepersekian detik, waktu terasa melambat. Ada sesuatu di sana-tatapan yang tidak lagi datar dan dingin seperti biasanya.
Namun momen itu terputus ketika ponsel Radion bergetar. Ia menatap layar sejenak, lalu wajahnya berubah. "Aku harus pergi. Ada urusan kantor."
Begitu cepat. Tanpa penjelasan, tanpa janji.
Fina hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Ia tahu, pernikahan mereka nanti tidak akan mudah. Dan hari itu menjadi pengingat betapa jauh jarak antara kenyataan dan dongeng pernikahan yang sering ia lihat di film.
Malam harinya, Fina duduk sendirian di kamar, di depan meja rias yang sama sekali tidak ia sentuh hari ini. Di atas meja, ada amplop putih berisi undangan pernikahan yang baru saja dicetak. Nama mereka tertera di sana dengan tinta perak yang mengilap.
"Serafina Alvera & Radion Ardhya."
Ia menelusuri huruf-huruf itu dengan jari. Terasa dingin. Seperti hatinya sekarang.
Pernikahan ini bukan tentang cinta, pikirnya. Tapi tentang takdir yang dipaksa bertemu di titik yang salah.
Pintu kamar diketuk pelan. Ketika Fina membuka, Ibu Valeria berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut yang berbeda dari biasanya.
"Boleh Ibu masuk?"
"Tentu, Bu."
Ibu Valeria duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Fina yang masih menggenggam amplop undangan. "Kau tampak ragu."
Fina tersenyum hambar. "Mungkin karena aku belum sepenuhnya mengerti mengapa semua ini harus terjadi secepat itu."
Ibu Valeria menatapnya dalam-dalam. "Rai sudah terlalu lama menutup diri. Aku tidak ingin dia menua sendirian. Dan ketika aku melihatmu bekerja, aku tahu... kau punya ketulusan yang bisa menyembuhkan seseorang tanpa harus bicara banyak."
Kata-kata itu menyentuh hati Fina, tapi juga membuatnya takut. Ia tidak ingin menjadi "obat" untuk luka orang lain. Ia sendiri masih belajar menyembuhkan luka dalam dirinya.
"Bu..." Fina ragu-ragu, "bagaimana kalau ternyata aku bukan orang yang tepat untuknya?"
Ibu Valeria tersenyum. "Tidak ada yang tepat di awal, Fina. Tapi dua orang bisa belajar untuk menjadi tepat... kalau mereka mau berjuang bersama."
Keesokan paginya, Fina bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan jendela, menatap halaman luas yang diselimuti kabut pagi. Hari ini jadwal pemotretan prewedding mereka.
Ia mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, sementara Radion-yang datang setengah jam kemudian-tampak rapi dalam kemeja putih dan celana abu-abu muda.
Pemotretan berlangsung di taman rumah keluarga. Fotografer berulang kali meminta mereka untuk lebih "romantis", tapi semuanya terasa canggung.
"Coba lebih dekat, Pak Radion," kata fotografer. "Tangan di pinggang calon istri, mungkin bisa saling tatap."
Radion menatap Fina, tapi bukan tatapan yang hangat-lebih seperti tatapan bingung, tidak tahu bagaimana harus bersikap.
"Kalau aku menatapmu lebih lama, kau tidak akan kabur kan?" ucapnya tiba-tiba.
Fina tersenyum tipis. "Kalau aku kabur, siapa yang mau kau nikahi?"
Tawa kecil keluar dari bibir Radion, dan fotografer langsung mengabadikan momen itu. Klik kamera terdengar, dan entah bagaimana, senyum yang muncul di wajah mereka terlihat paling tulus sejak pertama kali mereka bertemu.
Saat sesi hampir selesai, awan mendung bergulung di langit. Tetes hujan pertama jatuh di bahu Fina, diikuti gerimis yang cepat berubah menjadi hujan deras. Semua orang berlarian mencari tempat berteduh.
Namun Fina tetap berdiri di tengah taman, membiarkan air hujan mengguyur wajahnya. Rasanya seperti cuci bersih dari segala kekakuan yang mengekangnya selama ini.
Radion yang sudah di bawah atap menatapnya dari kejauhan, lalu mendekat perlahan. Ia mengambil jasnya, lalu menyampirkannya di bahu Fina.
"Kau bisa sakit," katanya pelan.
"Aku baik-baik saja," jawab Fina, tapi suaranya bergetar.
Radion menatapnya lama, lalu berkata dengan nada yang nyaris tak terdengar di bawah deras hujan, "Aku tidak tahu kenapa... tapi setiap kali aku melihatmu, aku merasa seperti menemukan sesuatu yang dulu hilang."
Fina menatapnya, hujan menetes dari ujung rambutnya, dan tanpa sadar, ia tersenyum. "Mungkin karena aku juga sedang berusaha menemukan diriku sendiri."
Hujan terus turun, tapi untuk pertama kalinya sejak perjodohan itu dimulai, udara di antara mereka tidak lagi dingin.
Ada keheningan baru-keheningan yang tidak menakutkan, melainkan menenangkan. Seolah dua hati yang terluka perlahan mulai belajar berdetak dalam irama yang sama.
Dan entah bagaimana, Fina tahu: pernikahan ini mungkin memang dimulai tanpa cinta, tapi bukan berarti cinta tidak bisa tumbuh di dalamnya.
Bab 1 modelnya sudah siap
27/10/2025
Bab 2 Tiga hari setelah pemotretan
27/10/2025
Bab 3 Hari Senin pagi itu terasa berbeda
27/10/2025
Bab 4 Hari ini ia mendapat pekerjaan besar
27/10/2025
Bab 5 semuanya terasa seperti rumah tanpa suara
27/10/2025
Bab 6 mencintai Rai secara terang-terangan
27/10/2025
Bab 7 masalah belum selesai
27/10/2025
Bab 8 menguasai dirinya
27/10/2025
Bab 9 Sejak beberapa hari terakhir
27/10/2025
Bab 10 kehangatan itu terasa palsu
27/10/2025
Bab 11 berharap bisa menemukan ketenangan
27/10/2025
Buku lain oleh Nur Hasanudin
Selebihnya