/0/28985/coverbig.jpg?v=20251204205344&imageMogr2/format/webp)
Setelah insiden penembakan brutal yang membuat kekasihnya terbaring koma, Rafael Von Ardent bersumpah untuk menghancurkan keluarga yang menjadi dalangnya-keluarga Elmore, salah satu dinasti bisnis paling berkuasa di Eropa. Rafael dikenal sebagai pria berhati dingin dan bertangan besi-pemimpin organisasi bayangan yang menguasai jalur senjata dan informasi. Di balik setelan mahal dan tatapan dinginnya, ada dendam yang membakar setiap langkahnya. Sasaran utamanya kini bukan hanya harta dan nama besar keluarga Elmore, tapi juga Lyra Elmore, putri satu-satunya keluarga itu. Namun rencananya berubah ketika gadis itu tidak seperti yang Rafael bayangkan. Alih-alih sombong dan penuh keangkuhan, Lyra justru tampak ketakutan tapi berani, rapuh tapi menantang. Sebagai bentuk penghinaan dan balas dendam, Rafael menjadikannya tawanan sekaligus pelayan pribadi di kediamannya yang dijuluki The Black Fortress. Hari demi hari, peran Lyra yang awalnya hanya pelayan perlahan bergeser-menjadi wanita yang selalu berada di sisi sang iblis itu. Tapi di antara ketakutan dan kebencian, mulai tumbuh sesuatu yang tidak seharusnya ada-ketertarikan yang berbahaya, membuat Lyra mempertanyakan siapa sebenarnya yang jahat di antara mereka berdua. Dan Rafael, yang hidupnya dipenuhi amarah, mulai menyadari: mungkin dendamnya telah berubah arah-menjadi sesuatu yang lebih mematikan dari peluru mana pun-cinta yang terlarang pada musuhnya sendiri.
Hujan malam itu turun deras, mengguyur halaman depan rumah megah keluarga Elmore di kawasan elit Zurich. Langit tampak seperti disobek petir, menggema berulang kali, seolah menandai datangnya kutukan bagi keluarga yang selama ini dianggap tak tersentuh hukum dan moral.
Mobil hitam berderet di jalanan basah, menyalakan lampu tembus hujan. Tubuh-tubuh berpakaian hitam keluar, langkah mereka tegas, bersenjata, dan tanpa suara. Di antara mereka, sosok tinggi dengan jas panjang berwarna arang berjalan paling depan-tatapannya tajam, dingin, dan penuh kebencian.
Rafael Von Ardent.
Wajahnya tak menampakkan emosi sedikit pun. Hanya kilatan samar di matanya yang menunjukkan bahwa malam ini bukan sekadar operasi biasa. Ini malam balas dendam-malam yang telah ia rencanakan selama dua tahun sejak kekasihnya, Elara, tertembak dan koma karena ulah keluarga Elmore.
"Pastikan tidak ada yang keluar hidup-hidup," ucap Rafael datar tanpa menatap anak buahnya.
"Siap, Tuan," sahut lelaki di sampingnya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh langit.
Rafael melangkah ke pintu utama rumah Elmore yang dijaga dua pria bersenjata. Namun sebelum mereka sempat bereaksi, dua peluru menembus dada mereka. Tubuh penjaga itu roboh, sementara Rafael hanya lewat begitu saja, menapaki lantai marmer putih yang kini berlumur darah.
Dendam yang ia simpan bukan sekadar ingin melihat keluarga itu menderita-ia ingin mereka merasakan kehilangan yang sama seperti dirinya. Kehilangan seseorang yang dicintai.
Ia sudah menunggu terlalu lama untuk malam ini.
Suara langkah kaki cepat terdengar dari lantai dua. Rafael mendongak, matanya bertemu dengan sosok perempuan bergaun sutra biru yang berdiri di tangga dengan tubuh gemetar.
Lyra Elmore.
Gadis itu tampak seperti lukisan yang dipaksa hidup di dunia yang kejam-kulitnya pucat, rambut cokelat muda menjuntai acak karena ketakutan. Namun di balik ketakutannya, Rafael bisa melihat sesuatu di mata Lyra: keberanian yang tidak seharusnya ada di situasi seperti ini.
"Siapa kau?" tanya Lyra dengan suara bergetar, namun ia tidak berlari. Tangannya memegang pegangan tangga erat-erat, berusaha menahan diri agar tidak pingsan.
Rafael menaikkan dagunya sedikit. "Orang yang keluargamu seharusnya tidak pernah ganggu."
"Kalau kau datang untuk uang, kau tidak akan dapatkannya. Ayahku tidak akan menyerah pada ancaman-"
"Ini bukan tentang uang." Rafael memotong dingin. "Ini tentang darah."
Nada suaranya membuat Lyra menelan ludah. Ia tahu persis apa maksudnya. Sebelum ia sempat berbalik, dua pria berpakaian hitam muncul dari belakangnya, menodongkan pistol.
"Jangan sentuh dia," perintah Rafael cepat. "Dia tidak boleh terluka."
Tatapan Lyra membulat, campuran bingung dan takut. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Rafael menatapnya lama. "Kau akan tahu nanti."
Dan malam itu, Lyra Elmore dibawa keluar rumah yang menjadi tempat masa kecilnya. Hujan menelan suara jeritannya, dan ketika mobil hitam melaju menjauh, rumah besar keluarga Elmore sudah mulai terbakar di belakang mereka.
Udara di The Black Fortress dingin dan berat, seperti tempat itu menolak kehangatan apa pun. Kastil modern itu berdiri di puncak tebing Swiss, jauh dari pemukiman, dikelilingi hutan pinus dan kabut yang tak pernah hilang. Tempat persembunyian, tempat penjara, dan tempat Rafael mengubur sisa-sisa nuraninya.
Lyra terbangun di ruangan gelap beraroma obat dan kayu. Tangannya terikat lembut dengan tali beludru di kursi. Saat matanya menyesuaikan diri, ia melihat sosok Rafael berdiri di dekat jendela besar, menatap badai salju di luar.
"Bangun cepat juga kau," ujarnya tanpa menoleh.
Lyra menelan ludah. "Kau menculikku."
"Kalau kau ingin menyebutnya begitu, silakan." Rafael berbalik perlahan, langkahnya tenang tapi mengancam. "Aku hanya meminjammu. Untuk sementara."
"Untuk apa?" suara Lyra pecah. "Kau pikir ini lucu? Kau membakar rumahku! Apa kau tahu ayahku-"
"-adalah alasan Elara sekarang terbaring di ranjang rumah sakit dengan peluru di tulang belakangnya," potong Rafael tajam. "Ya, aku tahu."
Nama itu membuat Lyra terdiam. Ia tak mengenal siapa Elara, tapi nada Rafael membuatnya mengerti: perempuan itu sangat berarti baginya.
"Kau akan membayarnya lewat aku?" Lyra menatapnya dengan amarah. "Kau pengecut."
Rafael tersenyum miring. "Mungkin. Tapi pengecut ini yang sekarang menentukan apakah kau makan, tidur, atau bernafas."
Lyra mengatupkan rahangnya, menahan air mata. "Kau monster."
"Sudah biasa aku dengar." Rafael berjalan mendekat, lalu melepaskan ikatan di tangannya. "Mulai malam ini, kau akan bekerja di sini. Sebagai pelayan."
Lyra menatapnya tak percaya. "Pelayan?"
"Untukku. Kau akan membersihkan ruanganku, menyiapkan pakaianku, dan memastikan semua kebutuhanku terpenuhi." Ia menatap tajam. "Dan setiap kali kau berpikir untuk melarikan diri, ingat: hanya aku yang tahu apakah keluargamu masih hidup."
"Kau-apa maksudmu mereka masih hidup?" Lyra menahan napas.
Rafael menatapnya dengan dingin. "Itu tergantung padamu."
Hari-hari pertama Lyra di The Black Fortress berjalan seperti mimpi buruk. Ia tidak tahu kapan siang dan malam berganti, karena jendela kamarnya selalu tertutup tirai hitam. Ia diberi pakaian pelayan-gaun hitam panjang dengan apron putih-dan jadwal kerja yang ketat dari kepala rumah tangga, seorang wanita tua bernama Marta yang lebih mirip bayangan daripada manusia.
Namun yang paling menakutkan bagi Lyra bukan aturan atau pengawasan-melainkan kehadiran Rafael. Pria itu seperti bayangan dingin yang selalu muncul tanpa suara. Tatapannya bisa membuat Lyra berhenti bernafas. Ia jarang bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya tajam dan berisi kekuasaan.
Pagi itu, Lyra membawa nampan berisi kopi hitam ke ruang kerja Rafael. Ia menatap pintu kayu besar di depannya, menarik napas, lalu mengetuk perlahan.
"Masuk," suara berat itu terdengar dari dalam.
Lyra mendorong pintu, mencoba menahan gemetar. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku tinggi, dan di tengahnya Rafael duduk di balik meja, membolak-balik berkas.
"Taruh di meja," ujarnya tanpa menatap.
Lyra meletakkan cangkir itu dengan hati-hati. "Ini kopi hitam tanpa gula, seperti yang Tuan minta."
"Bagus. Kau belajar cepat." Rafael mengangkat pandangannya. "Tapi jangan panggil aku 'Tuan'. Itu membuatku terdengar seperti pria baik."
Lyra mengerutkan kening. "Kalau begitu aku harus memanggilmu apa?"
"Rafael saja. Atau kalau kau takut, kau bisa memanggilku 'iblis' seperti semua orang."
Lyra menggigit bibirnya. "Aku tidak takut."
"Oh?" Rafael berdiri, berjalan mendekat hingga hanya berjarak satu langkah. "Jadi kau pikir aku tidak akan menyakitimu?"
Tatapan Lyra menantang, meski napasnya mulai tidak teratur. "Kalau kau mau menyakitiku, kau sudah melakukannya sejak awal."
Rafael menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Kau benar-benar anak Elmore."
Ia berbalik, duduk kembali di kursinya. "Pergi. Aku tidak butuh keberanianmu di sini."
Lyra menatapnya lama sebelum melangkah keluar, dan untuk pertama kalinya ia sadar-ia tidak hanya membenci Rafael, tapi juga penasaran padanya.
Ada sesuatu di balik tatapan dingin itu, sesuatu yang menyembunyikan luka dalam yang bahkan balas dendam tidak bisa sembuhkan.
Malam berikutnya, Lyra terbangun oleh suara keras dari koridor. Ia keluar kamar, mendapati dua anak buah Rafael berlari sambil membawa seseorang yang tampak berdarah di bahu.
"Rafael! Mereka menyerang pos luar!" salah satu dari mereka berteriak ketika masuk ke ruang utama.
Rafael muncul dari tangga dengan pistol di tangan. "Siapa yang berani?"
"Orang-orang Elmore, Tuan. Mereka mencari putri mereka."
Lyra terpaku di tempat, hatinya berdebar keras. Ia mendengar semua itu-ayahnya masih hidup, dan mereka mencari dirinya. Tapi sebelum ia bisa bersuara, Rafael menoleh, menatapnya tajam.
"Bawa dia ke ruang bawah tanah. Sekarang."
"Tidak! Lepaskan aku!" Lyra memberontak, tapi dua pria segera menahan lengannya.
Rafael mendekat, suaranya rendah tapi mematikan. "Kau tidak akan ke mana pun, Lyra. Belum saatnya."
"Kenapa? Karena kau takut aku akan bebas?" ia menantang dengan marah.
Rafael mendekat, menunduk tepat di depan wajahnya. "Karena jika mereka menemukanmu, perang ini akan berubah jadi pembantaian. Dan aku tidak akan biarkan kau jadi alat mereka."
Tatapan mereka bertemu-dua mata yang sama kerasnya, tapi di baliknya, ada sesuatu yang retak.
Dan di tengah kegaduhan itu, Rafael meraih bahu Lyra, suaranya nyaris berbisik, namun menggetarkan.
"Mulai malam ini, kau bukan lagi sekadar tawanan, Lyra Elmore. Kau bagian dari permainanku."
Ruang bawah tanah The Black Fortress dingin dan lembap. Lampu-lampu redup menerangi batu-batu tua yang menjadi saksi bagi ratusan rahasia kelam. Di sanalah Lyra dikurung-tapi bukan di dalam sel. Rafael menempatkannya di ruangan berisi tempat tidur dan tungku kecil.
Ia masuk membawa mantel tebal, meletakkannya di kursi.
"Kau akan tetap di sini sampai semuanya aman."
Lyra memelototinya. "Kau pikir aku akan percaya padamu setelah kau membakar rumahku?"
Rafael menatapnya dengan kelelahan yang aneh. "Kau tidak harus percaya. Tapi kalau aku ingin kau mati, aku sudah membiarkan mereka membawamu."
Hening menyelimuti ruangan. Lyra menunduk, menggenggam tangannya. Suaranya gemetar tapi jujur, "Kenapa aku?"
Rafael menatap nyala api di tungku, tidak menjawab lama. "Karena ayahmu menembak Elara. Karena aku ingin dia merasakan kehilangan yang sama. Tapi..." ia berhenti, menatap Lyra lagi. "Kau tidak seperti mereka."
Lyra terdiam. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan. Antara kebencian, rasa bersalah, dan sesuatu yang samar di dada masing-masing.
"Aku tidak akan menjadi alat balas dendammu," ucap Lyra pelan.
Rafael mendekat, menatapnya dalam. "Sayangnya, kau sudah jadi bagian dari itu sejak malam aku menculikmu."
Ia berbalik, hendak pergi. Tapi sebelum menutup pintu, ia berkata tanpa menoleh, "Dan mulai sekarang, jangan takut pada iblis, Lyra. Tak semua iblis lahir dari kegelapan-ada yang diciptakan oleh manusia seperti keluargamu."
Malam itu, Lyra duduk di ranjang batu, menatap api yang berkedip di tungku. Kata-kata Rafael berputar di kepalanya. Ia tak tahu mana yang lebih berbahaya-kebenciannya pada pria itu, atau rasa ingin tahunya pada sisi manusia yang tersembunyi di balik julukan Iblis Hitam.
Sementara di lantai atas, Rafael berdiri di balkon, menatap langit berbintang dengan mata lelah.
Ia menatap foto Elara di tangannya-wajah lembut perempuan yang tak pernah sadar dari koma.
"Maafkan aku," bisiknya lirih. "Aku berjanji akan menuntaskan ini. Tapi... kenapa rasanya aku mulai kehilangan arah?"
Hujan salju turun perlahan, menutupi jejak darah di halaman kastil.
Dan di dalam dinginnya malam Swiss, dua jiwa yang seharusnya saling menghancurkan justru mulai terikat oleh sesuatu yang lebih dalam dari dendam.
Suara langkah kaki berat bergema di lorong batu yang dingin, mendekat menuju ruang bawah tanah tempat Lyra disekap. Lampu gantung berayun pelan, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Hujan di luar belum berhenti sejak sore, dan dari suara badai di kejauhan, seolah seluruh dunia ikut menahan napas.
Lyra menatap pintu besi yang terbuka perlahan. Sosok tinggi itu masuk, mengenakan jas hitam yang kini ternoda darah di sisi bahu kirinya. Rafael.
Gadis itu langsung berdiri dari ranjang batu. "Kau terluka," katanya refleks, nadanya campuran terkejut dan cemas. Tapi kemudian ia menyesali kata-katanya sendiri. Kenapa ia harus peduli pada pria yang menculiknya?
Rafael menatapnya sekilas, dingin seperti biasa. "Hanya goresan kecil."
Namun Lyra melihat darah segar merembes di kain jas mahalnya. Ia menghela napas dalam, lalu melangkah maju, tangannya sedikit gemetar. "Kau butuh pertolongan medis."
"Aku tidak butuh belas kasihan dari anak Elmore," Rafael menjawab, suaranya serak dan lelah.
Lyra menatapnya tajam. "Ini bukan belas kasihan. Aku hanya tidak tahan melihat orang berdarah-darah di depanku." Ia mendekat lebih jauh, tapi Rafael menahan gerakannya dengan tatapan tajam.
"Berhenti di situ."
Lyra membeku. Hening menggantung di antara mereka, hanya suara hujan dan napas berat Rafael yang terdengar. Tapi sesuatu dalam diri Lyra menolak tunduk. Ia melangkah satu langkah lagi, lalu berkata lirih tapi tegas, "Kau bisa membenciku sesuka hatimu. Tapi kalau kau mati karena luka itu, aku tidak akan diam saja."
Tatapan Rafael bergetar sesaat. Ada sesuatu dalam nada Lyra yang membuatnya sulit menolak. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di kursi kayu di dekat tungku.
"Cepatlah sebelum aku berubah pikiran."
Lyra tidak membuang waktu. Ia mencari kain bersih dari lemari kecil di sudut ruangan, lalu merobek bagian bawah gaunnya untuk membalut luka itu. Rafael membuka jasnya perlahan, menahan desis ketika darah kembali mengalir.
"Pelurunya menembus kulit," Lyra berbisik sambil memeriksa bahu Rafael. "Kau beruntung tidak mengenai arteri."
"Keberuntungan bukan bagian dari hidupku," jawab Rafael dingin, tapi nadanya melemah saat Lyra menyentuh kulitnya dengan tangan lembut.
Ia menggigit bibir menahan nyeri, tapi juga menahan sesuatu yang lebih sulit dikendalikan-getaran aneh yang muncul setiap kali kulit Lyra menyentuhnya. Aroma samar lavender dari rambut gadis itu, napasnya yang berembus di bahu, dan tatapan seriusnya yang tanpa takut-semua terasa berbahaya dengan cara yang berbeda.
"Diam sedikit," kata Lyra lembut. "Kalau kau bergerak, aku tidak bisa bersihkan darahnya."
Rafael menatapnya lama. "Kau tahu, Lyra, kebanyakan orang gemetar di hadapanku. Tapi kau malah memerintahku."
Lyra menatap balik, matanya menyala karena marah dan takut yang bercampur. "Kau bukan Tuhan, Rafael. Hanya manusia yang sedang bersembunyi di balik dendam."
Kata-kata itu membuat Rafael terdiam beberapa detik. Lalu, untuk pertama kalinya, ia tertawa kecil-bukan tawa gembira, tapi pahit. "Kau benar. Tapi dendam adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap hidup."
"Apa itu sepadan?" Lyra menatapnya dalam. "Kau kehilangan seseorang, aku mengerti. Tapi menghancurkan hidup orang lain tidak akan menyembuhkan luka itu."
"Jangan berani bicara seolah kau tahu rasanya kehilangan orang yang kau cintai," Rafael membalas tajam.
Lyra terdiam. Matanya menunduk, tapi kemudian ia berkata pelan, "Aku juga kehilangan. Hanya saja... aku memilih tidak menjadi monster setelahnya."
Rafael terpaku. Ada sesuatu dalam suara Lyra yang membuat dadanya menegang. Ia tidak pernah mendengar seseorang menentangnya seperti itu-bukan dengan kebencian, tapi dengan kebenaran yang ia benci dengar.
Ia menarik napas dalam, lalu menatap api di tungku. "Kau selesai?"
Lyra mengikat perban terakhir. "Sudah."
Rafael berdiri, mengancingkan kemejanya kembali. "Terima kasih," katanya pelan. Tapi sebelum Lyra sempat menanggapinya, ia sudah keluar ruangan, meninggalkan aroma darah dan keheningan yang menggantung.
Hari berganti minggu. Hujan berhenti, tapi kabut di sekitar The Black Fortress tidak pernah benar-benar pergi. Lyra mulai terbiasa dengan rutinitasnya-membersihkan ruang kerja Rafael, menyiapkan makan malam, dan kadang menunggu di ruang tamu besar sambil membaca buku tua dari rak berdebu.
Ia tak lagi selalu dijaga, tapi gerak-geriknya tetap diawasi. Meski begitu, ia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh: Rafael semakin jarang keluar, dan setiap malam, suara dentuman keras dan langkah cepat terdengar dari sayap timur benteng.
Suatu malam, rasa penasaran mengalahkan ketakutan. Lyra keluar diam-diam dari kamarnya, melangkah melewati koridor gelap menuju sumber suara. Ia menahan napas saat mendekat ke sebuah pintu baja besar yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ia melihat Rafael.
Pria itu sedang menembak target di ruangan latihan bawah tanah. Peluh menetes di pelipisnya, napasnya berat, tapi setiap tembakannya tepat sasaran. Di antara desahan napasnya, Lyra mendengar sesuatu yang lebih dalam-kemarahan. Ia menembak seolah berusaha membunuh bayangan masa lalu.
"Ayahmu harusnya mati malam itu," Rafael tiba-tiba berkata tanpa menoleh, seolah tahu Lyra ada di sana. "Tapi dia kabur."
Lyra terlonjak. "Kau tahu aku di sini?"
"Sejak kau membuka pintu." Rafael menurunkan pistolnya, menatapnya dari jauh. "Kau tidak pandai bersembunyi."
Lyra menelan ludah. "Aku hanya ingin tahu kenapa kau selalu melatih diri seperti itu. Kau tidak terlihat seperti orang yang masih butuh latihan."
Rafael tersenyum tipis. "Latihan bukan untuk jadi lebih baik. Tapi untuk mengingat kenapa aku masih hidup."
"Balas dendam," kata Lyra lirih.
"Ya. Dendam," Rafael mengiyakan, matanya dingin. "Dan setiap kali aku menembak, aku membayangkan wajah pria itu-ayahmu."
Lyra menatapnya marah. "Kau pikir dengan membunuhnya semuanya akan selesai?"
Rafael berbalik, berjalan mendekat dengan langkah perlahan tapi mengancam. "Kau pikir tidak? Ketika Elara tergeletak di pelukanku dengan darah di mulutnya, aku berjanji akan membuat dunia Elmore runtuh. Dan aku tidak melanggar janji."
"Lalu aku apa bagimu?" Lyra menantang, matanya berkilat. "Senjata balas dendammu?"
Rafael berhenti di depan wajahnya. "Kau adalah pengingat bahwa mereka harus membayar."
"Kau pengecut, Rafael," ucap Lyra dengan suara bergetar tapi tegas. "Kau menyiksa seseorang yang tidak bersalah hanya karena kau tidak berani menghadapi rasa sakitmu sendiri."
Rafael menatapnya lama. Urat di rahangnya menegang, napasnya berat. Tapi bukan amarah yang muncul di matanya-melainkan pergulatan batin. Sejenak, ia ingin berteriak, tapi sesuatu menahannya. Ia hanya memejamkan mata dan berbalik pergi.
"Pergilah ke kamarmu sebelum aku berubah pikiran," ucapnya rendah.
Lyra tetap diam, menatap punggungnya yang menjauh, lalu berbisik pelan, "Aku tidak takut padamu."
Rafael berhenti di ambang pintu, tapi tidak menoleh. "Suatu hari, kau akan menyesal mengucapkan itu."
Beberapa hari kemudian, badai salju besar melanda daerah itu. Angin menjerit di balik dinding batu, membuat seluruh kastil bergetar. Rafael memerintahkan semua penjaga tetap di dalam, sementara Lyra diperintahkan menyiapkan ruang makan untuk makan malam.
Namun malam itu, sesuatu tak terduga terjadi. Saat Lyra sedang menata meja, suara ledakan keras mengguncang sisi barat kastil. Lampu gantung bergoyang keras, dan sebagian kaca jendela pecah.
"Apa yang terjadi?" seru Lyra, berlari ke arah suara. Tapi sebelum ia mencapai lorong, seseorang menarik lengannya.
Rafael.
"Ke ruang bawah tanah! Sekarang!" perintahnya tegas.
"Apa yang-"
"Tidak ada waktu! Mereka menyerang dari sisi tebing!" Rafael menariknya lebih kuat, memaksanya berlari melewati koridor. Tapi sebelum mereka sampai ke tangga, suara tembakan menggema, peluru menembus dinding batu.
Lyra menjerit, dan Rafael menahan tubuhnya, menunduk bersamanya di balik pilar. Debu beterbangan, suara teriakan dan langkah kaki semakin dekat.
"Siapa mereka?" Lyra bertanya, panik.
"Orang-orang Elmore," jawab Rafael dingin sambil mengokang pistol. "Mereka ingin kau kembali. Tapi mereka tidak akan membawa apa pun kecuali kematian."
Lyra menggenggam lengannya, gemetar. "Kau tidak bisa melawan semua mereka sendirian!"
Rafael menatapnya cepat. "Aku sudah melawan hal yang lebih buruk."
Tiba-tiba suara granat terdengar. Ledakan menggetarkan lantai, dan salah satu dinding roboh sebagian. Rafael menutup tubuh Lyra dengan badannya, melindunginya dari serpihan batu. Tubuh mereka terjatuh bersama, dan sejenak dunia seolah berhenti.
Lyra bisa merasakan detak jantung Rafael berdentum di dadanya, hangat dan cepat. Napas mereka berbaur dalam jarak yang begitu dekat. Ketika ia menatap mata pria itu, ia melihat sesuatu yang tidak pernah ia sangka-ketakutan. Bukan pada musuh, tapi kehilangan.
"Kau baik-baik saja?" Rafael bertanya serak.
Lyra mengangguk cepat. "Aku tidak apa-apa... kau-"
"Aku tidak apa-apa." Ia bangkit, lalu menembak dua kali ke arah pintu yang mulai didobrak. "Ikuti aku!"
Mereka berlari melewati lorong gelap, langkah mereka berpacu dengan suara tembakan yang semakin dekat. Rafael menembak tanpa ragu, menyingkirkan siapa pun yang menghalangi, sementara Lyra berusaha tidak tertinggal.
Akhirnya mereka sampai di lorong sempit menuju sayap utara. Rafael membuka pintu rahasia di balik rak buku besar, lalu menarik Lyra masuk.
Begitu pintu tertutup, suara di luar mereda sedikit. Lorong bawah tanah itu gelap dan berliku.
"Kita akan ke ruang bawah tanah lama," kata Rafael. "Dari sana, ada jalan keluar darurat ke hutan."
Lyra menatapnya, napasnya terengah. "Kau... kau melindungiku."
Rafael menatap balik, dingin tapi mata itu bergetar samar. "Aku tidak membiarkan siapa pun menyentuh apa yang sudah menjadi tanggung jawabku."
"Tanggung jawab?" Lyra hampir tertawa miris. "Kau menculikku, memperlakukan aku seperti budak, lalu sekarang bilang aku tanggung jawabmu?"
"Ya." Rafael menatapnya dalam. "Kau pikir aku akan biarkan orang lain membunuhmu di depan mataku? Tidak. Kalau ada yang pantas menghancurkanmu, hanya aku."
Lyra menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Kau benar-benar tidak tahu caranya menjadi manusia lagi, ya?"
Rafael terdiam. Tatapan Lyra menembus dinding pertahanannya, dan untuk sesaat, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang memenjarakan siapa.
Setelah beberapa menit berjalan dalam gelap, mereka sampai di ruang bawah tanah lama-tempat luas dengan dinding batu berlumut dan udara lembap. Rafael menyalakan obor, lalu memeriksa senjatanya. "Kita tunggu di sini sampai badai reda dan serangan berhenti."
Lyra duduk di batu besar, memeluk lututnya. "Berapa banyak nyawa yang akan hilang malam ini karena kebencianmu dan ayahku?"
Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap api obor dengan tatapan kosong. "Terlalu banyak," gumamnya akhirnya.
Keheningan menyelimuti. Hanya suara hujan deras di luar dan detak jantung mereka yang terdengar samar.
Beberapa menit berlalu, Lyra mendekat perlahan. "Kau bisa mengakhirinya, Rafael. Kau punya kekuatan untuk menghentikan semua ini."
Rafael menggeleng pelan. "Aku tidak bisa berhenti."
"Kenapa?"
"Karena kalau aku berhenti, aku harus mengakui bahwa semua ini sia-sia. Bahwa Elara terluka tanpa alasan. Aku tidak bisa hidup dengan kenyataan itu."
Lyra menatapnya lama, matanya lembut kali ini. "Mungkin Elara tidak ingin kau hidup seperti ini."
Rafael terdiam. Suara Lyra seperti bisikan yang menembus dadanya. Ia tidak tahu kenapa, tapi malam itu, di tengah kehancuran, kata-kata gadis itu membuatnya merasa lebih hidup daripada selama dua tahun terakhir.
Tanpa sadar, Rafael menatap Lyra lama. Rambut gadis itu berantakan, wajahnya pucat, tapi di balik semua itu ada kekuatan yang aneh-sesuatu yang membuatnya sulit berpaling.
"Kau terlalu banyak bicara untuk seorang tawanan," katanya akhirnya.
Lyra tersenyum tipis. "Kau terlalu banyak menyiksa diri untuk seseorang yang katanya sudah mati rasa."
Rafael nyaris tertawa, tapi menahannya. Ia menatapnya dalam, lalu berbisik pelan, "Kau tidak tahu seberapa berbahayanya dirimu, Lyra Elmore."
"Aku tidak takut," jawab Lyra lirih.
"Itu yang membuatmu berbahaya," katanya kembali.
Mata mereka bertemu dalam diam. Untuk sesaat, badai di luar terasa berhenti. Tidak ada kebencian, tidak ada dendam-hanya dua jiwa yang sama-sama rusak, duduk di kegelapan yang sama.
Dan malam itu, Rafael sadar... dendam yang ia pupuk mungkin mulai retak oleh sesuatu yang lebih mematikan daripada peluru-perasaan.
Di luar, badai masih meraung. Tapi di ruang bawah tanah itu, keheningan yang aneh menyelimuti. Lyra menatap api obor, lalu berbisik pelan, "Kau tahu, Rafael... mungkin iblis yang sesungguhnya bukan kau. Tapi luka yang kau pelihara."
Rafael menoleh pelan. "Dan kalau aku ingin tetap jadi iblis?"
Lyra menatapnya, mata mereka bertemu. "Maka aku akan jadi satu-satunya manusia yang berani melawanmu."
Rafael terdiam lama, lalu tersenyum tipis-senyum yang untuk pertama kalinya tidak berbau kebencian.
"Berhati-hatilah, Lyra," katanya pelan. "Karena iblis tidak pernah jatuh cinta tanpa menghancurkan sesuatu."
Dan di tengah badai itu, keduanya tahu-permainan antara pemburu dan tawanan baru saja berubah.
Bukan lagi tentang balas dendam, tapi tentang dua hati yang berjuang di antara cinta dan kehancuran.
Bab 1 rencanakan selama dua tahun
26/10/2025
Bab 2 ada tugas yang menunggunya
26/10/2025
Bab 3 anak buahnya dari rumah sakit tempat kekasihnya
26/10/2025
Bab 4 tempat di mana Lyra sedang berjalan perlahan
26/10/2025
Bab 5 pikirannya melayang jauh
26/10/2025
Bab 6 Ada sesuatu tentang gadis itu
26/10/2025
Bab 7 di ruang tengah
26/10/2025
Bab 8 semua unit siaga penuh
26/10/2025
Bab 9 jumlah mereka jauh lebih banyak
26/10/2025
Bab 10 Pemimpin sebenarnya
26/10/2025
Bab 11 memanfaatkan kelemahan yang tersembunyi
26/10/2025
Bab 12 bekasnya tetap mengingatkan
26/10/2025
Bab 13 aroma kebebasan
26/10/2025
Bab 14 mengalihkan perhatian
26/10/2025
Bab 15 Kita perlu rencana
26/10/2025
Bab 16 kau terlihat gelisah
26/10/2025
Bab 17 Rasanya ada sesuatu yang mendekat
26/10/2025
Bab 18 jas hitamnya basah oleh air hujan
26/10/2025
Bab 19 mereka menargetkan kita
26/10/2025
Bab 20 Kau selalu melihat apa yang tak bisa kulihat
26/10/2025
Bab 21 Musuh ingin menghancurkan kita dari dalam
26/10/2025
Bab 22 tak terkalahkan
26/10/2025
Bab 23 Pilihan Takdir
26/10/2025
Buku lain oleh Nur Hasanudin
Selebihnya