/0/28984/coverbig.jpg?v=20251204205345&imageMogr2/format/webp)
Liyana bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman Rafly dan Nadya, pasangan suami istri yang rumah tangganya nyaris hancur. Semua bermula ketika Liyana secara tidak sengaja menyaksikan perselingkuhan Nadya. Situasi itu membuatnya terjerat dalam sebuah misi rahasia dari Alvin, selingkuhan Nadya, yang ingin Liyana menggoda Rafly-tanpa sepengetahuan Nadya, yang masih menolak menceraikan suaminya. Uang besar yang ditawarkan Alvin begitu menggoda. Liyana, yang menanggung hutang ayah dan kakaknya, tak mampu menolak. Dari titik itu, hidup Liyana mulai berubah. Perlahan, ia mendekati Rafly dengan sikap menggoda, meski awalnya hanya pura-pura. Namun, keluguan dan ketidaktahuannya tentang dunia Rafly justru membuat pria itu mudah terpikat. Tak lama kemudian, Liyana menjadi sosok yang diam-diam mengisi malam-malam Rafly dengan gairah yang tersembunyi. Hari-hari Liyana dipenuhi campuran rasa takut, cemas, dan kenikmatan yang memacu adrenalin. Rahasia demi rahasia terbongkar, dan godaan Rafly yang dominan serta misterius membuat hati Liyana semakin terombang-ambing. Mampukah Liyana menahan perasaannya? Apakah ia bisa tetap kuat menghadapi Rafly, pria yang penuh kendali dan rahasia? Seharusnya Liyana tahu sejak awal bahwa dirinya tidak seharusnya masuk terlalu dalam ke dalam dunia Rafly.
Pagi itu, udara di kediaman megah Rafly dan Nadya terasa lebih berat dari biasanya. Matahari mulai menembus tirai jendela ruang tamu, tapi cahaya hangat itu tak mampu menyingkirkan ketegangan yang menyelimuti rumah itu. Liyana, gadis muda berusia dua puluh dua tahun, melangkah pelan sambil menata meja sarapan. Tangannya gemetar sedikit ketika mendengar suara langkah di lantai atas-suara yang tidak asing baginya, tapi kali ini membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Ia menunduk sebentar, menata piring dengan tangan rapi. Namun, pikirannya melayang pada kejadian semalam. Ia tidak pernah membayangkan bahwa bekerja di rumah tangga keluarga kaya bisa menimbulkan begitu banyak masalah-masalah yang jauh melampaui tanggung jawabnya membersihkan debu atau menyiapkan makanan.
Semalam, Liyana tak sengaja menyaksikan Nadya, istri Rafly, berciuman dengan pria yang bukan suaminya. Tubuhnya kaku saat itu, bukan karena takut ketahuan, tapi karena shock. Mata Nadya tertutup penuh gairah, sedangkan pria itu, yang Liyana kemudian tahu bernama Alvin, menatapnya dengan senyum licik.
Liyana menutup mulutnya agar tidak bersuara, tubuhnya menempel di balik tirai jendela. Ia tahu seharusnya segera pergi, tapi rasa penasaran membuatnya tetap diam. Adegan itu selesai beberapa menit kemudian, dan Nadya serta Alvin pergi tanpa menyadari bahwa ada mata lain yang mengintai.
Sejak saat itu, hidup Liyana berubah.
Hari ini, ketika ia menyiapkan kopi di dapur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal:
"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan membuat kesalahan."
Liyana menelan ludah. Ia tahu pesan itu berasal dari Alvin. Uang besar yang ditawarkan untuk melakukan 'misi' ini membuat hatinya berdebar, meski logikanya menolak. Hutang ayah dan kakaknya menumpuk, dan tawaran itu seolah memberikan jalan keluar. Tapi hatinya berbisik, bahwa ia sedang memasuki dunia berbahaya.
Setelah sarapan, Liyana berjalan menuju kamar Rafly dengan langkah pelan, seolah kebetulan melintas di lorong yang sama. Rafly, seorang pria berusia awal tiga puluhan, tegap, dengan aura dominan yang membuat siapapun merasa canggung di dekatnya, sedang membaca koran di ruang kerjanya.
"Selamat pagi, Pak Rafly," sapa Liyana sambil menunduk, mencoba terlihat wajar.
Rafly menatapnya sekejap, matanya yang tajam seolah menilai sesuatu lebih dari sekadar ucapan sopan. "Pagi," jawabnya singkat, lalu kembali menatap koran.
Liyana menggigit bibir bawahnya, menahan rasa gugup. Misi yang diberikan Alvin adalah sederhana tapi berisiko: mendekati Rafly, membuatnya jatuh hati tanpa Nadya tahu.
Ia tahu ini tidak mudah. Rafly bukan pria sembarangan; pandangan tajamnya bisa menembus hati seseorang dalam sekejap.
Hari itu, Liyana mencoba strategi pertama: ia sengaja menjatuhkan sapu tangan miliknya di depan Rafly. Saat Rafly membungkuk untuk mengambilnya, tangan mereka bersentuhan. Jantung Liyana berdegup kencang. Rafly menatapnya dengan ekspresi datar tapi ada kilatan aneh di matanya, sesuatu yang membuat Liyana merasa terperangkap dan sekaligus penasaran.
"Terima kasih," ujar Liyana, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Rafly mengangguk sebentar. "Hati-hati, jangan sampai terluka."
Kata-kata itu membuat Liyana tersentak. Tidak ada yang menaruh perhatian seperti itu kepadanya sebelumnya, kecuali mungkin ayahnya. Namun, perhatian Rafly terasa berbeda, lebih dominan, lebih intens.
Hari-hari berikutnya, Liyana mulai belajar menyesuaikan diri. Ia sengaja berada di dekat Rafly, menawarkan bantuan saat ia melihat pria itu kesulitan dengan dokumen atau laptopnya. Setiap sentuhan kecil, setiap pandangan singkat, membuat mereka berdua merasakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Liyana merasa seolah sedang berjalan di tepi jurang: setiap langkah bisa membuatnya jatuh, tapi ada sensasi aneh yang membuatnya ingin terus mendekat.
Di sisi lain, Nadya mulai curiga. Perempuan itu mulai menanyakan hal-hal sepele: "Liyana, kenapa kamu sering di ruang kerja Rafly?" Nadya menatapnya dengan mata dingin, seolah menebak sesuatu. Liyana tersenyum manis, pura-pura polos, "Hanya membantu Pak Rafly, Bu." Nadya mengangguk, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. Ada bahaya yang mengintai, dan Liyana menyadari itu.
Malamnya, Liyana menerima telepon dari Alvin. Suara pria itu hangat tapi licik.
"Kamu sudah mulai dekat dengan Rafly?" tanya Alvin.
"Ya... tapi sulit," jawab Liyana jujur. "Dia... berbeda. Tidak mudah tergoda."
Alvin tertawa pelan. "Itulah gunanya kamu. Jangan takut. Gunakan semua yang kamu punya. Ingat, uang yang kita bicarakan bisa melunasi semua hutangmu. Jangan ragu."
Liyana menutup telepon, jantungnya berdegup lebih kencang. Kata-kata Alvin benar, tapi hatinya menolak. Setiap kali Rafly menatapnya, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya tidak ingin lagi hanya 'bermain peran'.
Beberapa minggu kemudian, strategi Liyana mulai membuahkan hasil. Rafly mulai memperhatikannya lebih sering, menanyakan kabarnya, dan bahkan menawarkan teh hangat saat ia terlihat lelah. Liyana merasa bangga sekaligus takut. Ia tahu semakin dekat ia dengan Rafly, semakin sulit untuk kembali.
Suatu sore, ketika hujan turun deras di luar, Liyana menemukan dirinya berada di ruang kerja Rafly lagi. Pria itu menatap hujan dari jendela, tubuh tegapnya terlihat lebih maskulin dalam siluet lampu kuning ruang kerja.
"Kamu sering menatap hujan sendirian?" tanya Liyana, mencoba membuka percakapan ringan.
Rafly menoleh, matanya menatapnya langsung. "Tidak. Tapi kadang hujan membuat semua orang tenang... atau justru gelisah."
Ada jeda yang panjang. Liyana menelan ludah, merasakan ketegangan di udara. Rafly kemudian tersenyum tipis, senyum yang membuat seluruh tubuh Liyana terasa panas.
"Liyana, kamu berbeda. Tidak seperti orang lain di rumah ini," tambah Rafly, suaranya rendah dan lembut tapi tetap ada nada dominan.
Liyana tersentak. Kata-kata itu seperti pisau bermata dua: manis tapi berbahaya. Ia tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa gugupnya. "Hanya mencoba bekerja sebaik mungkin, Pak Rafly."
Namun, di dalam hatinya, ia tahu: ia sudah terjebak. Tidak hanya oleh misi Alvin, tapi oleh dirinya sendiri. Ketertarikannya pada Rafly mulai tumbuh, semakin dalam, dan semakin sulit dikendalikan.
Malam itu, saat Liyana berbaring di kamarnya, pikirannya dipenuhi wajah Rafly-mata tajamnya, senyum tipisnya, suara rendahnya. Ia bertanya-tanya apakah ia mampu menahan diri, atau apakah semua akan berakhir dengan kehancuran.
Hidupnya kini seperti berjalan di tepi jurang. Di satu sisi, ada uang yang bisa menyelamatkan keluarganya. Di sisi lain, ada Rafly, pria yang membuat hatinya bergetar dan pikirannya kacau.
Liyana tahu satu hal pasti: setelah memasuki dunia Rafly, tidak ada jalan untuk kembali ke kehidupan sederhana seperti sebelumnya. Setiap langkah, setiap senyuman, setiap tatapan, bisa menjadi jebakan yang membuatnya jatuh lebih dalam.
Dan ia, Liyana, berada di tengah badai yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bab 1 suara yang tidak asing baginya
26/10/2025
Bab 2 rumah terasa berbeda
26/10/2025
Bab 3 membuat hatinya penat
26/10/2025
Bab 4 memeriksa semua ruangan rumah secara acak
26/10/2025
Bab 5 gedung tua terus terbayang
26/10/2025
Bab 6 Bagaimana aku bisa keluar dari pusaran ini
26/10/2025
Bab 7 Galih menunggu
26/10/2025
Bab 8 ditemukannya
26/10/2025
Bab 9 mengakhiri semuanya
26/10/2025
Bab 10 mereka berpindah tempat
26/10/2025
Bab 11 Pria berjas hitam
26/10/2025
Bab 12 semalaman tak tidur
26/10/2025
Bab 13 Dia mungkin yang memulai semua ini
26/10/2025
Bab 14 Semua rahasia yang kita temukan
26/10/2025
Bab 15 menghubungi anak buahnya
26/10/2025
Bab 16 membiarkan ini terus berlangsung
26/10/2025
Bab 17 Ini akan memberi kita sedikit waktu
26/10/2025
Bab 18 menenangkan dibanding kepastian
26/10/2025
Bab 19 Semua yang kalian sayangi akan berada dalam bahaya
26/10/2025
Bab 20 kekacauan besar
26/10/2025
Bab 21 semuanya kehilangan
26/10/2025
Bab 22 Mereka takut
26/10/2025
Bab 23 kita tidak akan mampu menghentikan
26/10/2025
Bab 24 Rafly membuka pembicaraan
26/10/2025
Bab 25 kunci bertahan hidup
26/10/2025
Bab 26 Satu kesalahan
26/10/2025
Bab 27 Tidak ada ruang untuk emosi
26/10/2025
Buku lain oleh Nur Hasanudin
Selebihnya