Kau Menebar Dusta di Hatiku
etesan yang memukul atap rumah megah Rafly dan Nadya. Suasana rumah terasa berbeda; biasanya ramai dengan ak
pada percakapan semalam dengan Alvin. Pria itu menekankan agar ia mempereratanggu rencana. Rafly harus tergo
pilihan. Namun, setiap kali ia melihat Rafly, hatinya menolak untuk hanya menjadi
sedikit karena hujan yang tidak ia antisipasi. Rambutnya sedikit menem
afly dengan suara rendah, mat
nya cepat, berusaha
annya. Ada jeda panjang sebelum ia berkata, "Hujan
selalu bicara dengan nada yang membuat orang lain meras
ngnya. Ia tahu hari ini akan menjadi sulit. Alvin menekannya, tapi hatinya mu
t rapi, pakaian mahal, senyum tipis yang selalu menyembunyikan sesuatu. Liyana duduk di d
engar lembut. "Aku perhatikan kamu sering berada d
mbantu Pak Rafly, Bu. Terkadang beliau sibuk denga
ipis. "Hm... baiklah. Tapi ingat, rumah in
makin tumbuh. Nadya bukan tipe orang yang mudah ditipu. S
siram. Rafly muncul, payung di tangan, tapi tidak menutupinya sepenuhnya. Hujan menet
janan?" tanya Rafly, m
, Pak," jawabnya cepat
u melangkah lebih dekat, menatap bunga yang sedang ia siram. Tangan Rafly menyentuh batang bunga,
ata Rafly. "Kadang hal kecil itu penting.
ggapi. Setiap kata Rafly terasa seperti ujian, sepe
h selesai, Liyana duduk di kamarnya, p
lvin terdengar serak, penuh gairah
iyana, suaranya rendah. "Tapi d
g benar. Jangan biarkan rasa takut atau perasaanmu menghalangi mi
asa bersalah. Setiap kali ia mendekati Rafly, hatinya tida
kerja. Lampu hangat menyorot wajahnya, membuat bayangan tegas di pipi dan raha
na?" tanyanya, suaranya re
kumen-dokumen ini tersusun rapi," jawab
ngannya agar Liyana mendekat. "Dudukl
p kencang. Ia tahu ini adalah momen penting: Rafly meminta p
at untuk klien besar minggu depan?" tany
, Pak. Karena lebih detail, dan menunjukkan kesiapan kit
. "Bagus. Pandanganmu
ga dominasi. Ia tahu setiap pujian Rafly bukan sekadar pujian biasa; ada kekuatan d
, setiap pandangan, setiap kata Rafly seolah menimbulkan badai di hatinya. Hutang yang menumpuk m
badai ini bar
kan kecil, nada bicara, hingga ekspresi wajahnya. Setiap sentuhan ringan, setiap tatapan taj
n tipis, pandangannya semakin tajam, seolah menembus setiap lapisan kepalsuan. Dan Alv
Rafly, semakin sulit untuk memisahkan perasaan dari misi. Hatinya mulai bertanya-tanya: apakah ia bis
jalan untuk mundur. Setiap langkah membawa risiko, setiap sen
yang mengilap. Liyana duduk di sofa, tangannya menggenggam secangkir teh hangat, tapi pikirannya jauh dari
in sering menatapnya dengan tajam, dan kata-kata yang terdengar manis pun kini terasa seperti pering
li sehari, mengingatkan bahwa Liyana harus terus memikat Rafly. Uang besar dan hutang yang menant
ngan klien penting. Ia sibuk menata dokumen di ruang kerja, ketika terdengar ketukan di pintu. Ra
a tanpa basa-basi, matanya langsung m
i jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk, mulai menat
tubuhnya, aroma maskulin yang tidak bisa ia abaikan. Setiap kali Rafly menatapnya
aranya rendah. Liyana menoleh, dan mata mereka bertemu. Ada i
api pikirannya melayang pada rahasia yang semakin menumpuk di dadanya. Mispur untuk menyiapkan minuman hangat. Tiba
Nadya memulai dengan nada dingin. "Aku melihatmu di r
enyum manis. "Hanya membantu Pak Ra
ti, Liyana. Aku tahu ada yang berubah. Jangan sampai rumah tangga
mudah dibohongi. Kata-kata itu terasa seperti ancaman terselubung, tapi L
ai berkumpul di ruang tamu, terd
arus merasa bahwa dia ingin bersamamu, bukan sekadar tertarik s
etakutan dan rasa bersalah. Setiap langkahny
suasana berbeda. Lampu meja menyorot wajah Rafly, bayangan tegas
tapi penuh kendali. "Aku menghargai ketelitianmu.
menanggapi. Rafly duduk di kursi, tangannya menat
h berani. Jangan tak
dekat dengan Rafly, tapi di sisi lain, hatinya mulai merespon. Ada sesuatu di mata
rsiapan pesta kecil di rumah. Sementara itu, Rafly sibuk dengan rapat penting. Liyana harus berpindah da
mereka tanpa sengaja bersentuhan ketika ia memberikan gelas air. Liyana merasakan kejutan
alu memastikan tekanan tetap ada. "Ingat, ini bukan hadiah. Ini tanggung jawabmu," begitu pes
. Ia memikirkan semua yang terjadi: Rafly, Nadya, Alvin, dan dirinya sendiri. Ia mulai bertanya, apaka
Liyana, jarak mereka terlalu dekat. "Liyana," suaranya r
saya hanya melakukan tugas, Pak," jawabnya cepat, tapi hatinya member
Liyana merasa tubuhnya panas, sulit bernafas. Ada kete
yang curiga, Alvin yang menekan, dan dirinya sendiri yang mulai kehilangan kendali. Hu
dekat, kadang terlalu dominan, membuat Liyana merasa terombang-ambing antara ketakutan dan ketertarikan. Nad
i godaan, dan setiap detik bisa mengubah segalanya. Ia berada di tengah konflik yang semakin kompleks: buk
ak ada jalan untuk mundur. Dan badai yang datang ini baru permulaan