Hati yang Kau Hancurkan Tak Bisa Kembali
asi ruang-ruang istana batu itu. Rafael Von Ardent duduk di ruang kerjanya, memandang dokumen yang berserakan di meja be
oran intelijen tentang keluarga Elmore-bukan karena ia peduli pada kemampuan Lyra, tapi karena ia ingin tetap menempatkannya dalam lin
selalu waspada, tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia memandang Lyra dengan
dari dokumen dan menatap Mar
a, tapi nada kekesalannya tidak bisa d
meja. "Dia siapa? Dia t
ya akses dokumen, ruang kerja, bahkan membiarkannya masuk ke ruang rapat pribadi. An
nya kelam. "Lunak? Aku tidak lun
rbeda. Cara kau menatapnya... semua orang bisa me
yang meragukan apa pun. Lyra tetap tawanan. Tidak lebih, tida
ng anak buahnya yang meninggalkan ruangan. Ia tahu Marcus be
itu, tapi setiap kali ia di dekatku... ada sesuatu yang
rasan fisik, tapi dengan perintah yang akan menjeratnya lebih da
menunduk sop
okumen keluarga Elmore yang disit
ngguk. "Ba
gadis itu membungkuk, mengambil berkas demi berkas. Ada sesuatu dalam postur dan geraka
lirih, "kenapa kau me
epat. Namun matanya tetap terpaku pada Lyra, yang men
nci perasaan itu. Ia menundukkan pandangan ke meja,
biarkan ini terjadi. Lyra
dan angin yang menembus celah-celah dinding batu. Rafael duduk di balkon, memandang bul
eh panas. Ia menatap Rafael sebentar sebelum meletakkan cangkir di tepi
nya diam. "Aku
k merasakan napas pria itu. "Sendiri tidak selalu berarti aman, Rafael,
enatap Lyra. "Kau benar. Tapi sendiri j
Aku mulai mengerti kenapa kau begitu... keras, beg
seperti orang lain. Aku tidak bisa mengan
u bisa memilih. Kau bisa membiarkan seseoran
nyikan dengan dingin, tapi Lyra melihatnya. Ia tahu Rafael mulai
dan pengaruh. Anak buah Rafael mulai mengeluh, secara diam-diam, tentang kedekatannya dengan Lyra. Mereka m
a lebih tegas dari sebelumnya. "Tuan, orang-orang mulai k
li? Aku tidak pernah kehilangan kendali. Lyr
. Mereka melihat... cara kau menatapnya, cara kau
ng batu. "Jangan pernah mempertanyakanku lagi, Marcus. Kalian h
nding batu hitam, hatinya bergejolak. Ia menyadari-Marcus benar. Per
n kemarahan dan rasa frustrasi yang mulai sulit dikendalikan. Tapi setiap pukulan tak pernah cukup. Setiap kali i
yang terjadi padaku?" gumamnya. "Aku membencinya. Aku ingin menghancurkan
pur menjadi satu. Rafael tahu, ia harus memilih: membi
ke ruang kerjanya. Mata abu-abunya ta
kses dokumen karena... aku ingin melihat ba
m. "Kalau itu benar, kenapa aku merasa...
li, tapi kata-kata itu tidak pernah keluar dari mulutnya. Sebagai gan
ngamati juga. Agar tahu seberapa besar kebencian dan k
yang samar-takut bahwa gadis ini mulai membaca dirin
rjalan ke balkon, menemukan Lyra sudah b
tress. Angin malam membawa aroma hujan yang belum lama reda, menembus sela jendela kaca tebal, menyentuh kulitnya dengan dingin yang me
, meski ada sedikit ketegangan di bahunya. Setiap kali Rafael menatapnya dari seberang ruangan, ia merasakan kombinasi rasa takut dan pena
an seminggu lalu, saat ia melihat Lyra berdiri di balkon di tengah hujan, berani namun rapuh, dan ia meny
muncul di ambang pintu, wajahnya tegang. "Tu
tapnya ding
eka tidak senang dengan... kedekatanmu dengan Ly
idak bisa mengakui perasaannya-tidak pada siapa pun, apalagi pada
l akhirnya, nada suaranya tetap din
tidakpuasan terlihat jelas. Rafael berdiri, tubuhnya tegap dan menakutkan. "Apa yang memb
kami hanya... memperingatkanmu. Lyra-tuan terlalu sering membiarkannya dek
ci. "Tak ada yang perlu kalian takutkan! Lyra tetap tawanan! Tidak ada yang beru
ael menatap mereka satu per satu, dingin seperti es yang mengeras. Lalu ia menoleh ke Ly
ir aku lunak karena kau ada di sini. Aku tidak peduli
anya pengingat masa lalu," bisiknya pelan, "kenapa kau terus me
mbentak, tapi kata-kata itu menembus pertahanan dinginnya. Ia menatap Lyra, mata m
okumen yang menunjukkan kekuasaan dan kendalinya. Tapi kekuasaan itu terasa hampa. Bayangan Lyra terus menghantui pikirannya
, merasakan rasa bersalah dan kebingungan yang selama ini ia tekan dengan keras. Ia tahu ia mu
hampir tidak terdengar. "
, dan Lyra berdiri di sana, membawa selimut tebal. "Kau
mata hijau Lyra. "Aku tidak dingin," jawabnya singkat.
Lyra lirih, dan senyumnya samar memb
aan yang mulai menjalar. "Jangan d
tanya Lyra, menatap
, aku takut. Takut kehilangan kendali
yang sama. "Aku tidak takut," gumamnya, meski sua
amanya. "Mungkin kau hanya tidak
Kata-kata itu benar. Ia tidak ingin me
k dokumen yang biasanya hanya dilihat oleh dirinya sendiri. Lyra bekerja dengan tekun, menyusun laporan, memeriksa setiap detail. Ia tahu Rafael mengam
tegang. "Tuan, ini tidak baik. Orang-orang mulai membicarakanmu. Mereka mengatak
ertanyakan, biarkan mereka mempertanyakan. It
tegas. "Tapi tuan, ini bisa menimbu
n mereka. Loyalitas mereka harus tetap ada. D
yang ia tekan begitu lama kini muncul, seperti api yang sulit dipadamka
sana, menatap langit malam. Ia duduk di kursi, selimut m
seharusnya tidak kau pikirkan," u
nya Rafael, berusa
yangkalnya, tapi aku bisa melihatnya
, ingin menegaskan bahwa Lyra hanyalah tawanan-hanya penging
saha menyingkirkan perasaan y
lagi. "Kalau kau terus menyangkal, itu hanya akan menyakitim
itu benar. Tapi bagaimana mungkin ia membiarkan di
hujan dan ketegangan yang hampir bisa dirasakan di udara. Rafael tahu, s
ulai menyerangnya. "Kau tidak mengerti," gumam
r tapi penuh keyakinan. "Mungki
, tidak berbicara banyak, tapi mengetahui satu hal: sesuatu yang berbahaya dan mematikan
perasaan itu akan menuntutnya-dan ia tidak