Pahitnya Pengkhianatan
itu duduk di depan cermin, menyisir rambutnya pelan sambil menatap pantulan dirinya sendiri. Hari ini ia mendapat pekerja
bukan soal pekerjaan itu, melainkan se
dion A
s ingin menjemput Fina setiap pagi. Dan t
pa riasan tebal, hanya bedak tipis dan lip balm. Rambutnya diikat setengah, gaya
datar, tapi matanya tampak s
juga ternyata," jawab Fi
elalu siap sebelum semua orang
ma, dan seperti biasa, suasana di antara keduanya terasa... aneh. Tidak benar-benar canggung, tapi juga tid
mengenakan kemeja biru tua dan jam tangan kulit cokelat yang tampak elegan. Namun yang menarik perhatia
anggil F
H
atan kepiki
menoleh. "Nggak. Aku cuma
ng bisa bohong dengan mey
justru cukup ah
ingin tapi menyiratkan beban. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi m
g dengan gaun berkilau, sementara Fina dan timnya sibuk bekerja di bawah tek
" tanya Fina di sela-sela m
asin
gangkat alis. "Kamu
da seseorang yang juga
ia
ngannya mengarah ke pintu.
ina otomatis berhenti bergerak
lalu
"Seseorang yang dulu
usaha tetap tenang, menyembunyikan keterkejut
bagaimana reaksinya nanti ke
as," balas Fina cepat, suarany
n sesuatu di matanya. "Mungkin buat kamu formalitas
ah kaki yang terdengar. Namun di dada Fina, sesuatu terasa bergolak - antara r
utama, lampu kristal berkilau di langit-langit ballroom megah itu. Para tamu me
model yang ia rias tampil sempurna. Namun matanya tak s
jalan menghampiri Rai yang berdiri di sudut ruangan. Senyuman wanita itu lem
iapa dia. Ia tahu, itulah "
tu dengan nada manja. "
ekilas, tersenyu
atap dari jauh tanpa bi
tertawa pelan seperti tak ada jarak di antara mereka. Dari jauh, Fina mencoba
jutkannya. Ibu Valeria muncul di sampingnya, menata
"Saya cuma memastikan make
tu wanita yang dulu meninggalkan Rai demi
eh cepat.
pertinya, di
Fina tanpa alasan jelas. Ia tidak punya hak merasa cemb
tage. Satu per satu orang meninggalkan ruangan hingga hanya tinggal ia s
bareng Oma?" tanya
udah d
napa kamu
nyari
a - lembut, hampir seperti penyesalan. Fina
da
an
minta
kamu
u yang minta
gernyit.
ergi, aku nggak berusaha menahannya. Aku p
k tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap mata Rai yang ta
lalu kamu sedalam itu
gin itu," jawab Rai pelan. "Tapi
paham s
nggak mau kamu pikir aku
peduli apa ya
lama. "Karena
dalam cara Rai mengucapkannya - bukan sekadar s
an berkedip lalu padam sesaat. Suara hujan mulai t
a mati?" g
ponselnya. Cahaya hangat menerangi wa
tara mereka terasa menipis. Rai menatapnya dengan c
aku bilang aku mulai nyaman sama
ggak tahu," jawabnya jujur. "Aku be
nap
u percaya, aku ta
alam kegelapan, hanya suara hujan yang terdengar, t
mun di antara hujan yang terus mengguyur dan lampu jalan yang m
ggebu, tapi benih kecil yang tumbuh di
mereka rencanakan, tapi mulai te
lam itu, hidupnya tidak
di sofa panjang, memeluk lututnya sambil menatap foto pernikahannya dengan Ardan di meja kecil. Ada senyum bahagia di sa
ng digenggam erat, bahkan dibawa ke kamar mandi. Fina sempat berpikir itu hanya urusan pekerjaan, sampai
kira sudah terkubur bersama lembar masa lalu Ardan. Tapi ternyata, masa lal
alah. Karena di tengah kebisuannya, ia juga menyadari sesuatu yang tak kalah menyakitkan-ia mulai jatuh cinta. Bukan pada bayangan
r. Lelaki itu muncul dengan rambut sedikit berantakan, masih
. "Belum," jawabnya p
ing skip makan. Kamu nanti sakit." Ia berjalan men
njak. "Kamu pulang cepat hari ini,"
angnya, menatap Fina yang menunduk. "Aku cuma
rdan yang diletakkan di sisi meja. Layar ponsel itu gelap,
yang lain?" pertanyaan itu melu
epat, tampak kaget
ergetar namun tegas. "Aku lih
ing terdengar jelas, menggema di ruang yang tiba-tiba men
engetuk meja pelan. "Dia cuma
"Teman lama yang dulu
ina yang kini berdiri, wajahnya memer
brol, minta maaf atas masa lalu. Aku nggak mau bi
ya meninggi. "Kamu pikir aku nggak bisa lihat caramu berubah bela
as dalam. "Fina, j
aku cuma pengin tahu, aku ini siapa buat kamu sekarang, D
u aku nggak kayak gitu. Aku menikah sama k
belum sepenuh
a. Ia tahu Fina benar. Ia berusaha keras melupakan Alya, tapi ketika nama
. "Aku cuma minta satu hal, Dan. Kalau kamu masih belum bisa sepenuhnya lepas dari dia, tolong jangan bohon
pisnya perlahan. "Aku cuma butuh waktu,"
n berdiri sendirian di ruang tamu, bersa
ementara Ardan tertidur di sofa ruang tamu. Ia menatap langit-langit kamar yang ge
menyakitinya, karena ia jatuh cinta pada seseorang yang mungkin masih memandang ke belakang. Ta
membuat kopi dan roti panggang. Ia tidak menyangka Ardan su
sapany
h, matanya l
yang berani bicara lebih dulu sampai Ardan menarik n
mengaduk kop
udah lewat." Ia menatap Fina serius. "Aku nggak mau kehila
justru membuat dadanya semakin sesak. Ia tahu Ardan berusaha tu
hapus sesuatu cuma karena aku marah. Aku cuma pengin kam
ela, ke taman kecil yang dulu mereka tanami bunga
tuk membuat Fina
reka tetap bersama di bawah satu atap, tapi seper
ia melukis. Dulu, Ardan sering datang menemaninya, membawa teh hangat sambil me
ta kanvas baru, ponselnya bergetar.
nggak pernah benar-bena
tung berdebar. Ia tak perlu b
tar saat membalas
datang
mukan lagi, dia nggak akan pergi tanpa
erasa dingin. Dunia yang baru saj
ang baru pulang. "Alya hubungi
an pintu, wajahnya la
i nggak akan pergi tanpa pam
a kasar. "Dia nggak se
am. "Jadi benar? Ka
Dan diam, bagi Fina, adalah bent
rapan buat dia," ucap Fina lirih. "Kamu n
dari mana buat perbaiki ini. Aku berusaha, Fin, sungguh. Tapi masa lal
a ia sadar, cinta tidak selalu tentang menang. Kadang cinta adala
cuma minta... kalau kamu suatu saat sadar siapa yang ben
lama. Ia tahu, malam itu bukan akhir, tapi awal dari jara
u tumbuh semakin dalam, seperti benih ya