Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dekapan Gairah Mafia Kejam

Dekapan Gairah Mafia Kejam

Els Arrow

5.0
Komentar
20
Penayangan
8
Bab

Dunia Isabella Moretti hancur dalam satu malam. Orang tuanya tewas di tangan Lorenzo Ricciardi, mafia paling berbahaya sekaligus pria paling kejam di dunia. Namun, ketika tiba giliran Isabella untuk menemui ajalnya, Lorenzo malah membiarkannya hidup, tapi sebagai tawanan pribadinya. Lorenzo adalah pria yang menguasai dunia bawah tanah dengan kekejaman tanpa batas. Namun, di balik tatapan dinginnya, ada sisi lembut yang hanya bisa dilihat oleh Isabella. Saat kebencian berubah menjadi gairah cinta, Isabella sadar tak akan bisa lepas dari dekapan mafia kejam itu. Sayangnya, Lorenzo tidak tahu bahwa Isabella menyimpan rencana balas dendam untuk kematian keluarganya. Hingga akhirnya ia mendapati dirinya hamil, membawa benih dari pria yang paling ia benci sekaligus pria yang mulai ia cintai. Dapatkah Isabella melanjutkan dendamnya, ataukah ia akan menyerah pada cinta sang iblis tampan? Dan saat Lorenzo menghadapi pilihan antara kekuasaannya dan wanita yang mencuri hatinya, akankah ia tetap menjadi raja tanpa hati, atau menyerah pada pesona Isabella?

Bab 1 Chapter 1. Mafia Kejam

"Jangan sisakan satupun nyawa. Bunuh semuanya!"

Angin malam membawa aroma kematian ke seluruh sudut kediaman keluarga Moretti. Jeritan dari para penjaga yang tumbang satu per satu terdengar seperti simfoni suram, mengiringi bayang-bayang kematian yang semakin mendekat.

Api mulai menjilat pintu utama rumah megah itu, sementara Lorenzo Ricciardi berdiri dengan tatapan dingin di halaman depan. Wajahnya seperti diukir dari batu, tanpa emosi, meskipun tangannya baru saja menodai nyawa.

"Pastikan tidak ada yang tersisa!" perintah Lorenzo kepada anak buahnya dengan suara tegas.

Anak buahnya bergegas memborbardir, suara tembakan menggema, diikuti oleh jeritan kesakitan yang segera lenyap menjadi keheningan. Lorenzo mengayunkan kakinya ke arah pintu utama yang kini terbuka.

"Mereka pasti bersembunyi di dalam. Temukan mereka!"

Di lantai atas rumah, Isabella Moretti gemetar di balik lemari besar di kamar tidurnya. Hatinya berdetak seperti genderang perang, menenggelamkan suara apa pun di sekitarnya.

Namun, ia tahu ia tahu siapa yang datang malam ini. Lorenzo Ricciardi, pria yang sering disebut 'Malaikat Maut' oleh dunia bawah tanah.

"Orang tuaku salah apa? Sampai dibunuh dan rumahku dihancurkan begini," gumamnya pelan, tangannya erat memegang salib kecil di lehernya.

Ia mendengar langkah berat mendekat ke kamar. Isabella menggigit bibirnya, mencoba menahan napas. Ketika pintu kamar terbuka dengan keras, detik waktu terasa kian melambat.

"Periksa semua tempat." Terdengar suara salah satu anak buah Lorenzo. "Gadis itu harusnya ada di sini."

Isabella tahu ia tak punya banyak waktu. Diam-diam, ia merangkak keluar dari balik lemari, mencoba mencapai jendela untuk melarikan diri.

Namun saat ia hampir membuka kaca, suara bariton menghentikannya. "Jangan bergerak!"

Isabella berbalik dengan perlahan. Lorenzo berdiri di sana, tubuhnya menjulang tinggi dengan mantel hitam panjang yang berkibar tertiup angin dari jendela. Kilatan matanya tajam menusuk ke dalam iris Isabella.

"Jadi, kau putri Moretti?" Lorenzo berjalan mendekat, sepatu hitamnya berderap di lantai marmer. "Yang selalu dipuja-puja itu?"

Isabella mencoba menegakkan tubuhnya meskipun kakinya gemetar. "Kalau kau datang untuk membunuhku, lakukan saja sekarang."

"Berani sekali," gumam Lorenzo dengan senyum sinis. "Seperti ayahmu."

"DON'T!" Isabella berteriak, matanya berkaca-kaca. "Jangan sebut namanya dari mulutmu yang kotor itu!"

Lorenzo menghentikan langkahnya. Sejenak, ada kilatan emosi di matanya. "Kau memang berbeda," katanya dingin. "Kebanyakan akan memohon untuk hidup mereka. Tapi kau ... malah ingin mati seperti ini?"

"Lebih baik mati daripada menyerah pada iblis sepertimu!"

Mendengar itu, Lorenzo mengangkat sebelah alisnya, seolah terhibur. "Menarik. Tapi aku tidak akan memberimu kematian secepat ini."

Isabella menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"

Lorenzo mendekat, jaraknya kini hanya beberapa inci dari Isabella. "Aku ingin kau menderita. Kehilangan segalanya, termasuk harga dirimu." Suaranya seperti bisikan iblis yang merasuk ke dalam pikirannya. "Tapi aku tidak akan membunuhmu. Ah, maksudku ... belum."

"Lakukan apa saja padaku, tapi aku bersumpah, aku akan membalas dendam untuk keluargaku," ujar Isabella dengan tegas, meskipun air mata mulai mengalir di pipinya.

Lorenzo mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Isabella bisa merasakan napas hangatnya. "Kau akan mencoba, tapi aku pastikan kau tidak akan berhasil." Ia menoleh pada anak buahnya yang menunggu di ambang pintu. "Bawa dia ke mobil."

Isabella mencoba melawan saat dua pria kekar mencengkeram lengannya, tapi tenaganya tidak sebanding. Ia diseret keluar dari kamar, meninggalkan rumah yang kini hampir rata dengan tanah.

Di perjalanan menuju markas Lorenzo, Isabella duduk di kursi belakang mobil, tangan dan kakinya terikat. Matanya memandang kosong ke jendela, menyaksikan nyala api dari kejauhan yang menandakan akhir hidupnya yang dulu.

"Kau menang hari ini, Lorenzo," katanya dengan suara rendah. "Tapi aku akan kembali untuk menghancurkanmu."

Lorenzo, yang duduk di kursi depan, mendengar setiap kata itu. Ia hanya menoleh sebentar dan memberikan senyuman kecil. "Kita lihat saja. Atau malah pada akhirnya ... kau akan tunduk padaku."

Isabella memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan air matanya. Di dalam hatinya, dendam membara, tetapi di sudut kecil yang tak mau ia akui, ada rasa takut yang mulai menjalar.

Mobil berhenti di depan sebuah mansion besar yang dikelilingi tembok tinggi dan pagar besi hitam. Cahaya lampu menerangi gerbang yang tampak seperti penjara, tempat Isabella tahu dia tidak akan keluar dengan mudah.

Lorenzo turun dari mobil lebih dulu, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa Isabella masuk. Dengan tangan terikat, Isabella diseret menuju pintu depan. Ia melawan sekuat tenaga, tetapi genggaman pria-pria itu terlalu kuat.

"Jangan sentuh aku!" Isabella berteriak, matanya menyala penuh kemarahan.

"Kau ini memang penuh perlawanan, ya," Lorenzo berkata santai sambil berjalan di depannya. "Tapi percuma saja. Tidak ada yang mendengar teriakanmu di sini."

"Aku akan membunuhmu, Lorenzo. Apa pun caranya," desis Isabella, berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Lorenzo berhenti di depan pintu besar mansion, menoleh dengan tatapan tajam. "Kau bisa mencoba, tapi aku ingin melihat bagaimana kau melakukannya saat kau bahkan tidak bisa kabur dari rumah ini."

Di dalam mansion, Isabella dilemparkan ke sebuah kamar besar. Tempat tidur dengan sprei hitam tampak mencolok di tengah ruangan, sementara sudut lainnya dihiasi dengan rak buku dan meja kerja yang penuh dokumen.

"Ini akan menjadi kamarmu," kata Lorenzo dengan nada dingin, sambil membuka jasnya dan meletakkannya di kursi. "Aku akan memastikan kau memiliki segala yang kau butuhkan, kecuali kebebasanmu."

Isabella berdiri di sudut ruangan, menatapnya penuh kebencian. "Aku bukan mainanmu, Lorenzo."

Lorenzo melangkah mendekat, sorot matanya penuh dominasi. "Kau adalah milikku sekarang, Isabella. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau."

"Tidak ada yang bisa membuatku tunduk padamu," jawab Isabella dengan nada tegas.

Lorenzo tersenyum kecil, matanya menelusuri wajah Isabella. "Kita lihat nanti," katanya, suaranya rendah. "Bukan hanya tunduk, Bella. Bahkan, aku akan membuatmu menanggalkan semua bajumu di hadapanku."

Isabella meronta sekuat tenaga saat tiba-tiba Lorenzo mencengkeram lengannya dan menyeretnya tubuhnya ke dekat ranjang.

Napasnya terengah, campuran antara rasa takut dan kemarahan menyelubungi dirinya. Namun, Lorenzo seolah tak peduli. Sorot matanya mengintimidasi tajam, memancarkan ketegasan bahwa dia adalah penguasa malam itu.

"Berhenti melawan, Isabella," desis Lorenzo, nadanya datar. "Semakin kau melawan, semakin sulit malam ini untukmu."

"Persetan dengan ancamanmu!" Isabella meludah ke arah Lorenzo, matanya berkobar dengan kemarahan yang tak terhingga.

Lorenzo berhenti sejenak, menyeka pipinya dengan tenang, sebelum menarik Isabella lebih keras hingga tubuhnya terhempas ke kasur. Isabella mencoba bangkit, tapi Lorenzo lebih cepat. Dalam sekejap, tubuhnya sudah berada di atasnya, menindihnya dengan satu tangan yang kuat menahan kedua pergelangan tangannya di atas kepala.

"Jika aku mau, kau tidak akan punya kesempatan untuk bicara lagi," bisiknya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Isabella. Suara rendahnya mengalir seperti racun, menusuk ke dalam ketakutan Isabella. "Tapi aku ingin kau mengerti sesuatu, Isabella. Kau tidak bisa lari. Tidak malam ini, dan tidak selamanya."

Tubuh Isabella, tapi ia tidak ingin menyerah. "Kau pikir aku akan takut pada ancamanmu? Kau salah besar, Lorenzo!"

Senyum dingin Lorenzo terukir di wajahnya. "Aku suka perlawananmu. Tapi aku akan lebih suka melihatnya hancur perlahan."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Els Arrow

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku