Kalung Pengkhianatan, Selma Pemenangnya

Kalung Pengkhianatan, Selma Pemenangnya

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
8
Bab

Dua belas kali aku mencoba menikah dengan Zaki, dan dua belas kali pula pernikahan itu batal. Setiap kali, dia selalu memilih adik angkatnya, Selma, yang tiba-tiba sakit atau panik tepat di saat-saat penting. Kali ini, di depan penghulu dan para tamu, Selma kembali berulah. Zaki, tunanganku selama delapan tahun, lagi-lagi meninggalkanku di altar demi menenangkan Selma. Aku sudah lelah. Lelah dengan janji-janji kosongnya, lelah dengan drama Selma yang tak berkesudahan. Rasa sakit dan penghinaan ini sudah terlalu banyak. Namun, kehancuran total datang saat Selma, dengan senyum kemenangan, memamerkan kalung pemberian Zaki-kalung yang sama persis dengan liontin kunci hati, simbol cinta kami. Saat itu aku sadar, delapan tahun pengorbananku hanyalah lelucon. Aku membatalkan pernikahan untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan, dan terbang ke Bali untuk mengejar mimpiku yang telah lama terkubur. Setahun kemudian, aku telah menjadi arsitek sukses yang memimpin proyek resor mewah. Dan Zaki, pria yang telah menghancurkan hidupku, kini muncul kembali. Bukan sebagai tunangan yang memohon, tapi sebagai karyawan rendahan yang melamar pekerjaan di bawah pengawasanku.

Bab 1

Dua belas kali aku mencoba menikah dengan Zaki, dan dua belas kali pula pernikahan itu batal. Setiap kali, dia selalu memilih adik angkatnya, Selma, yang tiba-tiba sakit atau panik tepat di saat-saat penting.

Kali ini, di depan penghulu dan para tamu, Selma kembali berulah. Zaki, tunanganku selama delapan tahun, lagi-lagi meninggalkanku di altar demi menenangkan Selma.

Aku sudah lelah. Lelah dengan janji-janji kosongnya, lelah dengan drama Selma yang tak berkesudahan. Rasa sakit dan penghinaan ini sudah terlalu banyak.

Namun, kehancuran total datang saat Selma, dengan senyum kemenangan, memamerkan kalung pemberian Zaki-kalung yang sama persis dengan liontin kunci hati, simbol cinta kami.

Saat itu aku sadar, delapan tahun pengorbananku hanyalah lelucon.

Aku membatalkan pernikahan untuk terakhir kalinya, meninggalkan semua kenangan, dan terbang ke Bali untuk mengejar mimpiku yang telah lama terkubur.

Setahun kemudian, aku telah menjadi arsitek sukses yang memimpin proyek resor mewah. Dan Zaki, pria yang telah menghancurkan hidupku, kini muncul kembali.

Bukan sebagai tunangan yang memohon, tapi sebagai karyawan rendahan yang melamar pekerjaan di bawah pengawasanku.

Bab 1

Kinasih POV:

Aku menatap cermin, refleksi diriku tampak asing dalam balutan kebaya putih mutiara. Ini adalah kali kedua belas aku mencoba mengenakan gaun pernikahan ini. Kali kedua belas aku berdiri di ambang pintu, jantung berdebar antara harapan dan kelelahan. Setiap jahitan, setiap payet, terasa seperti janji yang rapuh, siap hancur kapan saja.

"Jangan khawatir, Sayang," suara Zaki terdengar dari balik pintu, mencoba menenangkan. "Kali ini berbeda. Aku sudah mengatur semuanya."

Kata-kata itu, yang seharusnya menghangatkan, malah terasa dingin di kulitku. Berapa kali lagi aku akan mendengar janji yang sama? Berapa kali lagi aku akan membiarkan diriku percaya?

Aku memejamkan mata, mencoba mengusir rasa pusing yang menyerang. Migrain kembali menyerang, akibat kurang tidur dan stres berlebihan selama berminggu-minggu. Tapi Zaki tidak melihatnya. Dia tidak pernah melihatnya. Baginya, aku selalu baik-baik saja.

Aku membuka pintu, langkahku terasa berat. Ruangan sudah penuh dengan tamu. Para kerabat dan teman-teman kami, yang sebagian besar sudah menyaksikan drama ini berkali-kali. Senyum di wajah mereka tampak tegang, bercampur rasa ingin tahu dan kasihan.

Zaki berdiri di dekat penghulu, jubah putihnya terlihat sempurna. Dia tampan, karismatik, pengacara sukses yang diidamkan banyak wanita. Dia menoleh ke arahku, senyumnya cerah. Senyum yang selalu berhasil meluluhkan hatiku, terlepas dari segala kekecewaan yang dia taburkan.

"Kamu cantik sekali, Kinasih," bisiknya saat aku mendekat. Tangannya yang hangat menggenggam tanganku, terasa seperti jangkar di tengah badai. Aku berusaha membalas senyumnya, tapi sudut bibirku terasa kaku.

Aku menatap sekeliling. Pemandangan ini terlalu akrab. Dekorasi bunga, meja hidangan, semua saksi bisu dari janji-janji yang tak pernah ditepati. Aku melihat Riska, sahabatku, berdiri di antara para tamu, tatapannya penuh kekhawatiran. Dia menggelengkan kepala samar, seolah berkata, Jangan lagi, Kinasih.

Tapi aku sudah di sini. Sudah sejauh ini. Aku hanya ingin semuanya berakhir. Kali ini, tolong, biarkan ini benar-benar terjadi.

Sebuah suara melengking memecah keheningan. "Kak Zaki!"

Zaki menoleh, wajahnya langsung berubah. Selma, adik angkatnya, terjatuh di sudut ruangan, tangannya memegangi kepala. Wajahnya pucat, matanya terpejam. Semua mata tertuju padanya.

"Selma?" Zaki segera melepaskan tanganku, bergegas menghampiri Selma. Aku berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tak asing ini.

"Kak Zaki, sakit sekali..." Selma merintih, suaranya terdengar sangat lemah. Dia bersandar pada Zaki, tubuhnya lunglai.

Zaki mengusap rambut Selma, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ada apa, Sayang? Apa yang sakit?"

"Kepalaku... rasanya mau pecah. Dan mual... Mungkin aku alergi sesuatu di sini." Selma memeluk Zaki erat, seolah Zaki adalah satu-satunya pelindungnya.

Aku melihat sekeliling. Tidak ada yang aneh, tidak ada bau menyengat atau makanan yang mencurigakan. Ini bukan kali pertama Selma mengalami "serangan panik" atau "alergi mendadak" di momen-momen penting dalam hidupku.

"Alergi apa?" suara Zaki terdengar panik. "Kamu makan apa?"

"Aku... aku tidak tahu. Mungkin bunga-bunga ini?" Selma menunjuk ke arah rangkaian bunga mawar putih yang menghiasi ruangan, matanya sedikit terbuka melirik ke arahku. Sebuah kilatan licik melintas di sana, sebelum kembali merintih.

Rasa dingin merayapi tulang punggungku. Aku tahu, aku tahu apa yang sedang terjadi.

"Ini konyol!" Riska tiba-tiba berseru dari kerumunan, langkahnya maju. "Bunga mawar tidak menimbulkan alergi separah itu, Selma! Hentikan drama ini!"

Zaki menoleh ke Riska, matanya menyala marah. "Riska! Jangan bicara sembarangan! Selma benar-benar sakit!"

"Sakit? Atau hanya ingin mencari perhatian seperti biasa? Zaki, lihatlah Kinasih! Dia sudah di sini, siap menikah denganku!" Riska menunjuk ke arahku.

Zaki melirikku sekilas, tatapannya dipenuhi kekesalan. "Kinasih, kamu tidak apa-apa kan?"

Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa? Aku berdiri di sini, calon pengantin yang ditinggalkan, untuk kali kesekian. Tubuhku bergetar, migrainku semakin parah, dan rasa mual di perutku tak tertahankan. Tapi aku hanya bisa menggelengkan kepala, bibirku membisu.

"Tentu saja dia baik-baik saja! Kamu tidak melihatnya?" Zaki kembali menoleh ke arah Selma, suaranya melembut. "Selma, kita harus ke rumah sakit. Sekarang."

"Tapi Kak Zaki... pernikahanmu..." Selma merintih, nadanya terdahi-dahi tapi matanya masih mencuri pandang ke arahku, seolah ingin memastikan apakah aku melihat tatapan kemenangannya.

"Tidak ada yang lebih penting daripada kesehatanmu, Sayang." Zaki bangkit, menggendong Selma dengan mudah. Selma membenamkan wajahnya di dada Zaki, lengannya melingkar erat di lehernya.

Zaki menoleh ke arah penghulu. "Maaf, Pak. Saya rasa kita harus menunda pernikahan lagi."

Suara-suara berbisik terdengar dari para tamu. Bisikan simpati untukku, bisikan cemooh untuk Zaki.

"Astaga, ini sudah yang ke berapa kalinya dia melakukan ini?"

"Kasihan sekali Kinasih. Sampai kapan dia mau bertahan?"

"Gila, ya. Adiknya itu benar-benar... keterlaluan."

Aku mendengar semuanya. Setiap kata menusuk hatiku. Tapi anehnya, aku tidak merasa marah. Hanya letih. Letih yang teramat sangat.

"Zaki!" Riska berteriak, suaranya penuh kemarahan. "Jangan biarkan dia mempermainkanmu lagi! Kinasih sudah berkorban terlalu banyak!"

Zaki mengabaikan Riska. Dia menatapku, matanya memohon maaf. "Kinasih, aku akan kembali setelah mengantar Selma. Aku janji. Kali ini, aku benar-benar janji. Kita akan menikah."

Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatapnya, hampa. Sudah berapa kali janji itu dia ucapkan? Terlalu sering untuk diingat.

Zaki tampak bingung dengan ketenanganku. Dia sedikit ragu, menatapku seolah mencari perlawanan. Tapi aku tidak memberikannya.

Aku hanya mengangguk pelan. "Pergilah, Zaki. Bawa Selma."

Zaki terkejut dengan responsku. Dia mungkin mengharapkan teriakan, tangisan, atau setidaknya permohonan agar dia tetap tinggal. Tapi tidak ada. Hanya keheningan yang mematikan.

"Kinasih, aku..."

"Pergilah," aku mengulang, suaraku nyaris tak terdengar. "Dia membutuhkanmu."

Zaki mengangguk kaku, lalu berbalik, membawa Selma keluar dari ruangan. Para tamu menyingkir, memberikan jalan. Aku melihat Selma menyeringai samar sebelum menghilang dari pandangan.

Dan kemudian, kegelapan. Dunia berputar, kakiku lemas, dan aku terjatuh.

Aku terbangun di ranjang yang familiar. Aroma antiseptik menusuk hidungku. Ruangan rumah sakit ini, aku mengenalnya dengan baik. Bukan kali pertama aku berakhir di sini karena kelelahan atau serangan migrain parah akibat stres.

"Kinasih? Kamu sudah sadar?" Riska duduk di samping ranjangku, matanya sembab.

Aku mengerjapkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi. Kebaya putih, Zaki, Selma... pernikahan yang batal. Lagi.

"Zaki di mana?" tanyaku, suaraku serak.

Riska menatapku dengan tatapan kasihan. "Dia belum kembali. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban."

Aku tersenyum miris. Sudah kuduga. Dia tidak akan kembali. Tidak hari ini, tidak besok, mungkin tidak akan pernah.

Riska menggenggam tanganku. "Keluargamu sudah pulang. Mereka bilang mereka tidak bisa melihatmu seperti ini lagi."

Riska memberitahuku bahwa orang tuaku, yang biasanya selalu bersamaku, telah pergi. Mereka terlalu lelah melihatku dihancurkan berkali-kali. Aku tidak menyalahkan mereka. Aku sendiri pun lelah.

Aku menatap cincin tunanganku yang melingkar di jari manis. Cincin yang sama yang dulu Zaki berikan padaku delapan tahun lalu, di hari dia melamarku. Delapan tahun. Dua belas kali mencoba menikah. Dan setiap kali, dia memilih Selma.

Zaki pernah berkata, "Kinasih, kamu adalah rumahku. Kamu adalah ketenangan jiwaku." Dia juga pernah berjanji akan menjagaku, melindungi impianku. Tapi semua itu hanya omong kosong.

"Riska," kataku, suaraku lebih tegas dari yang kukira. "Aku sudah selesai."

Riska menatapku, matanya melebar. "Selesai? Maksudmu... dengan Zaki?"

Aku melepas cincin tunangan itu dari jariku. Cincin itu terasa dingin, berat, seperti beban yang selama ini membebani hidupku. Telapak tanganku gemetar saat aku melihatnya. Sudah berapa kali aku melepasnya? Setelah setiap pembatalan, aku akan melepasnya, menangis, lalu memakainya lagi ketika Zaki datang dengan janji-janji manis.

Tapi kali ini berbeda. Tidak ada lagi janji. Tidak ada lagi harapan.

"Aku tidak akan memakainya lagi," kataku. Aku membuang cincin itu ke tong sampah di samping ranjang.

Riska menatapku tak percaya, lalu senyum lega perlahan terukir di wajahnya. "Akhirnya, Kinasih. Akhirnya kamu melihatnya."

"Aku akan menerima tawaran proyek resor di Bali itu," kataku, memalingkan pandangan dari Riska, menatap keluar jendela. Proyek impian yang dulu kutolak demi Zaki, demi membangun rumah bersamanya.

Riska menggenggam tanganku erat. "Aku akan mendukungmu sepenuhnya, Sayang. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik."

Aku tahu Zaki akan datang memohon lagi. Dia akan mengatakan dia menyesal, bahwa dia tidak bisa hidup tanpaku. Dia akan bersumpah demi Tuhan bahwa kali ini dia akan berubah. Dia selalu begitu.

Tapi kali ini, aku tidak akan ada di sini untuk mendengarnya. Aku tidak akan lagi membiarkan masa laluku menghancurkan masa depanku. Aku tidak akan lagi menjadi wanita yang sama.

Aku akan pergi. Dan aku tidak akan pernah kembali.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku