Kalung Pengkhianatan, Selma Pemenangnya
sih
ngan mata khawatir. Aku tahu dia masih takut aku akan berubah pikiran. Tapi tid
ata Riska saat kami berpeluk
nyum meyakinkan. "Tapi ini bukan pe
"Jaga dirimu baik-baik di sana. Janga
kali ini, aku akan menepa
yi. Zaki belum juga datang. Teleponku mati, tidak ada pesa
Aku meraba laci di samping ranjang, mencari obat migrain yang selalu kubawa. Kosong. Obatku
ap. Dia akan membelikanku obat, mengompres kepalaku, dan membisikkan
ekarang terasa
ariku berhenti melayang di atas namanya. Untuk apa? Dia tidak akan datang. Dia sedang
ng kebahagiaan, hanya kepedihan. Aku tidak
n seadanya, dan berjalan keluar dari kamar rumah sakit. Koridor ru
ah suara familiar menyapa. "Ki
amaku. Dia menatapku dengan tatapan terkejut, bergantia
jawab apa. Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku baru saja pingsan di ha
atanya menyipit penuh selidik. "Kamu terliha
tahu apa yang ingin dia tanyakan. Semua ora
Hanya sedikit kelelahan,"
tidak pernah berbohong dengan baik. Aku tahu
k, tidak bi
ndengar suara Zaki. "Selma, pelan-pel
yang berjalan terhuyung-huyung keluar dari ruang IGD. Selma terlihat baik-baik sa
akak-adik angkat. Zaki mengusap pipi Selma dengan lembut, matany
karena cemburu, tapi karena kesadaran. Kesadaran ba
lihat. Bu Citra menatapku dengan iba, lalu meli
menyandar di bahu pria itu. "Kak Zaki,
pun untukmu." Zaki t
nar menghilang dari pandangan. Rasa pahit
. Istirahat," katan
ak bisa tidur. Aku menatap langit-langit, membiarkan air mata mengalir tanpa su
beberapa pakaian dan buku-buku sketsa arsitekturku yang kumal. Semua kenangan d
elku berdering. Nomor Zaki. Aku te
di kantor?" Suaranya terdengar cema
t," jawab
memberitahuku? Sejak k
ang meninggalkanku pingsan di altar, Zaki.
ng. Agak demam,
ggi, jadi aku harus menemaninya. Aku baru bisa pulang pagi i
alik telepon, memanggil nama Zak
lu kembali kepadaku, "Kinasih, aku akan segera ke
janji Zaki yang tidak akan pernah ditepati. Semua itu
pikan, apartemen yang kami rancang bersama. Sekara
rsitektur tempatku bekerja selama lima tah
resi kecewa. "Kinasih, kamu yakin? Apa k
Pak," kataku,
Pak Budi, mencoba mencari tahu. "Saya tahu kalian berdua dulu adalah calon arsitek paling menjanji
rasa, sudah waktunya saya mengejar impian s
"Saya mengerti. Tapi..
ntang saya, Pak. Saya in
atakan sesuatu lagi, pintu ka
rengah-engah. Matanya menatapku tajam, se
n datang. Tapi t
erat, penuh kemarahan.