ANTARA JANJI DAN DUSTA
diri berbagai pertemuan dengan klien dan kolega, membahas proyek-proyek besar, dan kembali ke rumah dengan cerita yang s
a di area pengambilan bagasi, ia langsung menuju taksi yang menunggu. Namun, di dekat pintu keluar, langkahnya terhenti. Seorang wanita muda sedang berdiri di sana, seda
sederhana namun elegan. Wajahnya dikelilingi cahaya senja yang membuatnya tampak seperti seseorang yang keluar dari mimpi.
ar, muncul kembali. Gairah yang lama hilang, kini mulai menggebu. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, berusaha untuk tetap fo
ri lamunannya. Wanita itu kini berdiri tepat di depannya, terse
salah satu rekan bisnis yang akan bergabung dalam pertemuan hari itu. Namun, perasaan yang muncul
endalikan perasaannya. "Senang bertemu denganmu. Sepertin
"Aku sudah mendengar banyak hal tentangmu, Reza. Semoga
sampai ke matanya. Perasaan aneh yang ia rasakan
sangat pintar, memiliki ide-ide segar yang membuat Reza terkesan. Namun, ada yang lebih menarik perhatian Reza selain kecerdasannya: Maya sangat nyaman
di usia muda?" tanya Maya sambil menyandarkan pung
k pengorbanan yang harus dilakukan. Tapi, aku rasa yang paling sulit adalah menjaga kes
terlalu fokus mengejar sesuatu yang besar, hingg
seperti ada seseorang yang benar-benar memahami dirinya. "Kamu benar," katanya pelan. "
h kencang. "Aku rasa itu yang membuat kita berbeda, Reza. Aku bisa melihat ada l
etertarikan yang lebih dari sekadar profesionalisme. Reza tahu, Ma
g tempat tidur, memandang ponselnya yang sudah lama tergeletak di meja samping. Meski s
Maya yang menggetarkan hatinya. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membangkitkan kembali keinginan dan g
n perasaan ini begitu saja. Sesuatu yang begitu kuat, begitu menarik, membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Maya, lebih dari
kan menjadi titik balik yang tak bisa dihindari. Re
ya masih terbayang jelas di hadapannya. Seakan-ak
u saja terbit, pikirannya sudah berputar-putar, berfokus pada pertemuan kemarin dengan Maya.
bahwa ketertarikan ini tidak bisa dibiarkan berkembang lebih jauh. Ia sudah memiliki segalanya-keluarga yang utuh, karier yang
bergumam pada diri sendiri. "Aku
a yang begitu memikat terus terngiang di telinganya. Reza meny
an itu menguat. Ia tahu, bahwa Maya bukan hanya seorang
dah tiba lebih awal, mempersiapkan dokumen dan presentasi yang akan dibahas. Meskipun ia berusaha untuk tetap fokus, pikirannya
a dan langsung menatap Maya. Ia mengenakan blazer hitam yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan rok pensil yang menambah kesan el
penuh arti, yang seakan-akan membua
ra lembut namun penuh percaya diri, memb
jut. Ia mencoba untuk tetap menjaga ekspresi wajahnya
disiapkan untuk presentasi. "Kamu sudah siap?" tanya Maya samb
redam ketegangan dalam dirin
ketegangan yang tak terucapkan, semacam tarikan magnet yang sulit untuk dihindari. Mereka saling berbicara tentang
i. "Bagaimana menurutmu tentang presentasinya?" tanya Maya, mencoba
aik. Aku rasa kita bisa b
sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu katakan, Reza," ujarnya samb
ha menjaga sikapnya. "Aku... t
suatu yang ada di dalam dirimu. Sesuatu yang belum perna
ataan Maya. Ia mencoba mencari kata-kata
mu maksud, Maya," jawabnya
penuh arti. "Kamu tahu, aku sangat pandai membaca orang. Da
an Reza tahu, meskipun ia mencoba mengabaikannya, perasaan yang terpendam itu sud
suaranya pelan namun penuh makna
dengan nada yang lebih lembut. "Tapi aku tidak akan memaksamu. A
wa Maya tidak akan berhenti begitu saja. Ada sesuatu di dalam diri wanita itu yang me
pikiran. Namun, bayangan Maya selalu datang, menghantui setiap sudut pikirannya. Ia berusa
berbunyi. Pesan singkat dar
u ingin kamu tahu bahwa aku mengerti. T
k pertama kalinya, ia merasa terpojok. Pilihannya semakin terbatas. Maya telah me
lan, menatap layar ponsel yang masih menya
i-hidupnya, yang tampak sempur
ambu