OBSESI MANTAN SUAMI

OBSESI MANTAN SUAMI

Daffa Ammira

5.0
Komentar
4.6K
Penayangan
71
Bab

Dituduh selingkuh, lalu diceraikan, membuat Sarah harus bekerja keras menghidupi sang buah hati. Akan tetapi, apa jadinya jika Aditya, mantan suaminya justru kembali terobsesi dengannya? Bahkan berani menculik dan menidurinya paksa, hanya karena belum rela berpisah. Apakah Sarah bisa menjauh bersama putra mereka, jika di dalam rahimnya kini bersemayam benih lelaki itu, lagi? Akankah Aditya rela membiarkan ketiganya menjauh?

Bab 1 OBSESI 1

PLAK!

Sebuah tamparan nyaring dilayangkan seorang laki-laki pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu terperanjat kaget. Matanya terbelalak saat ia menatap balik wajah mengeras lelaki itu. "Kenapa kamu menamparku, Mas?!"

Lelaki itu bergeming. Napasnya terdengar berburu. Namun dari belakang, justru terdengar suara yang ia kenal betul itu siapa. "Kamu memang pantas di tampar, bahkan kalau perlu dibunuh sekalian! Karena kamu itu, tidak lebih dari wanita hina!" maki wanita tua dengan wajah merah padam menahan murka. Tangan kanannya menunjuk pada wanita yang lebih muda itu.

"Apa salahku, Ma?" tanyanya bingung.

"Apa salahmu, kau bilang?!" Wanita tua itu bergegas memangkas jarak mereka, meraih kedua bahunya lalu menariknya agar mengikuti langkah kaki si wanita tua. "lihat di sana! Apa yang kamu lakukan dengan Rian, hah?!" makinya lantang seraya menunjuk ke arah ranjang dimana terlihat seorang laki-laki muda sedang berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

Mata si wanita muda terbelalak, tidak percaya. "I-ini tidak seperti yang kalian pikirkan! Aku ... aku tidak tahu, kenapa Rian bisa berada di dalam kamarku, Ma! Tolong percaya padaku, Ma ... Mas Adit!" ujarnya memelas. Kedua tangannya menyatu di depan dada, berharap lelaki yang ia panggil Adit percaya. Namun lelaki itu justru melengos. Wajahnya bahkan terlihat murka.

"Sudah tertangkap basah, masih berani mengelak kamu, Sarah! Dasar wanita hina! Pergi kamu dari sini! Bawa sekalian anakmu karena aku tidak yakin jika Satria adalah anak kandung putraku Aditya alias cucu kandungku. Bisa jadi kamu hamil anak laki-laki lain, lalu mengaku hamil anak Aditya agar bisa masuk ke keluarga besar kami!" tuduh wanita itu dengan angkuh. Kedua tangannya bersedekap di dada.

Sarah menggelengkan kepalanya, menolak tuduhan tersebut. Ia bahkan berusaha memasang wajah memelas agar Aditya percaya padanya. Namun lelaki itu justru enggan ia sentuh. Aditya menyentak kuat pegangan tangannya hingga terlepas. "Mas ...," panggilnya lirih saat Aditya justru memilih berbalik badan, meninggalkan dirinya yang kini jatuh terduduk. Bahkan tidak membelanya saat ibunya melemparkan semua pakaian milik Sarah ke atas kepalanya.

***

"Dengan ini saya selaku Ketua Hakim, menyatakan jika kalian berdua telah resmi bercerai," tukas Hakim Ketua sembari mengetukkan palu di atas meja yang ada di depannya.

"Alhamdulillah ...," ucap syukur seorang wanita paruh baya yang terlihat semringah saat mendengar putusan pengadilan agama. Wanita itu segera berdiri dari duduknya, kemudian berjalan mendekati sang putra yang nampak lesu setelah putusan pengadilan keluar soal status hubungannya dengan sang mantan istri.

Sementara itu, wanita yang duduk di sebelahnya, nampak bergegas berdiri saat melihat kedatangan wanita paruh baya itu. Kemudian segera mengayunkan langkahnya menuju pintu keluar.

"Jangan lupa serahkan hak asuh Satria ke tangan Adit!" Wanita paruh baya itu bertitah sembari melengos, enggan menatap lama-lama mantan menantunya itu.

Sarah yang sempat terhenti langkahnya, lantas menyahut, "Maaf, Nyonya Malika yang terhormat. Saya Sarah, ibu dari Satria Maulana. Tidak akan pernah menyerahkan putra saya ke tangan Nyonya apalagi ke tangan ayahnya yang tidak bertanggungjawab seperti itu!" Setelah mengucapkannya, Sarah pun bergegas meninggalkan ruangan tersebut, tanpa perduli jika kini wajah Malika merah padam menahan murka.

"Dasar mantan menantu kurang ajar kamu, ya?! Pantas saja putraku menceraikan mu!" maki Malika dengan sengit sembari menunjuk ke arah sang mantan menantu yang telah hilang di balik pintu.

"Ma ... sudah, Ma! Malu ... kita lagi di pengadilan ini!" tegur Aditya sembari memegangi kedua bahu ibunya agar tidak berlari mengejar sang mantan istri, lalu mengajaknya berkelahi seperti yang pernah mereka lakukan.

Malika yang mendengar teguran tersebut, lantas membalikkan badannya, hingga keduanya kini berhadapan. Dirinya seketika malu, karena masih tersisa hakim anggota yang melihat aksi memalukan yang ia lakukan.

Wanita itupun lantas tersenyum kikuk, kemudian segera menyeret putranya agar keluar dari dalam sana.

Sementara itu, Sarah bergegas menaiki angkot yang kebetulan singgah di depan kantor pengadilan agama. Sembari menahan tangis dan juga kesal yang menumpuk di dalam dada, wanita dua puluh satu tahun itu mengeraskan wajahnya hingga terlihat seolah-olah dirinya adalah wanita yang angkuh.

"Stop di sini, Mang!" tegur Sarah pada kernet angkot saat dirinya telah sampai di halte yang ada di dekat rumah petak yang ia sewa.

"Siap, Neng!" sahut sang kernet sembari menepuk pelan pundak sopir tunawicara, dimana sang sopir segera melirik lewat kaca spion yang ada di depannya.

Iapun segera menghentikan laju angkot saat melihat kode yang diberikan sang sahabat, tak lupa menyalakan lampu sein ke kiri sebelum memberhentikan laju angkot yang ia kendarai.

Sarah bergegas menyerahkan sejumlah uang ke tangan sang kernet sembari berusaha tersenyum tipis. Iapun segera turun dari dalam angkot, begitu angkot tersebut benar-benar berhenti.

Dengan langkah tergesa-gesa, Sarah melajukan langkahnya menuju rumah yang dia huni bersama sang putra. Dimana kini ia titipkan untuk sementara dengan ibu pemilik kontrakan.

"Assalamualaikum ...!" sapa nya begitu sampai di depan pintu rumah sang pemilik kontrakan.

"Wa'alaikum salam ...!" sahut Marni -pemilik kontrakan yang ia sewa- dari dalam kamar sembari menggendong Satria yang nampak sedang asyik berceloteh senang. Bahkan air liurnya nampak menetes membasahi baju lusuh yang ia kenakan, tepat di bagian dada hingga jatuh ke punggung tangan Marni.

"Satria anteng, Bu?" tanya Sarah dengan sopan sembari berjalan masuk ke dalam, mendekati keduanya, setelah sebelumnya melepaskan sandal jepit yang ia kenakan di depan pintu.

"Anteng kok! Anak Sholeh, kan?!" sahut Marni sembari mengulas senyum manis. Iapun menyerahkan Satria pada ibunya tatkala wanita itu mengulurkan kedua tangannya.

Sarah segera menyambutnya, dimana kini terlihat Satria nampak terlonjak senang, karena bisa bertemu dengan ibunya setelah hampir seharian tidak bertemu, akibat persidangan yang harus ibunya jalani.

"Bagaimana keputusan hakim? Kalian benar-benar bercerai?" tanya Marni sembari mengajak Sarah untuk duduk, karena wanita itu nampak hendak memberikan ASI pada sang putra, yang terlihat membuka mulutnya lebar-lebar.

"Iya, Bu. Kami sudah resmi bercerai," tukas Sarah dengan lirih, karena kini mata Satria mulai terpejam seiring kuatnya isapan yang ia lakukan.

Marni lantas menghela napas panjang, dirinya benar-bnar menyayangkan sikap Aditya yang mudah sekali menjatuhkan talak pada Sarah, meskipun hal yang mendasarinya sangatlah sepele.

"Lalu ... apa rencana mu selanjutnya?" tanya Marni pelan, saat dirinya melihat jika kini Satria telah tertidur pulas dalam buaian ibunya.

Sarah perlahan meletakkan Satria di atas kasur lantai yang ada di pojok ruang tamu, yang biasanya ia pergunakan setiap kali dititipkan pada sang pemilik kontrakan, tatkala ibunya harus bekerja di toko roti yang ada di kawasan jalan Ahmad Yani kilometer satu. Kemudian mengambil kelambu kecil, guna menghalau nyamuk yang mungkin akan menggigit tubuh bayi gembul itu.

Marni masih menunggu Sarah menjawab pertanyaannya. Sementara Sarah yang baru selesai memasang kelambu. Lantas menoleh pada wanita paruh baya nan baik hati itu. "Saya akan mencari pekerjaan tambahan, Bu," tukasnya sembari mengulas senyum tipis.

"Kamu yakin?" tanya Marni dengan mata terbelalak.

Sarah mengangguk singkat dan tegas sembari membalikkan badannya, menghadap ke arah Marni seutuhnya. "Saya yakin, Bu! Demi Satria dan juga, agar semua hutang saya segera lunas," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. "tapi ...," sorotnya seketika menyendu karena yakin setelah ini waktunya bersama sang putra akan semakin berkurang.

Marni gegas menepuk pelan pundak kiri Sarah, membuat wanita itu menoleh padanya. "Kalau kamu mengkhawatirkan soal Satria ... masih ada Ibu yang akan bersedia membantu mengurus anakmu. Lagipula Ibu sudah menganggap kamu seperti putri Ibu sendiri, sementara Satria sudah seperti cucu Ibu. Jadi ... jangan khawatir, ya, Nak?!" tuturnya menenangkan.

Air mata yang sudah berkumpul di kedua sudut mata Sarah, lantas mengucur deras bak air terjun. Ibu muda itu seketika tergugu, yang segera ia bungkam dengan menggigit punggung tangan kanannya, takut suara isakannya membangunkan sang putra.

Marni lantas menarik bahu Sarah agar masuk ke dalam pelukannya. Wanita lima puluh tahun itu berusaha menenangkan. "Menangis lah, jika itu bisa membuatmu lega. Karena ada kalanya kita sebagai wanita berada diposisi rapuh. Namun yakinlah, setelah tangisan itu mereda, bahumu akan sekuat karang kembali," tukasnya sembari menepuk-nepuk punggung Sarah.

"Terimakasih, Bu!" ungkap Sarah setelah tangisannya mulai mereda. Ia lantas mengurai pelukan mereka, kemudian mengusap sisa air mata yang masih mengalir di kedua pipinya.

"Sama-sama," sahut Marni sembari mengulas senyum tipis.

Keduanya lantas sama-sama melemparkan senyum.

"Assalamualaikum!" ucap seseorang dari balik pintu yang terbuka lebar.

"Wa'alaikum salam!" sahut Keduanya serentak sembari menoleh ke arah pintu dimana sesosok laki-laki berpakaian rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana bahan, sedang berdiri di depan pintu, menatap balik ke arah keduanya dengan seulas senyum tipis.

Sarah yang melihat siapa gerangan yang datang, seketika membelalakkan matanya. "Kamu!" pekiknya kuat.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Daffa Ammira

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Gavin
5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku