Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
~~***~~
27 Oktober 2011
Sulit sekali rasanya bagi Nebula untuk pura-pura menjadi lelaki kuat, nyatanya ia jatuh tersimpuh tepat di sebelah nisan wanita yang disayang, matanya merah, mulai berembun, sudah tak mampu lagi untuk menahan laju airmata, hingga benar-benar banjir, mengalir deras bagai laju anak sungai.
"Kau membohongiku, Rigel. Kau bilang aku pasti bahagia di hari ulangtahunku. Kau bohong. Kau penipu." Tangannya gemetar ketika menempatkan setangkai lili putih tepat di depan foto kematian itu, Nisan hitam bertuliskan nama serta tanggal lahir sekaligus tanggal kematian menjadi saksi bisu, saksi bagaimana Nebula tampak hancur.
Darahnya sama dengan wanita yang ia cintai, membuat rasa kesakitan ketika kehilangan itu jauh lebih terasa hebat menghancur, mengiris hati. Nebula seperti nyaris mati pula, seperti sebagian jiwanya telah pergi meninggalkan raga. Bintang terang sekaligus buminya itu telah pergi tak akan bisa kembali.
Ellena yang berdiri di belakang Nebula. Sosok yang nyaris berusia setengah abad itu pula tak kalah hancur, kehilangan putri satu-satunya dan menyaksikan bagaimana Nebula sangat terpukul pun terluka. Air mata Ellena turut banjir pula, sulit untuk tidak menagis di situasi menyakitkan itu. Beruntung Ellena masih memiliki sosok suami yang menenangkannya, mengusap punggungnya pelan penuh kasih, yang siap menghapus setiap air mata yang tertumpah dengan ibu jari.
Semilir angin sore mampu menerbangkan dedaunan yang mulai menguning, musim gugur tahun ini kehilangan kebahagiaan, musim gugur menyedihkan dan menyakitkan. Setiap daun yang jatuh itu melukiskan bagaimana Rigel pergi meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
"Setiap kali ulang tahun, Kau memintaku membawakanmu lili putih. Tapi, aku selalu menolak membawakannya untukmu. Kali ini aku membawakannya untukmu, Bumiku." Rasanya sesak teramat, seperti ada benda yang menyumbat rongga paru. Nebula merasa dunianya hancur, lebur berkeping-keping, kemudian ia turut hancur bersama kepingan itu untuk kemudian menjadi abu yang tak berguna. Rembulan itu hampir kehilangan sianar hidupnya. Suaranya bahkan tercekat nyaris tak terdengar.
"Nebula, kita pulang sekarang?" Sebuah tepukan ringan dari tangan lebar pada punggungnya, membuat nebula perlahan bangkit dari posisi terduduk. Rasanya berat untuk meninggalkan buminya seorang saja di dalam peti yang telah terkubur. Ia tak tega.
Setiap langkah kaki Nebula yang mencoba meninggalkan komplek pemakaman terasa berat, kakinya serasa akan terbenam, atau seperti ada yang memberati kakinya. Lemas tak bertenaga.
Sebelum naik ke dalam mobil, selagi matanya masih mampu melihat nisan hitam itu, Nebula terus menggumam dalam hatinya.
"Kau bumiku, kau sebagian nyawaku, kenapa harus kau yang pergi? Harusnya aku yang pergi lebih dulu, aku yang dekat dengan kematian. Haruskah aku menyusulmu?"
***
23 September 2011
"Nebula, bisa kau jelaskan apa maksud dari kertas ini?" Secarik kertas dengan amplop bewarna putih digenggam indah pada jemari nan lentik. Membuat Nebula sontak melompat dari tempat tidur tingkat dengan kayu mahoni milikknya, merebut dengan cepat amplop yang masih digenggam oleh Rigel. Bahaya jika sampai Rigel membaca isinya, cukuplah bagi Rigel membaca tulisan pada amplop saja. Rahasia biarlah terkubur.
Setelah memastikan amplop itu berada aman kembali dalam genggaman. "Kau kalau masuk ke kamar orang lain harusnya mengetuk pintu lebih dulu, dan tak sepantasnya menyentuh apapun yang ada di kamar orang lain." Pria dengan manik mata yang seperti memancarkan galaksi itu tanpak menaikkan nada bicaranya. Ini untuk kali pertama ia melakukan itu terhadap Rigel.
"Begitukah? Kau anggap aku orang lain hingga aku harus selalu meminta izin darimu?" Banjir itu mulai datang, basah, membuat jejak alir bak anak sungai pada wajah Rigel yang mulus, tak menyangka jika Nebula bisa menyakiti hati dengan berbicara keras padanya. Ini kali pertama Rigel dibuat menagis oleh Nebula.