Dia adalah galaksi, lebih besar dari bumi. Ia bermimpi ingin menjadi seperi bulan yang memiliki bumi untuk ia sinari. Namun, apabila buminya tiada, apakah ia akan terus bersinar?
~~***~~
27 Oktober 2011
Sulit sekali rasanya bagi Nebula untuk pura-pura menjadi lelaki kuat, nyatanya ia jatuh tersimpuh tepat di sebelah nisan wanita yang disayang, matanya merah, mulai berembun, sudah tak mampu lagi untuk menahan laju airmata, hingga benar-benar banjir, mengalir deras bagai laju anak sungai.
"Kau membohongiku, Rigel. Kau bilang aku pasti bahagia di hari ulangtahunku. Kau bohong. Kau penipu." Tangannya gemetar ketika menempatkan setangkai lili putih tepat di depan foto kematian itu, Nisan hitam bertuliskan nama serta tanggal lahir sekaligus tanggal kematian menjadi saksi bisu, saksi bagaimana Nebula tampak hancur.
Darahnya sama dengan wanita yang ia cintai, membuat rasa kesakitan ketika kehilangan itu jauh lebih terasa hebat menghancur, mengiris hati. Nebula seperti nyaris mati pula, seperti sebagian jiwanya telah pergi meninggalkan raga. Bintang terang sekaligus buminya itu telah pergi tak akan bisa kembali.
Ellena yang berdiri di belakang Nebula. Sosok yang nyaris berusia setengah abad itu pula tak kalah hancur, kehilangan putri satu-satunya dan menyaksikan bagaimana Nebula sangat terpukul pun terluka. Air mata Ellena turut banjir pula, sulit untuk tidak menagis di situasi menyakitkan itu. Beruntung Ellena masih memiliki sosok suami yang menenangkannya, mengusap punggungnya pelan penuh kasih, yang siap menghapus setiap air mata yang tertumpah dengan ibu jari.
Semilir angin sore mampu menerbangkan dedaunan yang mulai menguning, musim gugur tahun ini kehilangan kebahagiaan, musim gugur menyedihkan dan menyakitkan. Setiap daun yang jatuh itu melukiskan bagaimana Rigel pergi meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
"Setiap kali ulang tahun, Kau memintaku membawakanmu lili putih. Tapi, aku selalu menolak membawakannya untukmu. Kali ini aku membawakannya untukmu, Bumiku." Rasanya sesak teramat, seperti ada benda yang menyumbat rongga paru. Nebula merasa dunianya hancur, lebur berkeping-keping, kemudian ia turut hancur bersama kepingan itu untuk kemudian menjadi abu yang tak berguna. Rembulan itu hampir kehilangan sianar hidupnya. Suaranya bahkan tercekat nyaris tak terdengar.
"Nebula, kita pulang sekarang?" Sebuah tepukan ringan dari tangan lebar pada punggungnya, membuat nebula perlahan bangkit dari posisi terduduk. Rasanya berat untuk meninggalkan buminya seorang saja di dalam peti yang telah terkubur. Ia tak tega.
Setiap langkah kaki Nebula yang mencoba meninggalkan komplek pemakaman terasa berat, kakinya serasa akan terbenam, atau seperti ada yang memberati kakinya. Lemas tak bertenaga.
Sebelum naik ke dalam mobil, selagi matanya masih mampu melihat nisan hitam itu, Nebula terus menggumam dalam hatinya.
"Kau bumiku, kau sebagian nyawaku, kenapa harus kau yang pergi? Harusnya aku yang pergi lebih dulu, aku yang dekat dengan kematian. Haruskah aku menyusulmu?"
***
23 September 2011
"Nebula, bisa kau jelaskan apa maksud dari kertas ini?" Secarik kertas dengan amplop bewarna putih digenggam indah pada jemari nan lentik. Membuat Nebula sontak melompat dari tempat tidur tingkat dengan kayu mahoni milikknya, merebut dengan cepat amplop yang masih digenggam oleh Rigel. Bahaya jika sampai Rigel membaca isinya, cukuplah bagi Rigel membaca tulisan pada amplop saja. Rahasia biarlah terkubur.
Setelah memastikan amplop itu berada aman kembali dalam genggaman. "Kau kalau masuk ke kamar orang lain harusnya mengetuk pintu lebih dulu, dan tak sepantasnya menyentuh apapun yang ada di kamar orang lain." Pria dengan manik mata yang seperti memancarkan galaksi itu tanpak menaikkan nada bicaranya. Ini untuk kali pertama ia melakukan itu terhadap Rigel.
"Begitukah? Kau anggap aku orang lain hingga aku harus selalu meminta izin darimu?" Banjir itu mulai datang, basah, membuat jejak alir bak anak sungai pada wajah Rigel yang mulus, tak menyangka jika Nebula bisa menyakiti hati dengan berbicara keras padanya. Ini kali pertama Rigel dibuat menagis oleh Nebula.
Tidak butuh waktu lama bagi Nebula untuk memahami kesalahannya, beberapa detik setelah melihat air mata Rigel turun dengan deras, ia segera menarik Rigel dalam pelukan. "Maaf, a--aku tak bermaksud, tak seharusnya aku bicara dengan keras seperti barusan." Nebula segera menarik Rigel untuk masuk dalam dekap hangatnya, membiarkan Rigel menangis di bidang dadanya yang hangat malam itu, hingga kaos abunya basah terkena air mata, hingga Rigel lelah sendiri.
"Sudah selesai?" Nebula melepas erat pelukan Rigel pada pinggang, membuat gadis itu mendongak menatap pada wajah Nebula yang lebih tinggi, kemudian mengangguk sembari birai merah itu mengerucut gemas. Nebula mengurai jarak diantara keduanya, untuk kemudian tangannya diangkat demi menghapus jejak alir air mata di wajah Rigel.
"Kau jahat, malam ini aku mau tidur disini." Rigel beranjak naik ke tempat tidur tingkat Nebula, ingin mencoba menguasai tempat tidur yang tidak begitu luas, sedangkan Nebula mendengus, menyesal telah membuat Rigel menangis, sudah dipastikan malam ini ia akan semalaman mendengar ocehan Rigel.
"Tapi kau tak bisa bermalam di kamarku." Nebula mencoba menarik kaki Rigel yang masih menapak di tangga menuju tempat tidur. Tapi, Rigel berhasil melepaskannya.
"Lepaskan. Memangnya kenapa aku tidak bisa bermalam di sini?"
"Kita bukan anak-anak lagi, Rigel."
"Ya, aku tahu, minggu depan kita sudah masuk usia dewasa karena sudah 17 tahun. Ah, apa kau memikirkan hal kotor di kepalamu?" Rigel terkekeh dengan sesekali masih sesenggukan, kali ini ia sudah berbaring diatas empuknya busa tempat tidur.
"Terserah kau saja." Nebula menyimpan amplop putih yang sempat akan dibaca oleh Rigel kedalam lemari, mengunci lemarinya, memastikan amplop putih itu aman.
Jendela kaca di kamar yang bernuansa ruang angkasa itu sudah ditutup sebagian, sebagian lagi masih dibiarkan terbuka, udara malam yang dingin bergilir masuk. Nebula masih ingin menikmati malamnya dengan melihat bulan menggunakan teleskop reflektor yang mampu memperlihatkan isi langit dengan lebih jelas.
"Apa malam ini Nebula tampak jelas?" Tanya Rigel yang mengubah posisi berbaringnya ke posisi menelungkup, Rigel penasaran, kepalanya menunduk kebawah tempat tidur tingkat yang mana di bawahnya sudah diubah menjadi tempat mengamati bintang dan ruang buku tata surya milik mereka. "Aku dengar, bulan depan bertepatan akan terjadi hujan meteor Leonid." Gumam Rigel yang kembali ke posisi baring.
Nebula masih bersemangat dengan teleskopnya, bintang malam dan rembulan terang mencuri hatinya malam ini. Selalu sama, rembulan bertahta dalam hatinya, sesuka itu ia pada rembulan, Nebula tersenyum setelah bisa melihat bulan bersinar dengan benderangnya malam ini, ia bisa tertidur dengan nyeyak tiap-tiap berhasil melihat bulan. "Aku punya rencana bagus untuk itu?" Menutup kaca jendela yang ada di hadapannya, menarik dua lembar kain gorden yang berada di sisi kanan-kiri jendela, mempertemukan kain itu untuk tidak memberi celah.
Nebula kemudian ikut naik ke tempat tidurnya, menarik satu bantal yang dipeluk Rigel. Berbaring di sebelah gadis itu.
Rigel mengubah posisinya, miring menghadap pada Nebula. "Rencana apa?"
"Bagaimana kalau kita menikmatinya di puncak gunung?"
"Menikmati? Apa?" Dahi Rigel tampak mengkerut, berlapis bak roti lapis, menandakan ia sedang bingung atas penuturan Nebula. Agaknya sedikit ambigu kalimat yang Nebula tuturkan.
"Bodoh. Tentu saja menikmati hujan meteor. Kau pikir apa? Kau memikirkan hal kotor di kepalamu?" Seperti sebuah dendam, Nebula membalikkan apa yang tadi Rigel katakan. Satu telapak tangannya menepuk kening Rigel dengan pelan.
Nebula mengembus napas pelan setelah turut berbaring di ranjangnya, menarik satu selimut untuk menutupi tubuh mereka. Angin malam musim gugur sudah mulai dingin, menghantarkan mereka untuk lebih cepat lelap menjelajah alam mimpi.
Love
AMEERA LIMZ