Nadia, perempuan ambisius dengan kehidupan penuh kemewahan, tak pernah menyangka akan tertarik pada Akbar, seorang hafidz Qur'an yang hidup sederhana. Terjebak di antara cita-citanya dan pesan spiritual yang Akbar tanamkan, Nadia mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Saat hati mulai mengalahkan logika, dia dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan status sosial atau mengejar kebahagiaan sejati bersama Akbar. Namun, cinta mereka menghadapi tantangan besar, karena bagi keluarganya, Akbar bukanlah pasangan yang "setara." Apakah cinta sejati mereka dapat menembus batas sosial dan ekonomi yang membelenggu?
"Untuk apa bicara soal kedamaian kalau hidup ini butuh uang?" tanya Nadia, nada sinis terdengar jelas dalam suaranya, memecah keheningan ruangan.
Semua menoleh ke arah suara itu, sebagian kaget, sebagian lainnya hanya terdiam, menanti reaksi pria yang berdiri di atas panggung. Pria itu adalah Akbar, sosok sederhana yang tampak berbeda di antara tamu-tamu lain yang hadir dengan busana mewah dan rapi.
Akbar tersenyum tipis, tak menunjukkan tanda terganggu sedikit pun oleh pertanyaan itu. Dengan tenang, dia menatap ke arah Nadia, sorot matanya lembut tapi tajam. "Kedamaian bukan tentang uang, Nadia," ucapnya pelan namun cukup jelas didengar oleh semua yang hadir.
Nadia mendengus pelan, merasa tertantang dengan balasan tersebut. "Kedamaian bukan tentang uang? Kamu tahu nggak, dunia ini berputar karena uang? Semua yang ada di sini, termasuk acara amal ini, membutuhkan uang agar bisa berjalan."
Akbar hanya mengangguk, tetap tenang. "Betul, tapi uang hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan kita seharusnya lebih dari sekadar materi."
"Jadi menurutmu, tujuan hidup itu apa? Kalau bukan untuk sukses?" tanya Nadia, nada sinisnya tak berkurang sedikit pun.
"Sukses adalah saat kita bisa hidup tanpa perlu terus-menerus mengejar sesuatu di luar diri kita," jawab Akbar dengan senyum yang tetap tenang.
Nadia merengut, merasa semakin tidak nyaman. Ia tak menyukai cara pria itu berbicara-tenang, tanpa nada emosi, seolah-olah benar-benar yakin dengan setiap kata yang diucapkannya. Namun, justru ketenangan itu yang membuat Nadia semakin terganggu.
Sofi, sahabatnya yang duduk di samping, menyenggolnya pelan. "Udah, Nad. Jangan terlalu keras."
Namun, Nadia mengabaikannya. Ia menatap Akbar dengan penuh rasa penasaran bercampur sinis. "Kamu hidup sederhana mungkin karena kamu belum pernah merasakan yang namanya kenyamanan. Jadi, wajar aja kamu nggak paham betapa pentingnya uang dalam hidup ini."
Akbar tersenyum, tetap tenang. "Saya tidak menyalahkan siapa pun yang menginginkan kenyamanan, Nadia. Semua orang berhak hidup layak. Tapi pertanyaannya adalah, apakah yang kita kejar itu benar-benar kebutuhan, atau hanya keinginan yang kita tanam karena terbiasa membandingkan diri?"
Kata-katanya menghantam Nadia. Ia terdiam sejenak, merasa seperti ditelanjangi di hadapan orang-orang. Selama ini, ia berusaha memiliki yang terbaik, menjalani hidup yang dianggap sukses. Tapi, mengapa kata-kata Akbar terdengar begitu menantang? Mengapa ia merasa seolah pria itu sedang berbicara langsung padanya?
"Jadi menurutmu hidup tanpa uang itu lebih baik?" Nadia bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.
"Tidak begitu," jawab Akbar lembut. "Uang penting, sangat penting. Tapi hidup kita lebih berharga dari sekadar angka-angka di rekening. Mungkin kita bisa memiliki segalanya, tapi hati kita kosong. Mungkin kita terlihat bahagia, tapi di dalam diri kita, ada yang hilang."
Nadia merasakan perasaan aneh. Seakan-akan Akbar sedang berbicara langsung ke dalam hatinya. Ia tidak suka ini. Ia tidak suka merasa rapuh.
"Omong kosong," gumamnya, walau tak cukup pelan untuk menyembunyikan nada frustrasi dalam suaranya.
Akbar tetap tersenyum, tak terpancing oleh ketegangan yang terlihat di wajah Nadia. "Bukan omong kosong, Nadia. Mungkin kamu belum pernah merasakannya, atau mungkin kamu belum sadar. Tapi di saat kita berhenti mengejar hal-hal yang membuat kita letih, kita bisa mulai melihat apa yang benar-benar berarti."
Nadia ingin membalas, namun kata-kata Akbar terus bergema di kepalanya, seolah menghancurkan semua dinding yang selama ini ia bangun.
Sofi menarik napas dalam, lalu menepuk bahunya pelan. "Udah, Nad. Kita di sini untuk acara keluarga, bukan buat debat."
Nadia memalingkan wajah, berusaha mengendalikan emosinya. "Iya, aku tahu," jawabnya lirih, tapi tatapannya tak lepas dari Akbar, pria yang berhasil mengusik pikirannya dengan cara yang tak terduga.
Akbar menyudahi sesi bicaranya dan turun dari panggung. Saat ia mendekati meja Nadia, ia berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. "Maaf kalau tadi ada kata-kata saya yang mungkin menyinggungmu, Nadia. Saya hanya ingin berbagi pemahaman."
Nadia merasa ingin menghindar, tetapi tatapan Akbar membuatnya sulit berpaling. "Kamu terlalu yakin dengan apa yang kamu katakan, seakan-akan kamu sudah tahu semuanya."
Akbar mengangguk pelan. "Saya tidak tahu semuanya, Nadia. Saya hanya tahu apa yang membuat saya merasa damai. Mungkin apa yang saya katakan tadi hanya cocok untuk sebagian orang, atau mungkin juga tidak."
"Jadi kamu nggak yakin juga?" Nadia menyipitkan mata, mencoba mencari kelemahan di balik jawaban Akbar.
Akbar tersenyum lagi. "Saya yakin pada kedamaian yang saya rasakan. Itu cukup buat saya."
Saat itu, Nadia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terguncang. Selama ini, ia hidup dengan keyakinan bahwa yang ia lakukan adalah yang terbaik, mengejar kesuksesan, meraih apa yang ia inginkan. Namun, kata-kata Akbar seolah membuatnya ragu.
Sebelum Nadia sempat berkata apa-apa lagi, seorang tamu lain menghampiri Akbar, memintanya untuk berbicara. Akbar pun pamit dengan anggukan singkat, meninggalkan Nadia yang masih terpaku di tempat.
Sofi menarik lengannya pelan, mencoba mengajaknya duduk kembali. "Nad, kamu kenapa sih? Kelihatan banget kalau kamu terusik sama dia."
Nadia menghela napas panjang, mengalihkan pandangan dari punggung Akbar yang semakin menjauh. "Aku nggak tahu, Sof. Dia... dia ngomong seakan-akan semua yang aku percaya selama ini salah."
Sofi tersenyum tipis. "Mungkin kamu cuma nggak terbiasa mendengar perspektif lain."
Nadia diam, merenung. "Mungkin," gumamnya pelan.
Selama sisa acara, Nadia tak bisa fokus. Kata-kata Akbar terus berputar di kepalanya, menghantui pikirannya. Ia selalu berpikir bahwa hidup yang sempurna adalah memiliki segalanya. Tapi kenapa sekarang ia merasa kosong? Mengapa kata-kata Akbar begitu mengusik, seolah ia baru menyadari bahwa ada hal yang hilang dalam hidupnya?
Saat acara selesai, Nadia pamit pada Sofi dan langsung berjalan keluar ruangan. Udara malam yang dingin menyambutnya, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.
Langkahnya terhenti ketika melihat Akbar berdiri di halaman, mengamati langit malam dengan tenang. Ada kedamaian di wajahnya, sesuatu yang langka dalam hidup Nadia.
Tanpa sadar, Nadia melangkah mendekat. "Kamu nggak takut kedinginan di sini?"
Akbar menoleh, tersenyum. "Udara malam ini menyegarkan. Membantu kita berpikir."
Nadia tersenyum kecil, menatap langit bersama Akbar. "Aku nggak ngerti gimana bisa kamu hidup seperti itu, seolah nggak ada yang kamu kejar."
Akbar menatapnya dengan lembut. "Kedamaian bukan berarti berhenti mengejar sesuatu, Nadia. Kedamaian adalah saat kita tahu apa yang harus kita kejar, dan apa yang harus kita lepaskan."
Nadia terdiam, kata-kata itu kembali mengusik. Selama ini, apa yang sebenarnya ia kejar?
"Aku nggak tahu apa yang harus aku lepaskan," akhirnya ia mengakui, lirih.
"Kadang, kita hanya butuh diam sejenak, memberi ruang untuk mendengarkan hati kita sendiri," jawab Akbar, suaranya lembut seperti angin malam.
Nadia merasa tenggelam dalam kedamaian yang Akbar bicarakan. Namun, ia tahu ketenangan ini tak akan bertahan lama. Hidupnya penuh dengan tuntutan, ambisi, dan ekspektasi. Bagaimana mungkin ia bisa hidup seperti Akbar?
"Nadia," suara Akbar menyela lamunannya. "Kamu nggak harus punya jawaban sekarang. Kadang, perjalanan menemukan jawaban itu lebih penting daripada jawabannya sendiri."
Nadia menghela napas panjang. Mungkin Akbar benar, tapi semua ini terasa begitu asing, begitu jauh dari kehidupannya yang biasa. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang meronta, seakan ingin merasakan kedamaian yang Akbar bicarakan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Sebuah panggilan dari salah satu rekan kerja. Ekspresinya berubah, kembali pada realitas yang ia kenal.
"Aku harus pergi," ucapnya cepat pada Akbar.
Bab 1 Awal Mula
26/11/2024
Bab 2 Bertemu Akbar
26/11/2024
Bab 3 Pertemuan Kedua yang Intens
26/11/2024
Bab 4 Bayangan di Persimpangan Jalan
27/11/2024
Bab 5 Ujian Kehidupan
27/11/2024
Bab 6 Dilema Antara Keinginan dan Hati Nurani
27/11/2024
Bab 7 Godaan untuk Mengubah Diri
28/11/2024
Bab 8 Perlawanan dari Dalam dan Luar
28/11/2024
Bab 9 Pertemuan Pribadi dengan Akbar
28/11/2024
Bab 10 Langkah Pertama Menuju Transformasi
29/11/2024
Bab 11 Tekanan Keluarga yang Memuncak
29/11/2024
Bab 12 Konflik dengan Sahabat
29/11/2024
Bab 13 Akbar Menjaga Jarak
30/11/2024
Bab 14 Mencari Jawaban di Tempat yang Tak Terduga
30/11/2024
Bab 15 Perjodohan yang Semakin Dekat
30/11/2024
Bab 16 Dialog Mendalam dengan Akbar
01/12/2024
Bab 17 Keputusan Berani Nadia
01/12/2024
Bab 18 Kehilangan yang Menggugah Hati
01/12/2024
Bab 19 Ujian Cinta dan Keikhlasan
02/12/2024
Bab 20 Rizal Kembali dengan Tawaran Menggoda
02/12/2024
Bab 21 Pengorbanan Akbar
04/12/2024
Bab 22 Pertemuan yang Tak Terduga
05/12/2024
Bab 23 Pendewasaan Nadia
05/12/2024
Bab 24 Cinta yang Murni
05/12/2024
Bab 25 Awal Baru
06/12/2024
Bab 26 Membangun Kehidupan Baru
06/12/2024
Bab 27 Kembali pada Masyarakat
07/12/2024
Bab 28 Cobaan Ekonomi
07/12/2024
Bab 29 Ujian Kepercayaan
08/12/2024
Bab 30 Akbar Membuka Pesantren Kecil
08/12/2024
Bab 31 Pelajaran untuk Adik Akbar
08/12/2024
Bab 32 Akbar Membuka Pesantren Kecil
09/12/2024
Bab 33 Masa Lalu yang Kembali
09/12/2024
Bab 34 Pelajaran untuk Adik Akbar
11/12/2024
Bab 35 Kembali Terjerat Masa Lalu
11/12/2024
Buku lain oleh Moon Sunrise
Selebihnya