Antara Tajir dan Hafidz Qur'an

Antara Tajir dan Hafidz Qur'an

Moon Sunrise

5.0
Komentar
2.7K
Penayangan
35
Bab

Nadia, perempuan ambisius dengan kehidupan penuh kemewahan, tak pernah menyangka akan tertarik pada Akbar, seorang hafidz Qur'an yang hidup sederhana. Terjebak di antara cita-citanya dan pesan spiritual yang Akbar tanamkan, Nadia mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Saat hati mulai mengalahkan logika, dia dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan status sosial atau mengejar kebahagiaan sejati bersama Akbar. Namun, cinta mereka menghadapi tantangan besar, karena bagi keluarganya, Akbar bukanlah pasangan yang "setara." Apakah cinta sejati mereka dapat menembus batas sosial dan ekonomi yang membelenggu?

Bab 1 Awal Mula

"Untuk apa bicara soal kedamaian kalau hidup ini butuh uang?" tanya Nadia, nada sinis terdengar jelas dalam suaranya, memecah keheningan ruangan.

Semua menoleh ke arah suara itu, sebagian kaget, sebagian lainnya hanya terdiam, menanti reaksi pria yang berdiri di atas panggung. Pria itu adalah Akbar, sosok sederhana yang tampak berbeda di antara tamu-tamu lain yang hadir dengan busana mewah dan rapi.

Akbar tersenyum tipis, tak menunjukkan tanda terganggu sedikit pun oleh pertanyaan itu. Dengan tenang, dia menatap ke arah Nadia, sorot matanya lembut tapi tajam. "Kedamaian bukan tentang uang, Nadia," ucapnya pelan namun cukup jelas didengar oleh semua yang hadir.

Nadia mendengus pelan, merasa tertantang dengan balasan tersebut. "Kedamaian bukan tentang uang? Kamu tahu nggak, dunia ini berputar karena uang? Semua yang ada di sini, termasuk acara amal ini, membutuhkan uang agar bisa berjalan."

Akbar hanya mengangguk, tetap tenang. "Betul, tapi uang hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan kita seharusnya lebih dari sekadar materi."

"Jadi menurutmu, tujuan hidup itu apa? Kalau bukan untuk sukses?" tanya Nadia, nada sinisnya tak berkurang sedikit pun.

"Sukses adalah saat kita bisa hidup tanpa perlu terus-menerus mengejar sesuatu di luar diri kita," jawab Akbar dengan senyum yang tetap tenang.

Nadia merengut, merasa semakin tidak nyaman. Ia tak menyukai cara pria itu berbicara-tenang, tanpa nada emosi, seolah-olah benar-benar yakin dengan setiap kata yang diucapkannya. Namun, justru ketenangan itu yang membuat Nadia semakin terganggu.

Sofi, sahabatnya yang duduk di samping, menyenggolnya pelan. "Udah, Nad. Jangan terlalu keras."

Namun, Nadia mengabaikannya. Ia menatap Akbar dengan penuh rasa penasaran bercampur sinis. "Kamu hidup sederhana mungkin karena kamu belum pernah merasakan yang namanya kenyamanan. Jadi, wajar aja kamu nggak paham betapa pentingnya uang dalam hidup ini."

Akbar tersenyum, tetap tenang. "Saya tidak menyalahkan siapa pun yang menginginkan kenyamanan, Nadia. Semua orang berhak hidup layak. Tapi pertanyaannya adalah, apakah yang kita kejar itu benar-benar kebutuhan, atau hanya keinginan yang kita tanam karena terbiasa membandingkan diri?"

Kata-katanya menghantam Nadia. Ia terdiam sejenak, merasa seperti ditelanjangi di hadapan orang-orang. Selama ini, ia berusaha memiliki yang terbaik, menjalani hidup yang dianggap sukses. Tapi, mengapa kata-kata Akbar terdengar begitu menantang? Mengapa ia merasa seolah pria itu sedang berbicara langsung padanya?

"Jadi menurutmu hidup tanpa uang itu lebih baik?" Nadia bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah.

"Tidak begitu," jawab Akbar lembut. "Uang penting, sangat penting. Tapi hidup kita lebih berharga dari sekadar angka-angka di rekening. Mungkin kita bisa memiliki segalanya, tapi hati kita kosong. Mungkin kita terlihat bahagia, tapi di dalam diri kita, ada yang hilang."

Nadia merasakan perasaan aneh. Seakan-akan Akbar sedang berbicara langsung ke dalam hatinya. Ia tidak suka ini. Ia tidak suka merasa rapuh.

"Omong kosong," gumamnya, walau tak cukup pelan untuk menyembunyikan nada frustrasi dalam suaranya.

Akbar tetap tersenyum, tak terpancing oleh ketegangan yang terlihat di wajah Nadia. "Bukan omong kosong, Nadia. Mungkin kamu belum pernah merasakannya, atau mungkin kamu belum sadar. Tapi di saat kita berhenti mengejar hal-hal yang membuat kita letih, kita bisa mulai melihat apa yang benar-benar berarti."

Nadia ingin membalas, namun kata-kata Akbar terus bergema di kepalanya, seolah menghancurkan semua dinding yang selama ini ia bangun.

Sofi menarik napas dalam, lalu menepuk bahunya pelan. "Udah, Nad. Kita di sini untuk acara keluarga, bukan buat debat."

Nadia memalingkan wajah, berusaha mengendalikan emosinya. "Iya, aku tahu," jawabnya lirih, tapi tatapannya tak lepas dari Akbar, pria yang berhasil mengusik pikirannya dengan cara yang tak terduga.

Akbar menyudahi sesi bicaranya dan turun dari panggung. Saat ia mendekati meja Nadia, ia berhenti sejenak, menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. "Maaf kalau tadi ada kata-kata saya yang mungkin menyinggungmu, Nadia. Saya hanya ingin berbagi pemahaman."

Nadia merasa ingin menghindar, tetapi tatapan Akbar membuatnya sulit berpaling. "Kamu terlalu yakin dengan apa yang kamu katakan, seakan-akan kamu sudah tahu semuanya."

Akbar mengangguk pelan. "Saya tidak tahu semuanya, Nadia. Saya hanya tahu apa yang membuat saya merasa damai. Mungkin apa yang saya katakan tadi hanya cocok untuk sebagian orang, atau mungkin juga tidak."

"Jadi kamu nggak yakin juga?" Nadia menyipitkan mata, mencoba mencari kelemahan di balik jawaban Akbar.

Akbar tersenyum lagi. "Saya yakin pada kedamaian yang saya rasakan. Itu cukup buat saya."

Saat itu, Nadia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang terguncang. Selama ini, ia hidup dengan keyakinan bahwa yang ia lakukan adalah yang terbaik, mengejar kesuksesan, meraih apa yang ia inginkan. Namun, kata-kata Akbar seolah membuatnya ragu.

Sebelum Nadia sempat berkata apa-apa lagi, seorang tamu lain menghampiri Akbar, memintanya untuk berbicara. Akbar pun pamit dengan anggukan singkat, meninggalkan Nadia yang masih terpaku di tempat.

Sofi menarik lengannya pelan, mencoba mengajaknya duduk kembali. "Nad, kamu kenapa sih? Kelihatan banget kalau kamu terusik sama dia."

Nadia menghela napas panjang, mengalihkan pandangan dari punggung Akbar yang semakin menjauh. "Aku nggak tahu, Sof. Dia... dia ngomong seakan-akan semua yang aku percaya selama ini salah."

Sofi tersenyum tipis. "Mungkin kamu cuma nggak terbiasa mendengar perspektif lain."

Nadia diam, merenung. "Mungkin," gumamnya pelan.

Selama sisa acara, Nadia tak bisa fokus. Kata-kata Akbar terus berputar di kepalanya, menghantui pikirannya. Ia selalu berpikir bahwa hidup yang sempurna adalah memiliki segalanya. Tapi kenapa sekarang ia merasa kosong? Mengapa kata-kata Akbar begitu mengusik, seolah ia baru menyadari bahwa ada hal yang hilang dalam hidupnya?

Saat acara selesai, Nadia pamit pada Sofi dan langsung berjalan keluar ruangan. Udara malam yang dingin menyambutnya, tetapi itu tidak cukup untuk mengusir perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.

Langkahnya terhenti ketika melihat Akbar berdiri di halaman, mengamati langit malam dengan tenang. Ada kedamaian di wajahnya, sesuatu yang langka dalam hidup Nadia.

Tanpa sadar, Nadia melangkah mendekat. "Kamu nggak takut kedinginan di sini?"

Akbar menoleh, tersenyum. "Udara malam ini menyegarkan. Membantu kita berpikir."

Nadia tersenyum kecil, menatap langit bersama Akbar. "Aku nggak ngerti gimana bisa kamu hidup seperti itu, seolah nggak ada yang kamu kejar."

Akbar menatapnya dengan lembut. "Kedamaian bukan berarti berhenti mengejar sesuatu, Nadia. Kedamaian adalah saat kita tahu apa yang harus kita kejar, dan apa yang harus kita lepaskan."

Nadia terdiam, kata-kata itu kembali mengusik. Selama ini, apa yang sebenarnya ia kejar?

"Aku nggak tahu apa yang harus aku lepaskan," akhirnya ia mengakui, lirih.

"Kadang, kita hanya butuh diam sejenak, memberi ruang untuk mendengarkan hati kita sendiri," jawab Akbar, suaranya lembut seperti angin malam.

Nadia merasa tenggelam dalam kedamaian yang Akbar bicarakan. Namun, ia tahu ketenangan ini tak akan bertahan lama. Hidupnya penuh dengan tuntutan, ambisi, dan ekspektasi. Bagaimana mungkin ia bisa hidup seperti Akbar?

"Nadia," suara Akbar menyela lamunannya. "Kamu nggak harus punya jawaban sekarang. Kadang, perjalanan menemukan jawaban itu lebih penting daripada jawabannya sendiri."

Nadia menghela napas panjang. Mungkin Akbar benar, tapi semua ini terasa begitu asing, begitu jauh dari kehidupannya yang biasa. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang meronta, seakan ingin merasakan kedamaian yang Akbar bicarakan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Sebuah panggilan dari salah satu rekan kerja. Ekspresinya berubah, kembali pada realitas yang ia kenal.

"Aku harus pergi," ucapnya cepat pada Akbar.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Moon Sunrise

Selebihnya

Buku serupa

Patah Hati Mendatangkan Pria yang Tepat

Patah Hati Mendatangkan Pria yang Tepat

Renell Lezama
5.0

Tunangan Lena adalah pria yang menyerupai iblis. Dia tidak hanya berbohong padanya tetapi juga tidur dengan ibu tirinya, bersekongkol untuk mengambil kekayaan keluarganya, dan kemudian menjebaknya untuk berhubungan seks dengan orang asing. Untuk mencegah rencana jahat pria itu, Lena memutuskan untuk mencari seorang pria untuk mengganggu pesta pertunangannya dan mempermalukan bajingan yang selingkuh itu. Tidak pernah dia membayangkan bahwa dia akan bertemu dengan orang asing yang sangat tampan yang sangat dia butuhkan. Di pesta pertunangan, pria itu dengan berani menyatakan bahwa dia adalah wanitanya. Lena mengira dia hanya pria miskin yang menginginkan uangnya. Akan tetapi, begitu mereka memulai hubungan palsu mereka, dia menyadari bahwa keberuntungan terus menghampirinya. Dia pikir mereka akan berpisah setelah pesta pertunangan, tetapi pria ini tetap di sisinya. "Kita harus tetap bersama, Lena. Ingat, aku sekarang tunanganmu." "Delon, kamu bersamaku karena uangku, bukan?" Lena bertanya, menyipitkan matanya padanya. Delon terkejut dengan tuduhan itu. Bagaimana mungkin dia, pewaris Keluarga Winata dan CEO Grup Vit, bersamanya demi uang? Dia mengendalikan lebih dari setengah ekonomi kota. Uang bukanlah masalah baginya! Keduanya semakin dekat dan dekat. Suatu hari, Lena akhirnya menyadari bahwa Delon sebenarnya adalah orang asing yang pernah tidur dengannya berbulan-bulan yang lalu. Apakah kesadaran ini akan mengubah hal-hal di antara mereka? Untuk lebih baik atau lebih buruk?

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Antara Tajir dan Hafidz Qur'an
1

Bab 1 Awal Mula

26/11/2024

2

Bab 2 Bertemu Akbar

26/11/2024

3

Bab 3 Pertemuan Kedua yang Intens

26/11/2024

4

Bab 4 Bayangan di Persimpangan Jalan

27/11/2024

5

Bab 5 Ujian Kehidupan

27/11/2024

6

Bab 6 Dilema Antara Keinginan dan Hati Nurani

27/11/2024

7

Bab 7 Godaan untuk Mengubah Diri

28/11/2024

8

Bab 8 Perlawanan dari Dalam dan Luar

28/11/2024

9

Bab 9 Pertemuan Pribadi dengan Akbar

28/11/2024

10

Bab 10 Langkah Pertama Menuju Transformasi

29/11/2024

11

Bab 11 Tekanan Keluarga yang Memuncak

29/11/2024

12

Bab 12 Konflik dengan Sahabat

29/11/2024

13

Bab 13 Akbar Menjaga Jarak

30/11/2024

14

Bab 14 Mencari Jawaban di Tempat yang Tak Terduga

30/11/2024

15

Bab 15 Perjodohan yang Semakin Dekat

30/11/2024

16

Bab 16 Dialog Mendalam dengan Akbar

01/12/2024

17

Bab 17 Keputusan Berani Nadia

01/12/2024

18

Bab 18 Kehilangan yang Menggugah Hati

01/12/2024

19

Bab 19 Ujian Cinta dan Keikhlasan

02/12/2024

20

Bab 20 Rizal Kembali dengan Tawaran Menggoda

02/12/2024

21

Bab 21 Pengorbanan Akbar

04/12/2024

22

Bab 22 Pertemuan yang Tak Terduga

05/12/2024

23

Bab 23 Pendewasaan Nadia

05/12/2024

24

Bab 24 Cinta yang Murni

05/12/2024

25

Bab 25 Awal Baru

06/12/2024

26

Bab 26 Membangun Kehidupan Baru

06/12/2024

27

Bab 27 Kembali pada Masyarakat

07/12/2024

28

Bab 28 Cobaan Ekonomi

07/12/2024

29

Bab 29 Ujian Kepercayaan

08/12/2024

30

Bab 30 Akbar Membuka Pesantren Kecil

08/12/2024

31

Bab 31 Pelajaran untuk Adik Akbar

08/12/2024

32

Bab 32 Akbar Membuka Pesantren Kecil

09/12/2024

33

Bab 33 Masa Lalu yang Kembali

09/12/2024

34

Bab 34 Pelajaran untuk Adik Akbar

11/12/2024

35

Bab 35 Kembali Terjerat Masa Lalu

11/12/2024