Don Arkhan. Nama yang ditakuti di dunia bawah tanah. Ia dingin, tegas, dan tak pernah membiarkan emosinya menguasai keputusan. Tapi semuanya berubah sejak pernikahannya dengan Yara, seorang gadis koplak yang membuatnya sering memijat kening karena tingkah konyolnya. Yara adalah paket lengkap kekacauan: manja, kocak, naif, dan selalu punya cara aneh untuk menyelesaikan masalah. Meskipun terlihat polos dan ceria, ia menyimpan luka mendalam dari masa lalunya yang kelam. Trauma itu membuatnya sering kabur saat Don Arkhan mencoba mendekatinya secara lebih intim. Bagaimana Don Arkhan, yang terkenal dengan aura mengintimidasi, bisa meluluhkan hati Yara dan membantu menyembuhkan lukanya? Di tengah konflik dengan rival Mafia dan drama internal organisasi, cinta mereka tumbuh dengan cara yang absurd tapi menghangatkan hati. Siap-siap tertawa, menangis, dan dibuat baper oleh kisah ini!
Suasana malam itu di sebuah ballroom mewah di Jakarta dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu kristal dan suara gelas saling berdenting. Acara amal yang diadakan oleh para sosialita ibu kota sedang berlangsung meriah. Para tamu berdandan megah dengan gaun mahal dan jas elegan, saling melempar senyum palsu sambil bertukar basa-basi. Namun di tengah kemewahan itu, seorang wanita muda bergaun merah terang dengan motif polkadot besar tampak sibuk mondar-mandir, wajahnya mencerminkan kebingungan.
Yara Avanindra, sang "bebeb koplak", jelas terlihat tak cocok dengan suasana formal ini. Dengan poni rambut yang sedikit mencuat karena salah pakai hairspray, ia tampak seperti anak ayam tersesat di kandang elang.
"Mana sih itu amplop donasi?! Kok tiba-tiba hilang gitu aja!" gumam Yara sambil menggigit kukunya. Ia baru saja ditugaskan oleh panitia untuk mengawasi amplop donasi berisi uang puluhan juta, tapi entah bagaimana, amplop itu menghilang dari meja tempat ia meletakkannya tadi.
Yara menatap sekeliling dengan gelisah. Ballroom yang luas itu penuh dengan tamu, dan semuanya tampak sibuk berbincang atau berdansa. Tidak ada yang mencurigakan. Namun, matanya tiba-tiba terpaku pada seorang pria di sudut ruangan. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna yang membungkus tubuh atletisnya, wajahnya tajam dengan rahang tegas, dan sorot matanya dingin seperti es. Ia sedang berdiri sendirian dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, terlihat seperti tidak terlalu menikmati acara ini.
"Ah! Jangan-jangan dia malingnya!" pikir Yara. Logika sederhana ala Yara langsung menghubungkan ekspresi pria itu yang tampak "mencurigakan" dengan hilangnya amplop donasi.
Tanpa berpikir panjang, Yara meraih tas kecilnya dan berjalan dengan penuh keyakinan ke arah pria itu. Langkahnya cepat dan penuh semangat, meskipun sebenarnya hatinya berdebar-debar. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi yang jelas, ia harus mendapatkan amplop itu kembali.
♡ ♡ ♡
Don Arkhan, pemimpin mafia paling ditakuti di Indonesia, berdiri di sudut ruangan sambil menatap bosan ke arah keramaian. Ia sebenarnya tidak ingin hadir di acara ini, tapi Rendra, tangan kanannya, bersikeras bahwa kehadiran mereka penting untuk menjaga citra organisasi. Lagipula, acara seperti ini adalah tempat yang sempurna untuk membangun koneksi dengan para "penguasa" di permukaan.
Namun, malamnya yang tenang mendadak terganggu oleh sosok wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Wanita itu berdiri dengan tangan berkacak pinggang, wajah penuh percaya diri, meskipun ada sedikit gugup di matanya.
"Hei, Mas Maling!" seru Yara dengan suara yang sedikit gemetar, tapi nada menuduhnya jelas.
Don Arkhan mengangkat alisnya, sedikit bingung. Ia tidak percaya ada seseorang yang cukup nekat untuk memanggilnya "maling" di depan umum.
"Maaf?" jawab Arkhan singkat, suaranya rendah dan penuh wibawa. Sorot matanya yang dingin membuat Yara sedikit mundur, tapi ia mencoba menguatkan diri.
"Jangan pura-pura nggak tahu, ya! Saya tahu kamu nyuri amplop donasi! Cepat balikin, deh, sebelum saya lapor ke panitia!" Yara menunjuk wajah Arkhan dengan jari telunjuknya. Gaya bicaranya penuh semangat, meskipun tubuhnya sedikit gemetar.
Arkhan menatap wanita di depannya dengan ekspresi datar. Ia mencoba mencerna situasi ini. Siapa wanita ini? Dan kenapa ia berani menuduhnya mencuri?
"Amplop donasi?" tanya Arkhan dengan nada datar, suaranya nyaris seperti bisikan. Ekspresinya tetap tenang, tapi ada sedikit kerutan di dahinya.
"Iya! Amplop donasi! Jangan pura-pura bego, Mas! Saya lihat kamu berdiri di dekat meja waktu amplop itu hilang!" balas Yara, nadanya semakin tinggi. Ia merasa bahwa pria di depannya ini terlalu santai, bahkan setelah ia menuduhnya.
Dalam hati, Arkhan merasa terhibur. Sudah lama sejak ada seseorang yang berani berbicara kepadanya dengan nada seperti ini. Biasanya, orang-orang langsung gemetar di hadapannya. Tapi wanita ini? Ia seperti tidak takut mati.
"Saya rasa kamu salah orang, Nona," jawab Arkhan akhirnya, suaranya tetap tenang. Ia melirih sedikit, seolah mencoba menahan tawa. "Saya tidak mencuri apa pun."
"Tapi... tapi muka kamu tuh kayak... ya, kayak maling!" Yara tergagap, tapi tetap mencoba mempertahankan posisinya. Dalam hati, ia mulai ragu. Pria ini memang terlihat mencurigakan, tapi ia tidak punya bukti apa-apa.
Rendra, yang sejak tadi berdiri tidak jauh dari Arkhan, akhirnya melangkah mendekat. Ia tidak bisa menahan senyum melihat situasi ini. "Bos, kayaknya kita baru ketemu orang paling berani di acara ini," gumamnya sambil melirik Yara.
Arkhan hanya menghela napas. "Sudah cukup. Aku tidak punya waktu untuk omong kosong ini."
Yara menggigit bibirnya, merasa malu tapi juga tidak ingin menyerah begitu saja. "Oke, kalau kamu nggak mau ngaku, saya panggil panitia, ya! Biar mereka yang urus!"
Arkhan menatapnya tajam. "Coba saja. Tapi aku jamin, kamu akan menyesal."
Nada suaranya yang rendah dan dingin membuat Yara merinding. Tapi sebelum ia bisa membalas, seorang petugas keamanan tiba-tiba mendekat.
"Maaf, Nona Yara. Amplop donasinya sudah ditemukan. Ternyata jatuh di bawah meja," kata petugas itu sambil menyerahkan amplop tersebut.
Wajah Yara langsung memerah. Ia menoleh ke arah Arkhan dengan canggung. "Oh... jadi nggak hilang?"
Arkhan hanya menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
♡ ♡ ♡
Setelah kejadian itu, Yara mencoba menghindari Arkhan selama sisa acara. Ia merasa malu luar biasa atas tuduhannya tadi. Tapi, entah kenapa, pria itu selalu muncul di mana pun ia berada. Ketika ia pergi ke meja makanan, Arkhan ada di sana. Ketika ia berdiri di dekat panggung, Arkhan berdiri tidak jauh darinya.
"Apa dia ngikutin aku?" gumam Yara pelan sambil melirik ke arah Arkhan, yang tampak berbicara dengan beberapa tamu.
Namun, pikirannya segera teralihkan ketika panitia menghampirinya untuk memberikan tugas baru. Ia diminta untuk membagikan kupon hadiah kepada para tamu. Tugas ini cukup sederhana, tapi bagi Yara, apa pun bisa menjadi rumit.
Sambil membawa setumpuk kupon, Yara mulai membagikannya kepada para tamu. Namun, karena terlalu fokus, ia tidak melihat ke arah kakinya dan akhirnya tersandung kabel yang melintang di lantai. Tubuhnya terhuyung ke depan, dan sebelum ia menyadarinya, ia sudah menabrak seseorang.
Braak!
Kupon-kupon di tangannya beterbangan ke udara, dan tubuhnya jatuh tepat ke dada seseorang. Ketika ia mendongak, ia melihat wajah Arkhan yang dingin menatapnya.
"Masya Allah, Mas! Kenapa sih selalu ada di mana-mana?! Kamu ngikutin aku, ya?!" seru Yara dengan nada panik.
Arkhan mendesah pelan. "Kamu yang nabrak aku, Nona. Lagi pula, aku tidak punya waktu untuk mengikuti orang sepertimu."
Yara mengerutkan dahi. "Orang sepertiku? Maksud kamu apa? Jangan-jangan kamu masih dendam karena aku tuduh maling tadi, ya? Dengar ya, aku udah minta maaf dalam hati, kok!"
Rendra, yang berdiri tidak jauh, tertawa kecil mendengar percakapan mereka. "Bos, kayaknya kamu baru nemu lawan yang cocok," gumamnya pelan.
Arkhan hanya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu apa yang membuatnya tetap sabar menghadapi wanita ini, tapi ada sesuatu tentang Yara yang membuatnya sulit untuk mengabaikannya begitu saja.
♡ ♡ ♡
Malam itu, setelah acara selesai, Yara merasa lega bisa keluar dari ballroom tanpa harus bertemu Arkhan lagi. Namun, ketika ia sedang berjalan menuju parkiran, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca jendela mobil itu turun, dan wajah Arkhan muncul dari baliknya.
"Masuk," kata Arkhan singkat.
Yara tertegun. "Hah? Masuk ke mana? Aku nggak pesan taksi online, deh."
Arkhan menatapnya tajam. "Aku tidak suka mengulangi perintah dua kali. Masuk sekarang, atau aku yang menarikmu masuk."
Bab 1 Pertemuan Tak Masuk Akal
26/12/2024
Bab 2 Mafia vs Cewek Sesendok
26/12/2024
Bab 3 Yara, Sang Pengacau Profesional
26/12/2024
Bab 4 Misi Pertama Yara
26/12/2024
Bab 5 Don Arkhan Mulai Geleng-Geleng
26/12/2024
Bab 6 Ketawa di Tengah Bahaya
26/12/2024
Bab 7 Rival yang Terpana
26/12/2024
Bab 8 Sisi Lain Don Arkhan
26/12/2024
Bab 9 Pengakuan Kecil
26/12/2024
Bab 10 Kekacuan yang Memikat
26/12/2024
Bab 11 Bayangan yang Kembali
26/12/2024
Bab 12 Perasaan yang Menghantui
26/12/2024
Bab 13 Ketakutan yang Tersembunyi
26/12/2024
Bab 14 Luka yang Tidak Terlihat
26/12/2024
Bab 15 Retaknya Kepercayaan Diri
26/12/2024
Bab 16 Keterbukaan yang Sulit
26/12/2024
Bab 17 Bayangan Masa Lalu
26/12/2024
Bab 18 Pelarian yang Menyakitkan
26/12/2024
Bab 19 Penyembuhan yang Perlahan
26/12/2024
Bab 20 Menghadapi Ketakutan
26/12/2024
Buku lain oleh Moon Sunrise
Selebihnya