Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Pokoknya ayah tidak mau tau! Kamu harus melanjutkan S2 di Singapura!" suara bentak seorang ayah kepada anaknya terdengar sampai keseluruh ruangan rumah yang besar itu.
"Ayah, aku bukan tidak mau melanjutkan S2. Tapi kurasa S1 saja sudah cukup bagiku lagian aku gak mau ngejar pangkat yang tinggi. Intinya aku bahagia, Yah.." suara lelaki itu membalas bentakan ayahnya.
"Kamu harus melanjutkan S2 di Singapura agar perusahaan ayah bisa kamu lanjutin dan bisa bikin kita bahagia. Dimana-dimana tamatan S2 akan sukses dan bahagia!" bentakkan mulai menggelegar di seluruh ruangan rumah.
"Ingat Yah..! Aku gak gila pangkat dan harta seperti ayah!" balas lelaki tersebut yang membuat ayahnya marah besar dan 'praakk'. Seorang Ayah menampar anaknya hingga pipi anaknya berwarna merah.
"Sudah... Berhenti Andi apa yang kau lakukan itu membuat anak kita akan merasa kesakitan!" suara seorang wanita masuk dalam percakapan yang panas itu.
"Sudah bu, biarkan saja ayah memukulku aku sudah dewasa dan berhak menentukan kebahagiaanku sendiri." ujar lelaki itu lembut dan masih memegang pipinya yang merah.
"Apa?!" bentakan ayahnya kembali memuncak.
"Sudah.. ku mohon berhenti..." kata wanita tua itu hingga air matanya terjatuh.
"Aku mau pergi sama teman dulu bu. Aku tidak mau melanjutkan percakapan yang tidak penting ini!" ujar lelaki itu meninggalkan kedua orang tuanya dan beranjak keluar rumah dan melajukan motornya.
***
Xavier, ia adalah lelaki yang tadi membuat amarah ayahnya, namanya adalah Mohammad Xavier Andiyunus yang sekarang duduk di bangku S1 perkuliahan dengan jurusan Ekonomi dam Bisnis di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Ia adalah tipikal pria yang baik, pintar, dan dia suka membaca buku karya Boy Candra bahkan dia suka menulis cerita. Xavier tidak suka bergaul dengan para perokok dan pecandu napza serta peminum miras dan sebagainya. Xavier adalah anak tunggal dalam keluarganya, sebab itulah ia menjadi prioritas sebagai penerus perusahaan ayahnya.
Cuaca sore ini sangatlah sejuk, hembusan bayu merasuk hingga ke tubuh membuat pikulan beban pikiran yang berat menjadi ringan walaupun puncak merapi merada ketubuh Xavier sore ini, ia keluar rumah menenangkan sedikit pikirannya. Ia memiliki janji untuk menemui temannya di taman kota sore ini.
"Xavier, kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita saat Xavier duduk disampingnya.
"Aku baik-baik saja Fidyah, hanya ada sedikit masalah," jawab Xavier tersenyum.
"Masalah apa?" tanya Fidyah.
"Adalah... gak perlu diceritain." jawab Xavier.
"Ceritain aja, gak apa-apa kok!" ujar Fidyah.
"Nanti kamu tau sendiri," ujar Xavier.
"Hmm.." gumam Fidyah. "Eh tunggu itu bibirmu berdarah, dan kau bilang kau baik-baik saja!" Fidyah mengambil tissu dari sakunya dan menghapus aliran darah di ujung bibir Xavier.
"Ahh.." rintih Xavier sedikit kesakitan.
"Tahan aja dulu" ujar Fidyah.
"Makasih Fid, selama ini kamu banyak menolongku"
"Ah santai aja, biasa juga kamu yang tolong aku kalau lagi gak bawa duit, heheh" tawa Fidyah yang membuat percakapan ini lebih hangat dari percakapan sebelumnya yang dirasakan Xavier.
"Aku senang bertemu denganmu" ujar Xavier.
"Apaan sih, sering juga ketemu di kampus" ujar Fidyah.
"Heheh iya juga ya" tawa kecil Xavier.
"Besok kamu masuk kampus?" tanya Fidyah.
"Iya" jawab Xavier.
"Kamu tau kan, aku besok masuk kampus juga," tawa kecil Fidyah seperti membuat kode untuk Xavier.
"Iya aku tau kok, nanti aku yang jemput" ujar Xavier paham dengan maksud kode Fidyah.
"Hahaha kamu tau aja!" tawa Fidyah. "Eh aku boleh pinjam novel Boy Candra kamu gak?"
"Ada apa? Tiba-tiba mau minjem novel biasanya kamu baca buku mata kuliah kamu yang pendidikan itu," tawa Xavier membuat Fidyah sedikit kesal.
Fidyah memang satu kampus dengan Xavier hanya saja mereka beda jurusan, Fidyah mengambil fakultas pendidikan karena ia bercita-cita menjadi seorang pengajar. Sedangkan Xavier memilih fakultas Ekonomi pembangunan karena ingin bertujuan merubah ekonomi bangsa Indonesia dan ingin menjadi pebisnis sukses.
"Tiba-tiba saja aku suka membaca novel" ujar Fidyah.
"Novel Boy Candra?" tanya Xavier.
"Awalnya aku baca novel dari Tere Liye dan aku senang membacanya dan tiba-tiba aku mau baca novel Boy Candra, punyamu kan banyak!" ujar Fidyah.
"Oh gitu, besok aku bawain deh!" kata Xavier tersenyum.
"Kenapa senyum?" tanya Fidyah heran.
"Ya gak apa-apa emang kenapa? Salah ya? Bukannya semua orang berhak untuk mengekspresikan perasaannya? 'Kan?" ujar Xavier.
"Iya boleh kok, raut wajah kamu kayak bahagia gitu," pertanyaan Fidyah sontak membuat Xavier menelan ludah.
"Kita itu wajib bahagia Fidyah. Walaupun dunia kita sedang hancur dan berantakan. Kan tadi aku udah bilang kalau aku senang bertemu denganmu yang berarti aku bahagia bukan?" ujar Xavier.
"Iya aku mengerti. Aku juga bahagia bertemu dengan mu" ujar Fidyah.
"Hah beneran?" tanya Xavier dan wajahnya sudah dekat dengan wajah Fidyah. Tiba-tiba warna kemerahan muncul dari pipi Fidyah.
"Ih apaan sih, munduran dikit!" ujar Fidyah nampak malu.
"Ih kok malu hahah" tawa Xavier.
"Lagian aku gak suka!" ujar Fidyah memalingkan wajah.
"Pipinya merah nih, hahah malu ya haha" tawa Xavier semakin menjadi. Fidyah tidak menjawab.
"Ooh udah pintar ngambekan," ujar Xavier mulai menghangatkan suasana yang sebelumnya terasa canggung.
"Emang aku gak pintar ngambek!" ujar Fidyah dengan nada suara naik.